First Date
Suatu ketika, saat Kartika hendak mengambil seragamnya di dalam Loker,
tiba-tiba seseorang menutup dengan sengaja pintu Loker Kartika. Sontak Kartika
sangat terkejut.
“Enggak tahu terima kasih.” ucapnya.
“Maksud lo apa?” tanya Kartika tak mengerti.
“Lo udah gue ajarin basket. Ngasih lo dukungan. Mana balasannya?”
“Pamrih banget, sih.” keluh Kartika.
“Hari gini mana ada yang gratis,”
“Iya. Iya.” Kartika berpikir sejenak. “Besok sore deh, aku tunggu di
alun-alun kota jam 16:00.”
“Kok di alun-alun, sih? Kenapa enggak di mall aja?”
“Yang mau traktir, aku atau kamu? Jangan bawa motor, ya!”
“Kok gitu?”
“Mau atau enggak?”
“Iya. Gue mau. Jangan telat! Gue enggak suka nunggu.”
“Iya, Dirga bawel. Sana, ah! Gue mau ganti baju.”
Sesuai janji, Kartika tiba pukul 16:00 tepat. Sementara Dirga datang
terlambat. Ia baru datang setelah Kartika menunggu selama lima belas menit. Ia
datang tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Katanya jangan telat?”
“Ya, gue cuma jaga-jaga, doang. Bisa jadi lo yang telat, kan? Makanya gue
lamain dikit. Ya udah. Sekarang kita mau kemana?”
Kartika menunjuk ke arah belakang.
“Tempat apa ini?”
“Lo enggak tahu? Ini pasar malem.”
“Tempat yang jorok itu?”
“Enggak jorok, kok. Ayo masuk!” Kartika meraih tangan Dirga dan menariknya
ke dalam pasar malam.
Pada awalnya Dirga merasa jijik berada di dalam pasar malam. Belum lagi ia
harus berkerumun bersama orang-orang yang ia anggap sama menjijikannya dengan
tempat ia berpijak sekarang ini. Karna ia menganggap hanya orang-orang
berekonomi rendah saja yang mau memasuki tempat kumuh ini.
Tapi lama kelamaan, ia dapat menikmati keseruan berada di pasar malam.
Peristiwa yang baru ia alami seumur hidunya. Biasanya ia bersama keluarga
maupun teman-temannya hanya mengunjungi tempat-tempat mewah dan berkelas. Tapi
kini Kartika malah membawanya ke Pasar Malam.
Lama mereka berkeliling di pasar malam. Membeli gula-gula. Melihat sirkus.
Menaiki beberapa wahana yang ada. Dan mencoba beberapa permainan. Disini kita
dapat melihat kelebihan Kartika dari Dirga. Permainan banyak dimenangkan oleh
Kartika. Dan Kartika pun dengan sengaja menyombongkan diri pada Dirga.
Setelah puas bermain dan berkeliling perut keduanya keroncongan.
“Gue laper. Café yang deket dari tempat ini dimana, Ka?” tanya Dirga.
“Laper? Gue tahu tempat makan yang enak.” Kartika pun melanjutkan
perjalanan. Dirga tak tahu akan dibawa kemana lagi ia oleh Kartika. Ia pun
segera menyusul gadis yang dua tahun lebih muda darinya itu.
Sampailah keduanya di depan sebuah tempat makan. Tempat makan bernama
‘Bebek Itu Enak Lo’. Tempat makan yang bisa dibilang pedagang kaki
lima ini menyediakan berbagai hasil olahan dari dari bebek, seperti bebek
goreng, bebek panggang, bebek kuah, bebek bakar, dan beberapa hasil olahan
lainnya. Dibuka mulai dari pukul 14:00-22:00. Tempat ini cukup diminati banyak
pembeli.
“Ngapain lo ajak gue ke tempat ini?” Dirga berjalan menjauh dari tempat
yang tidak diingikannya itu.
“Katanya laper?”
“Lo pikir, gue mau makan di tempat kumuh itu? Enggak. Gue enggak mau.
Perut gue alergi makanan pinggiran jalan.”
“Ya ampun, Ga. Jangan manja, deh! Penampilannya emang kurang menarik. Tapi
lo cobain sekali aja. Pasti ketagihan. Cobain, yuk! Makanan disini enak
banget.”
“Enggak.” Dirga tetap mengotot. “Sekali enggak, tetep enggak.”
“Ayo!” Untuk kedua kalinya Kartika harus menyeret Dirga.
Kartika segera mencari tempat duduk untuk dirinya dan juga pria manja di
sebelahnya. Sebuah tempat duduk memanjang di sudut kanan tempat makan itu
nampaknya belum ada yang menempati. Keduanya segera menuju tempat duduk
tersebut. Setelah mencari-cari posisi yang nyaman untuk duduk, Kartika segera
melihat-lihat daftar menu.
“Mau pesen apa?” tanya Kartika.
Dirga tak menjawab. Ia masih memasang wajah cemberut.
“Gimana kalo bebek panggang aja? Menu paling digemari pengunjung disini.”
Kartika pun menyeru pelayan.
“Pesan apa, Mbak?” tanya Si Pelayan ramah.
“Bebek panggang satu. Bebek bakar satu.”
“Baik, Mbak. Harap menunggu sejenak!”
Tak lama kemudian makanan yang dipesan datang juga. Kartika segera melahap
bebek bakar pesanannya. Sementara Dirga hanya menatapi bebek panggang di hadapannya.
Dan menatap heran Kartika yang tengah melahap bebek bakar.
“Kok enggak dimakan?”
“Udah gue bilang dari awal, gue enggak mau makan disini. Lagipula mana bisa
gue makan enggak pake sendok?”
Kartika segera mencuil bebek panggang milik Dirga dan hendak menyuapi
Dirga. Dirga tetap menutup rapat mulutnya. Kartika semakin keras berusaha
memasukkan daging bebek ke dalam mulut Dirga. Lama mereka saling mengotot.
Akhirnya daging bebek dari tangan Kartika berhasil masuk ke dalam sistem
pencernaan Dirga. Makanan yang baru saja masuk ke dalam mulut Dirga, ternyata
mampu diterima dengan baik oleh tubuhnya. Dan rasa lezat dan aroma dari bebek
panggang di hadapannya membuatnya ingin lagi mencoba. Kali ini ia sendiri yang
memasukkan daging bebek ke dalam mulutnya.
“Enak!” ungkapnya. Ia pun segera melahapnya.
“Gue bilang juga apa.”
Meskipun Kartika yang sudah melahap bebek bakarnya lebih dulu dari Dirga,
namun Dirga yang terlebih dahulu menghabiskan bebek panggangnya. Kartika
tercengang melihat perilaku Dirga. Lapar apa rakus? Melihat masih ada bebek di
hadapan Kartika, Dirga segera mengambilnya dan melahapnya dengan cepat.
Kartika tak tinggal diam ketika Dirga mencuri bebek miliknya. Ia mengambil
kembali yang sudah semestinya menjadi haknya.
“Itu punya gue.”
“Gue masih mau. Ini buat gue aja.”
“Enggak. Ini punya gue.”
Keduanya saling berebut bebek bakar milik Kartika, seperti kejadian
beberapa bulan yang lalu. Lagi-lagi Dirga yang berhasil mendapatkan barang yang
diperebutkan. Kartika hanya bisa menggigit jari. Seusai melahap makanan yang
bukan haknya itu, ia masih belum puas.
“Satu porsi lagi, ya?” ucapnya.
“Kamu rakus banget, sih. Udah dua porsi lo makan, masih belum puas?”
“Abis enak, sih!”
“Enggak, ah. Uang gue enggak cukup.” Kartika memanggil pelayan dan membayar
makanan yang dilahap Dirga. Setelah itu ia segera menarik Dirga keluar dari
tempat makan yang sekarang menjadi favorit Dirga.
“Lo gila, ya? Mentang-mentang ditraktir, jadi mau pesen banyak. Lo pikir gue banyak uang untuk traktir lo sebanyak itu?”
“Kata lo sendiri. Makan sekali, langsung ketagihan.”
“Tapi kan, enggak harus ketagihannya sekarang?”
“Lo sendiri yang bilang.”
“Ya udah. Kita pulang sekarang!”
“Taksi!” seru Dirga pada sebuah taksi yang baru saja melaju di hadapannya.
Namun taksi tersebut tidak berhenti, nampaknya taksi tersebut ada penumpangnya.
“Hust… Ngapain lo panggil taksi?”
“Kan mau pulang?”
“Emang gue bilang mau naik taksi?”
“Terus kita pulang naik apa? Lo sendiri yang bilang gue enggak usah bawa
motor.”
Sebuah metromini melaju di depan mereka.
“Kita naik itu!”
“Apa? Naik itu?”
“Ayo cepet! Kita bisa telat. Itu metromini terakhir ke rumah gue.”
Untuk keempat kalinya, Kartika harus menarik-narik tangan Dirga. Dan
keduanya pun berhasil masuk ke dalam metromini. Penuh sesak di dalam metromini.
Untuk pertama kalinya Dirga harus berdesakkan bersama orang-orang dalam sebuah
angkutan umum. Ia merasa kegerahan. Dan ia harus berdiri pula. Tak ada kursi
kosong untuknya dan Kartika duduk. Kebetulan sekali pada saat itu metromini searah
dengan rumah Kartika tengah penuh-penuhnya.
“Pegangan!” ujar Kartika.
“Banyak kumannya. Gue enggak mau.”
“Lo mau jatoh?”
Dirga tak mau berdebat dengan Kartika kali ini. Dengan berat hati, ia
mengikuti anjuran Kartika.
Seorang pria yang duduk di sebelah Kartika mengeluarkan sebatang rokok dan
ia pun menyulutnya. Asap rokok membuat metromini yang penuh dengan orang-orang
berbeda profesi semakin sesak. Berkali-kali Kartika batuk-batuk dan menutup
hidungnya, berusaha agar asap beracun itu tidak mengkontaminasi paru-parunya.
Dirga iba melihat Kartika tersiksa dengan harus menghirup asap rokok. Rasa
kemanusiaanya pun muncul. Ia tak tinggal diam ia melihat Kartika seperti itu.
Awalnya Dirga ingin memprotes Si Perokok untuk mematikan rokoknya. Namun ia
mengurungkan niatnya untuk memprostes pria tak bermoral itu berpakaian layaknya
seorang preman pasar. Bukannya ia takut menghadapi Si Pria garang bertato itu,
namun ia tak mau memancing keribuatan di tempat ramai. Ia pun segera menarik
tangan Kartika untuk menjauh dari Si Perokok itu dan lebih mendekat padanya.
Sontak Kartika terkejut dengan sikap Dirga. Namun ia tidak memprotes. Ia tahu
Dirga melakukannya untuk kebaikannya juga.
Metromini berhenti di sebuah halte untuk menurunkan dan menarik beberapa
penumpang. Nampaknya Kartika mengenal halte bus ini. Halte bus ini adalah halte
bus terdekat menuju rumah Dirga.
“Ga, lo enggak turun disini?” tanya Kartika.
“Enggak.” jawab Dirga singkat.
“Bukannya ini halte yang paling deket sama rumah lo, ya?”
“Gue mau nganterin lo pulang dulu,”
Kartika hanya menunduk sambil bergumam tak jelas.
Metromini berhenti di halte dekat rumah Kartika. Keduanya segera turun.
Berjalan pada malam yang sangat indah di atas jalan setapak. Diterangi jutaan
bintang yang bertebaran tak beraturan di angkasa raya. Ditambah keindahan bulan
purnama yang terang benderang.
Sampailah di depan rumah Kartika.
“Makasih udah anterin gue pulang.”
“Makasih atas traktiran malam ini. Jujur aja baru kali ini gue pergi ke
pasar malem dan makan bebek panggang di kaki lima. Lain kali gue mau lagi.”
“Enggak, ah. Kapok. Abis uang gue buat traktir lo.”
“Namanya juga baru pertama.”
“Ya udah. Lo pulang sekarang, gih! Udah malem.”
“Ya, gue juga mau pulang sekarang, kok. Bye!” Dirga pun memberhentikan
sebuah taksi yang baru menurunkan penumpang. Dirga segera masuk ke dalam taksi
dan taksi itu pun segera melaju.
Kartika hanya melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumah.
Esok paginya, Dirga terlihat tak seperti biasanya, raut wajahnya
memperlihatkan rasa senang yang membuncah. Sering kali ia tersenyum sendiri
mengingat kejadian kemarin malam. Kali pertamanya ia masuk ke dalam Pasar Malam
dan menyantap makanan di kaki lima. Sungguh sangat sulit dipercaya. Hari ini ia
benar-benar berbeda dari hari-hari manapun. Ia sangat bersemangat belajar.
Dimarahi guru pun ia tak balik membentak guru tersebut. Kedua temannya
terheran-heran melihat tingkah lakunya hari ini.
“Hari ini lo beda banget. What’s wrong with you?” tanya Evan.
“Gue baru sadar ternyata dunia begitu luas. Masih banyak tempat yang
menyenangkan belum gue datengin.”
“Maksud lo?”
“Ternyata main di pasar malem itu asyik, lho.”
“Lo kenapa sih, Ga?”
“Udah. Udah. Jangan lo bikin Dirga bad mood lagi, deh!”
***
Suatu ketika, seperti biasa selekas pulang sekolah dan berpisah dengan
ketiga temannya, Kartika menunggu metromini yang akan mengangkut dirinya ke
halte dekat rumah di halte bus depan sekolah. Lama Kartika menunggu, metromini
yang ditunggu tak juga datang. Ia dan beberapa siswa-siswi SMA Azka Julian jadi uring-uringan
tidak jelas.
Tiba-tiba sebuah sedan silver bernomor polisi B 171 RZA parkir di hadapan
Kartika. Seorang pria berjas rapi keluar dari dalam mobil. Ia membukakan pintu
belakang yang tepat sejajar dengan Kartika. Kartika melirik kanan kiri. Tak ada
seorang pun yang menghampiri mobil itu. Siapa yang sebenarnya dimaksud Si Pria
berjas, pikirnya.
“Silahkan masuk, Nona Kartika!” ucap Si Pria berjas.
“Sa… saya?”
Ia hanya mengangguk.
Dengan ragu Kartika menghampiri mobil itu. Ia masuk secara perlahan dan
duduk di kursi belakang. Ternyata kursi yang di sebelahnya sudah ada yang
mengisi. Seorang ibu paruh baya yang tak dikenalnya. Si Ibu pun mulai melepas
topi besar yang menutupi sebagian kepalanya sejak Kartika masuk ke dalam mobil.
“Bu… Bu…Sinta!” ucap Kartika tergagap.
“Benar kamu yang bernama Kartika?”
“Ya. Saya Kartika.”
“Ada waktu berbicara empat mata dengan saya?”
“Ya…” ucapnya tergagap.
“Pak. Jalan!” ucap Bu Sinta.
Selama perjalanan sama sekali tidak ada percakapan. Pak sopir nampak sangat
fokus terhadap jalan. Pria berjas di depan Kartika nampak sibuk sendiri. Bu
Sinta juga nampak diam seribu bahasa. Ia hanya menatap kosong ke arah luar
jendela. Kartika pun hanya bisa terdiam. Sesekali ia melihat keluar jendela
apabila ada sesuatu yang membuatnya tertarik.
Tibalah keduanya di sebuah hotel megah. Nampaknya ini adalah hotel
berbintang lima terkenal di kota Jakarta yang sering dikunjungi oleh para turis
asing. Terlihat lebih banyak pengunjung asing yang berlalu lalang di dalam
hotel. Di luar terdapat sebuah taman indah yang banyak dihiasi bermacam-macam
bunga yang tentunya amat cantik. Juga rumput yang telah dibentuk sedemikian
rupa dan menghasilkan sebuah kata ‘Meridian’.
Dengan langkah kagum serta rasa tak percaya Kartika mulai menginjakkan
kakinya di dalam hotel. Ia disambut dengan hormat oleh beberapa pekerja hotel.
Di sekelilingnya juga terdapat banyak pengawal. Sekarang ia tahu bagaimana
rasanya jadi pejabat, selalu dikawal kemanapun pergi.
Lama ia mengikuti langkah Bu Sinta, akhirnya ia tiba di sebuah ruangan
besar dan megah. Dengan hidangan yang luar biasa banyak, nampaknya bisa
mengenyangkan perut duapuluh orang, atau bahkan lebih. Ia dipersilahkan duduk
dengan hormat oleh salah seorang pelayan. Disuguhi beberapa makanan dan
minuman. Setelah Bu Sinta dan dirinya merasa nyaman dengan semua yang telah
disediakan, semua pelayan yang jumlahnya belasan keluar dari ruangan megah itu.
Sunyi sepi. Hanya tinggal Kartika dan Bu Sinta yang berada di ruangan megah
itu. Seisi ruangan tak ada sepatah kata pun yang terdengar. Bu Sinta pun
memulai perbincangan.
“Entah dari mana saya harus memulainya. Tapi intinya saya ingin meminta
bantuan dari kamu.” ucap Bu Sinta dengan mata yang mulai berair. Dan dalam
waktu singkat wajah Bu Sinta sudah basah dialiri derasnya air mata.
Kartika mengeluarkan sebuah sapu tangan dan memberikannya kepada Bu Sinta.
“I… ibu,” Kartika sangat iba bercampur heran. “Memangnya ibu mau minta bantuan
apa dari saya? Saya akan berusaha membantu ibu semampu saya.”
Bu Sinta menghapus air matanya. “Saya yakin kamu pasti tahu, bagaimana
hubungan saya dengan anak saya, Dirga? Hubungan antara ibu dan anak yang… kurang baik.” Bu Sinta semakin tak kuasa
menahan air matanya.
“Maaf. Saya sudah lancang mengetahui tentang keluarga ibu sejauh itu.”
“Itu sama sekali tak menjadi masalah buat saya. Saya hanya ingin kamu
kembalikan Dirga seperti dulu. Dirga yang selalu tersenyum bahagia. Sejak
ayahnya meninggal dia menjadi dingin, terutama pada saya.” Tangisannya semakin
tak dapat terbendung lagi.
“Saya kan belum lama kenal sama Dirga. Saya enggak yakin bisa
melakukannya.”
“Tolong saya! Saya tidak tahu harus minta tolong siapa lagi.
Sahabat-sahabat Dirga, mereka udah sering saya mintai tolong, tapi sampai
sekarang Dirga tetap begitu. Yang saya dengar, kamu gadis yang berani menentang
Dirga. Kamu gadis pertama yang dekat dengan Dirga dan mengajak Dirga ke pasar
malam.”
“Ibu tahu saya dan Dirga malam itu…?”
“Meskipun saya selalu sibuk dengan jadwal-jadwal saya. Tapi saya selalu
meluangkan waktu untuk mengetahui kabar kedua anak saya.”
Kartika hanya menunduk. Ia tak menyangka selama ia bersama Dirga, ia selalu
diawasi.
“Saya mohon, tolong bantu saya! Saya berani bayar berapapun yang kamu mau.”
“Baiklah. Saya akan coba semampu saya. Saya enggak pamrih kok, Bu. Saya
ikhlas membantu Ibu.”
“Terima kasih banyak! Betul-betul saya berterima kasih sama kamu.”
“Sesama manusia kan udah seharusnya saling tolong menolong. Saya juga
senang bisa membantu ibu. Tapi boleh saya minta sesuatu dari ibu?”
“Kamu boleh meminta apa aja dari saya.”
“Sebelumnya saya minta maaf karna udah lancang. Yang saya tahu, Dirga
kurang kasih sayang orang tua. Ada baiknya ibu sering ada di rumah. Menyiapkan
sarapan setiap paginya. Menyambutnya ketika pulang sekolah. Apalagi Chika kan
lagi sakit. Pasti dia perlu ibu di sampingnya.”
“Baiklah. Akan saya coba. Mudah-mudahan bisa membantu.”
“Saya harap begitu. Saya yakin setiap anak sayang terhadap ibunya. Butuh
kasih sayang seorang ibu.”
“Saya benar-benar berterimakasih sama kamu, Kartika. Terima kasih banyak!
Mungkin suatu saat nanti saya akan balas kebaikan kamu.”
“Sama-sama, Bu. Saya senang bisa membantu ibu.”
Bu Sinta mengikuti saran dari Kartika. Hari ini dan beberapa hari ke depan
segala urusan yang berhubungan dengan perusahaan Bu Sinta serahkan kepada
pengawal setianya, Pak Irawan. Selama beberapa hari ke depan ia hanya akan ada
di rumah. Semua meeting Pak Irawan yang menghandle. Ia hanya tinggal
menandatangani segala keputusan yang sudah diambil oleh pengawal yang sudah
setia mengabdi kepada keluarga besar Ferdiansyah sejak Alm. Ferdi mulai
merintis usahanya.
Bu Sinta bangun pagi sekali. Segera saja ia menuju dapur. Dikeluarkannya
semua bahan makanan yang ada. Semua bahan untuk memasaknya pagi ini sudah
tersedia. Tapi ia masih bingung akan memasak apa. Sekitar limabelas menit ia
berpikir. Kemudian datanglah Bik Imas. Ia amat terkejut melihat majikannya
sudah ada di dapur pagi buta begini.
“Selamat pagi, Nyonya!” sapa Bik Imas. “Mengapa ibu ada di dapur sepagi
ini?”
“Bik, hari ini saya saja yang memasak, ya? Bibik lakukan pekerjaan lain
saja.”
“Tapi, Nyonya…”
“Menurut Bibik, sebaiknya pagi ini saya memasak apa?”
“Menurut saya nasi goreng cocok buat sarapan.”
“Ya sudah. Pagi ini akan saya buatkan nasi goreng penuh cinta untuk kedua
buah hati saya. Kalau mereka sudah bangun suruh tunggu di meja makan.”
“Baik, Nyonya!”
Semua hidangan hasil karya Bu Sinta sudah tersedia di atas meja makan.
Hidangan empat sehat lima sempurna sudah tersusun rapi dan siap disantap.
Dirga sudah siap berangkat sekolah berjalan menuruni anak tangga, diikuti
oleh Chika. Dirga amat terkejut melihat ibunya yang jarang sekali ada di rumah
sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Chika segera menduduki kursi di
sebelah Mamanya. Sementara Dirga membelok hendak keluar rumah.
“Sarapan dulu, Sayang!” seru Bu Sinta.
“Wah! Tumben Mama ada di rumah. Ini semua Mama yang masak?” tanya Chika.
“Iya. Mama sengaja buat untuk kalian berdua.”
“Chika kangen masakan Mama. Kayaknya Mama udah lama enggak masak buat
Chika.” Lebih tepatnya belum pernah sama sekali. Ketika Papanya meninggal,
Chika masih kecil. Dan sejak saat itu Bu
Sinta jarang ada di rumah—apalagi untuk sekedar memasak. Suaminya yang sangat
ia cintai itu harus meninggalkan ia untuk selama-lamanya, membuat hatinya sakit
tiap kali mengingat hal itu. Dan untuk mengatasi sakit hatinya, ia selalu
menyibukkan diri dengan urusan bisinis perusahaan yang diwariskan
suaminya—sebelum nanti akhirnya akan diwariskan pada Dirga.
“Makanya sekarang kamu abisin makannya.” Bu Sinta mengelus rambut anak
bungsunya itu. Kemudian ia melihat ke arah Dirga. “Enggak baik pergi sekolah
tanpa sarapan. Sini! Kita sarapan bareng.”
“Aku udah terlambat. Sarapan di sekolah aja.” ucap Dirga ketus dan ia pun
melanjutkan langkahnya.
Hati Bu Sinta rasanya seperti tersayat-sayat pisau ribuan kali. Ia amat
kecewa mendengar jawaban anak sulungnnya yang begitu ketus. Hati ibu mana yang
tak sakit ketika diketusi oleh anaknya. Semangatnya kini down kembali. Tetesan
air mata pun mulai membasahi pipinya. Chika juga merasakan sakit yang dirasakan
oleh ibunya. Tapi ini semua juga berawal dari Mamanya sendiri. Mamanya jarang
ada di rumah ketika ia dan kakaknya tengah terpuruk karna Papanya meninggal.
Ketika ia dan Dirga membutuhkan belaian seorang ibu. Chika tak bisa berbuat
apa-apa. Bisa dikatakan beruntung karena Chika tidak membenci Bu Sinta seperti
Dirga.
“Nasi gorengnya enak.” ucap Chika. “Mama juga makan, dong! Katanya mau
makan bareng?”
“Oh. Iya, sayang! Mama makan. Makan yang banyak, ya!” Bu Sinta menghapus
air matanya. Ia pun tersadar bahwa ia masih memiliki Chika yang menyayanginya.
Ia tidak boleh terlihat seperti ini di hadapan Chika.
“Mungkin Kak Dirga emang udah telat. Maklumlah, namanya juga anak sekolah.”
“Iya. Mama ngerti.” ucap Bu Sinta seperti tak bertenaga.
Sampai di sekolah Dirga tak mood untuk melakukan apa-apa. Kerjanya hanya
marah-marah saja. Setiap ada yang mengecewakan hatinya langsung saja terkena
tinjunya. Selama belajar saja, ia hanya melamun. Guru-guru yang mengajar di
kelasnya tak berani menegur.
Di basecamp-nya pun ia tak berhenti mengamuk. Setiap barang di hadapannya
ia lempar, tendang, injak. Temboknya pun hampir retak akibat ia tak berhenti
memukul dan menendang.
“Ga, lo kenapa lagi, sih?” tanya Fathan heran.
Dirga tak menjawab.
“Orang gila ngamuk lo tanya. Mana dia mau jawab.” ucap Evan.
Dirga tak menggubris ucapan Evan. Ia keluar dari ruang basecamp-nya dengan
langkah cepat.
“Apa dia ada masalah lagi ama nyokapnya?” ucap Evan setelah Dirga keluar
dari ruangan tempat ia berada sekarang.
“Kalaupun iya. Kita bisa apa? Orang kayak dia mana bisa dinasehatin.” balas
Fathan.
“Kadang gue kasian ama nyokapnya. Sering dia minta bantuan ama kita. Tapi
kita bisa bantu apa? Dirga enggak pernah mau denger kaLo kita nasehatin,
terutama masalah Mamanya itu.” ucap Evan.
“Tapi gue yakin, suatu hari nanti bakal ada orang yang bisa membuat Dirga
menganggap Mamanya.”
“Tapi orangnya siapa? Selama ini Dirga enggak pernah mau dengerin omongon
orang
“Yang jelas bukan lo orangnya, Van.”
Pulang sekolah, Dirga sudah disambut belasan hidangan di atas meja. Baunya
pun harum. Membuat lidah ingin segera mencicipinya. Namun tiba-tiba Bu Sinta
datang dari dapur dengan semangkuk sayur soup kesukaan Dirga di tangannya.
“Pulang terlambat, ya? Sini makan dulu! Pasti kamu laper.” ucap Mamanya.
“Enggak. Aku enggak laper.” jawab Dirga ketus.
Bu Sinta sangat sedih mendengar jawaban anaknya itu. Lagi-lagi usahanya
tidak dihargai anak oleh Dirga. Sakit hati yang tadi pagi saja belum bisa ia
lupakan, dan sekarang Dirga menambahnya lagi. Apa yang kini harus ia lakukan?
Kalau terus-menerus makan hati, ia juga tak akan bisa. Tapi ini juga salahnya
sendiri. Serba salah jadinya.
Malamnya Dirga juga tak ikut makan malam. Ia lebih memilih menyendiri di
dalam kamar daripada harus bertemu Ibunya di meja makan. Walau perutnya
sebenarnya tak sejutu. Sejak pagi perutnya belum diisi secuil makanan pun.
Seluruh cacing dalam tubuhnya pun berontak.
Seusai makan malam, Bik Imas mengantarkan makanan ke kamar Dirga. Ia pun
menyimpannya di atas meja belajar Dirga. Sama sekali Dirga tak meliriknya.
Pandangannya tak tak lepas dari laptop di hadapannya. Namun semakin lama
hidangan di atas meja belajarnya semakin mengeluarkan aroma harum. Cacing dalam
perutnya terus-menerus memberontak. Dan ia pun mulai mendekati hidangan itu.
dicicipinya sedikit demi sedikit. Dan ternyata… enak. Akhirnya hidangan itu
habis. Tak tersisa. Walau hanya sebutir nasi saja. Masakan Mamanya memang
terkenal lezat, tak jauh berbeda dari masakan rumah makan-rumah makan mewah di
Jakarta.
Mamanya yang melihat anaknya menghabisakan masakannya di ambang pintu
tersenyum bangga. Dengan kesabarannya, akhirnya Dirga mau memakan masakannya.
Sejak saat itu sikap Dirga sedikit berubah. Dan sejak saat itu ia jadi mau
untuk makan bersama Mamanya di meja makan. Mamanya benar-benar bersyukur akan
perubahan anaknya itu. Kartika benar, kalau ia menekuni dengan sabar hati Dirga
akan luluh juga.
***
Hari ini adalah hari minggu. Kartika tak lupa akan janjinya kepada Bu
Sinta. Percobaan pertamanya akan ia laksanakan hari ini. Pagi-pagi sekali ia
berpamitan kepada Kakaknya agar bisa diizinkan pergi. Dengan alasan-alasan yang
ia kemukankan akhirnya Kakaknya pun mengizinkan.
Ketika ia datang, Dirga dan Mamanya baru saja selesai sarapan pagi.
Kedatangannya disambut hangat oleh Bu Sinta. Sementara Dirga yang teman
sekolahnya sendiri sepertinya tak suka Kartika datang ke rumahnya.
“Ngapain lo kesini?” sapa Dirga ketus.
“Kita jalan-jalan, yuk!”
“Chika mau!” jawab Chika antusias.
“Enggak!” ucap Dirga dengan nada meninggi.
“Hari minggu di rumah aja itu enggak seru. Bu Sinta mau ikut, kan?”
“Enggak ada salahnya juga.”
“Tiga lawan satu. Kamu harus setuju dan ikut jalan-jalan.”
“Ya udah. Kalo kalian mau jalan-jalan, pergi aja. Gue tetep di rumah.”
“Ga, apa salahnya sih pergi jalan-jalan bareng keluarga? Nikmati hari
libur ini dengan kebersamaan keluarga. Coba kamu liat sekeliling kamu! Banyak
anak sebatang kara, mereka pengen banget kumpul bareng keluarga mereka, tapi
mereka enggak bisa. Mereka udah enggak punya keluarga lagi.”
Dirga menatap wajah Mamanya. Ia membayangkan ketika Mamanya menyusul
kepergian Papanya. Ia pasti akan menyesal seumur hidupnya karna belum pernah
membahagiakan orang yang telah mempertaruhkan nyawa hanya untuk memberi
kesempatan baginya untuk hidup. Walau sampai sekarang, ia belum bisa memaafkan
Mamanya sepenuhnya.
“Ya, ya. Gue ikut.”
“Yes, kita dapat supir.”
Chika segera berlari menuju kamarnya. Ia mencari-cari pakaian yang paling
bagus. Ia tak mau tampil apa adanya di kali pertama ia keluar rumah selain
pergi ke rumah sakit. Ia pun mempersiapkan semua barang yang akan dibawanya.
Bu Sinta dan Kartika dibantu oleh Bik Imas mempersiapkan bekal untuk
jalan-jalan nanti. Seluruh perbekalan sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil.
Dan semuanya siap berangkat. Kartika mengusulkan Kebun Binatang ‘Ragunan’.
Termpat wisata murah meriah yang menjadi favorit bagi warga Jakarta.
Lama mereka berkeliling. Melihat satwa-satwa yang berada di kandangnnya.
Melihat pertunjukkan harimau, gajah, dan burung elang. Sudah letih mereka
berkeliling. Walau hati belum puas, apalagi Chika. Mereka memutuskan untuk
beristirahat dan menyantap perbekalan.
Santapan yang dibawa banyak jenisnya. Dari semua yang ada kebanyakan
makanan kesukaan Dirga. Beberapa kali Kartika memaksa Dirga untuk menyuapi
Mamanya—juga sebaliknya. Sekilas Dirga dan Mamanya tidak sedang mengalami
konflik. Keduanya amat dekat. Kartika tersenyum bangga. Percobaan pertamanya
sukses mendekatkan kedua ibu dan anak itu. Walau hanya sementara. Tapi mereka
sangat menikmati jalan-jalan hari ini. Empat jempol untuk Kartika.
Selesai menyantap perbekalan mereka pun melanjutkan berkeliling kompleks
Ragunan. Mereka menyempatkan diri untuk berfoto-foto dengan beberapa hewan yang
ada. Selain dengan beberapa hewan, Kartika juga mengusulkan untuk memotret
keluarga kecil Bu Sinta. Ada foto Dirga dengan Mamanya yang terlihat akrab,
walau keakraban itu harus dipaksa oleh Kartika. Salah satu foto itu adalah
ketika Dirga merangkul Mamanya. Dan ada juga foto Kartika dan Dirga yang terlihat
mesra—itupun karna dipaksa Bu Sinta dan Chika. Hari ini adalah hari terindah
bagi keluarga Bu Sinta.
Hari semakin sore, tak terasa Sang Surya sudah berada di ufuk Barat. Dan
mereka harus pulang. Sebenarnya Chika masih mau berada di tempat itu.
Selain mengajak jalan-jalan, berbagai cara Kartika lakukan untuk
mendekatkan Dirga dan Mamanya tanpa pamrih. Usahanya tak selalu sukses. Kadang
apa yang ia lakukan gagal total. Tapi ia tak akan menyerah sampai misinya
berhasil. Ia akan terus berusaha semampunya.
***
Hari ini SMA Azka Julian ditantang sekolah tetangga, SMA Negri 22, untuk
bertanding basket. Pertandingan basket kali ini hanya untuk menjalin
persahabatan antarsekolah. Yang akan bertanding hanya tim putra saja. Dirga
sebagai kapten menerimanya dengan tangan terbuka.
Pertandingan dimulai sepulang sekolah. Seluruh siswa-siswi antusias untuk
menonton. Ada juga beberapa siswa-siswi dari SMA Negri 22 yang datang untuk
mendukung tim sekolahnya.
Yang akan bertanding kali ini adalah Dirga, Fathan, Evan, Gunawan, Odji,
Angga, Al, Ojan, dan Fadhil. Kesembilan orang ini memang terkenal profesional
dalam bermain basket. Dan sering dikirim oleh sekolah untuk mewakili SMA
Pertiwi dalam berbagai kompetisi basket.
Pertandingan pun di mulai. Pertandingan lumayan sengit. Kedua tim saling
kejar-kejaran point. Sorak-sorai untuk mendukung tim basket putra SMA Pertiwi
tak ada berhentinya meneriakkan nama-nama pemain yang tengah bermain.
Sorak-sorai SMA Negri 22 pun tak kalah hebohnya. Walau hanya membawa pasukan
sedikit, tak mengurungkan niat mereka untuk mendukung sekolah mereka sendiri.
Kartika pun ikut menonton. Awalnya ia tidak ingin, namun teman-temannya
terus-menerus memaksanya. Ia pun mau menyaksikan Dirga dan kawan-kawan unjuk
kebolehan. Melihat Kartika menonton, ada sedikit energi tambahan bagi Dirga. Ia
semakin bersemangat untuk memenangkan pertandingan. Mungkin sudah ada rasa yang
berbeda, yang ia rasakan ketika melihat maupun berada didekat Kartika.
Pertandingan pun akhirnya berakhir. Pertandingan dimenangkan oleh SMA
Azka Julian. Dengan selisih point yang tidak begitu jauh 62-59. Sebagai tuan rumah
tentunya SMA Azka Julian bangga akan prestasi yang tim basket putra persembahkan
bagi SMA Azka Julian. Namun SMA Negri 22 tidak merasa dendam terhadap SMA Azka Julian.
Mereka berlapang dada menerima kekalahan.
“Kekalahan bukalah akhir dari semuanya, namun merupakan gerbang menuju
kesuksesan. Saya yakin suatu saat nanti SMA Negri 22 akan dapat mengalahkan SMA
Azka Julian.” ujar kapten tim SMA Negri 22, Muhammad Razif
Tags:
Kisah