Camping
Pagi ini wajah Hima terlihat lebih ceria dari biasanya. Dari masuk kelas
sampai istirahat kerjanya hanya senyum-senyum saja. Dihukum Pak Amsal keluar
kelas juga dia malah senyum, gara-gara tidak memperhatikan sewaktu Pak Amsal menerangkan Logaritma. Membuat ketiga sahabatnya heran.
Ketika istirahat di kantin Kartika iseng bertanya, “Lo kenapa, Ma? Dari pagi
keliatannya seneng banget?”
“Jelas dong gue seneng banget,”
“Seneng kenapa?”
“Emangnnya gue belum cerita, ya?” tanyanya balik.
“Makanya gue nanya juga,” Winda jadi sebel sendiri. “Gue takut liat lo
senyum-senyum sendiri dari pagi.”
Hima adalah ketua murid di kelasnya. Di akhir pelajaran Hima diminta Bu Desi mengembalikan buku kimia ke perpustakaan. Buku berjumlah 35 buah harus
dibawanya sendiri.
Di depan perpus, ia berpapasan dengan Dirga yang tidak sengaja menabraknya
hingga buku-bukunya berhamburan di lantai.
“Maaf,” ujar Dirga ramah sambil membantu Hima memunguti buku-buku yang
berhamburan di lantai.
Hima yang sejak pertama bertemu Dirga sudah jatuh hati padanya tak berkata
apa-apa. Ia amat terkejut plus senang bisa berpapasan dengan Dirga. Ia masih
tak percaya.
Dirga juga membantu Hima untuk mengembalikan buku-buku itu ke perpus. Hima
yang dari tadi tak mengeluarkan sepatah kata pun membuat Dirga pusing.
“Sorry, tadi gue bener-bener enggak sengaja,” Hima tetap tak menjawab. “Lo
enggak apa-apa, kan?”
“Oh iya, aku baik-baik aja, kok.” Akhirnya bicara juga.
“Gue bener-bener minta maaf soal tadi,”
“Iya enggak apa-apa, kok.” Hima jadi grogi sendiri. “Tapi makasih ya udah
dibantuin.”
“Iya, sama-sama.” Dirga pun berlalu. Mata Hima tak berhenti
memperhatikannya sampai Dirga hilang di balik pintu kelasnya.
“Oh, jadi gitu ceritanya,” tungkas Winda.
“Jadi lo udah lama suka beneran sama Dirga?”
“Iya…” jawab Hima agak malu-malu.
“Mending juga Kak Evan,” puji Milly. “Udah ganteng, keren, jago basket.”
“Eh…” Winda ikut nimbrung. “Masih lebih bagus Kak Fathan, lah. Jago semua
alat musik, romantis, suaranya juga bagus.”
“Kenapa jadi malah banding-bandingin satu sama lain?” relai Kartika.
“Kamu sendiri enggak ada yang dibanggain,” ledek Milly.
“Kartika mah jangan ditanya,” tambah Winda. “Pasti jawabannya mau fokus
sekolah, enggak mau mikirin dulu cinta-cintaan.”
“Emangnya lo enggak pernah pacaran?” tanya Hima.
“Gue pernah sekali pacaran,” Kartika curhat. “Dan selama dua bulan pacaran,
gue selalu makan hati.”
“Jadi intinya lo trauma?”
“Bukan trauma,” sanggah Kartika. “Cuma sekarang kan gue udah SMA. gue mau
fokus belajar. Biar bisa masuk Universitas Negri.”
“Emangnya lo enggak punya gitu satu gebetan aja?” tanya Winda iseng.
“Kakak-kakak kelas kan pada keren-keren.”
“Mungkin belum,”
***
Hari ini adalah hari senin pagi. Semua sekolah mengadakan upacara bendera
Merah Putih, termasuk SMA Azka Julian. Semua acara-acara telah dilalui. Kini
giliran Pak Kepala Sekolah memberikan pengumuman. Terlihat semua siswa tampak
mengomel. Menunggu kapan ucapara ini berakhir. Mereka sudah gosong terpanggang
sinar matahari pagi.
“Bapak hanya akan mengumukan satu pengumuman,” suara Pak Kepala Sekolah
terdengar ke seluruh penjuru sekolah. “Untuk mengisi liburan, sekolah selalu
mengadakan acara camping. Acara ini selalu diadakan setiap tiga tahun sekali.
Dan liburan kali ini tepat tiga tahun dari acara camping sebelumnya. Bapak
harap kalian semua bisa ikut memeriahkan. Acara ini bersifat sukarela. Bila
ingin mendaftar hubungi OSIS! Silahkan kembali ke kelas masing-masing!” Seusai
menyampaikan pengumuman Pak Kepala sekolah pun turun dari panggung kehormatan.
Semua siswa besorak riang mendengar pengumuman dari Pak Kepala Sekolah.
Tampaknya semua siswa ingin mengikuti camping tersebut. Saat-saat yang jarang
ini mereka manfaatkan untuk mengisi liburan sekolah yang tinggal satu bulan
lagi.
Saat istirahat pun siswa siswi masih sibuk mebicarakan soal acara camping.
Teman-teman Kartika juga tak kalah hebohnya. Sampai-sampai mereka lupa dengan
siomay yang sudah mereka pesan. Sekarang siomay itu sudah dingin.
“Pokoknya gue harus minta uang sama Papa gue buat ikut camping.” ucap Milly.
“Gue juga mau minta uang sama Mama.” Winda menambahkan.
“Pokoknya kita semua harus ikut. Soalnya Kak Dirga cs. juga pasti ikut.”
tambah Hima.
“lo ikut kan, Ika?” tanya Winda.
“Kayaknya sih enggak akan.” jawab Kartika.
“Kenapa gitu? Ini kan hal yang jarang-jarang. Kalo kita udah kelas dua atau
tiga enggak akan ada yang gini-ginian.” tambah Winda.
“Kalian kan tahu nilai gue jelek-jelek. Liburan nanti gue mau evaluasi
nilai-nilai gue. Jadi mungkin gue enggak bisa ikut.” urai Kartika.
“Ayolah, Ika! lo harus ikut. Biar kita liburan sama-sama. Enggak enak
kita liburan tanpa lo.” ujar Hima.
“Lagipula Kak Adnan pasti enggak akan ngizinin.” jawab Kartika.
“Ya, udah. Biar gue aja yang bilang sama Kakak lo.” usul Hima.
“Jangan!” jawab Kartika membuat kaget ketiga temannya.
“lo kebiasaan deh, Ika.” ucap Milly. “Tiap ada acara lo selalu enggak
mau ikut. Sekalinya mau karna dipaksa.”
“Bukan gitu,” Kartika sedikit merasa bersalah kepasa sahabat-sahabatnya
itu. Memang benar, setiap kali mereka akan pergi bersama pasti Kartika selalu
menolak. “Kali ini beda. gue belum pernah ikut camping.”
“Kan ada kita,”
“Ya udah, deh. Kalo kalian tetep maksa, gue bakal usahain buat ngomong sama
Kak Adnan.”
“Nah, gitu dong!”
“Pokoknya Kakak lo harus ngizinin lo ikut.” ucap Milly.
“Masak lo rela temen-temen lo asyik-asyik camping. Sementara lo diem
aja di kamar sambil diskusi sama buku. Mana seru?” tambah Winda.
Kartika hanya menganguk dan tersenyum, yang berarti ia mengiyakan usul
ketiga temannya. Ia pun kembali melanjutkan menyantap siomaynya.
Sesuai janjinya kepada teman-temannya. Sorenya ketika Adnan pulang kuliah,
Kartika minta izin kepada Adnan untuk mengizinkan ikut camping. Seusai ia
melayani Kakaknya yang baru pulang kerja. Ia pun menghampiri Kakaknya yang
tengah duduk santai di depan televisi dengan secangkir kopi hangat.
“Kak, Ika mau ikut camping liburan nanti.” seru Kartika pada Kakaknya.
“Camping? Enggak boleh.” jawab Kakaknya.
“Ika. Camping kan di hutan. Hutan jauh dari mana-mana. Gimana kalo kamu
digigit binatang buas? Atau kamu tersesat sendirian di hutan? Kamu adalah
satu-satu adik Kakak. Sekarang Kakak yang bertanggung jawab sepenuhnya atas
kamu. Kakak enggak mau terjadi sesuatu sama kamu.”
Sebenarnya Kartika setuju dengan perkataan Kakaknya. Ia tidak akan memaksa
Kakaknya untuk mengizinkan ia ikut camping, kalau saja teman-temannya tidak
memaksanya.
“Kak, ini itu acara langka. Sekolah hanya mengadakan camping tiga tahun
sekali. Ika mohon, Kakak izinin Ika buat ikut camping.”
“Sekali enggak, tetep enggak.”
“Ika mau ngelakuin apa aja asal Kakak mau izinin.” bujuk Kartika lagi.
“Kamu beneran pengen ikut?”
“Iya, Kak,” jawab Kartika penuh semangat. “Temen-temen Ika juga pada ikut
semua.”
“Ya udah, kamu boleh ikut.” Kartika senangnya luar biasa. “Tapi dengan satu
syarat…”
“Syarat?” ucapan Kakanya sedikit membuat Kartika cemas.
“Kamu harus perbaiki semua nilai kamu,” kata Kakaknya. “Kakak mau semua
nilai rapor kamu di atas tujuh. Tapi itu bukan hasil nyontek, ya?”
“Iya, Kak,” jawab Kartika kurang mantap. Ia sendiri tidak yakin bisa
mendapatkan nilai minimal di rapornya. Ia tahu sebatas apa kemampuannya. Sejak
SD, nilai Kartika tidak akan jauh dari angka tujuh. Malah ia kadang ia
mendapatkan nilai merah. Berbeda dengan kakaknya yang selalu menjadi juara umum
di sekolahnya. “Ika janji akan berusaha untuk memperbaiki semua nilai Ika.”
Keesokan paginya teman-teman Kartika sudah menanti Kartika di depan
kelasnya. Mereka dengan sengaja datang pagi-pagi sekali untuk mendengar
keputusan Kak Adnan yang membolehkan Kartika untuk pergi camping atau tidak
"gimana keputusan kakak lo, Ika?” tanya Hima dengan antusias.
Kartika hanya mengangguk.
“Asyik… Kita liburan bareng!” seru Winda.
“Tapi ada syaratnya,” ucap Kartika lemas.
“Apa?” tanya Milly ingin tahu.
“Gue harus perbaiki nilai rapor gue” jawab Kartika.
“Itu sih masalah gampang. Tiap pulang sekolah nanti kita ke rumah lo.”
usul Hima. “Kita bisa bantuin lo belajar. Kita akan buat semua nilai lo
jadi bagus.”
“Makasih, ya! Kalian udah mau bantuin gue.” ujar Kartika haru, hampir
menangis.
“Kok nangis, sih?” Hima menghapus air mata Kartika dengan telapak
tangannya.
“Kok kalian baik banget sama gue?” isak Kartika.
“Kita kan sahabat lo. Masak liat sahabat yang kesusahan kita diem aja?”
Winda memeluk Kartika, diikuti oleh Milly dan Hima.
“Makasih, ya.”
***
Sesuai janji, pulang sekolah Hima, Milly, Winda, dan Kartika bergegas
menuju rumah Kartika dengan menggunakan mobil baru milik Milly. Meskipun
usianya masih di bawah umur tapi ia sudah lihai mengemudikan mobil. Sebenarnya
kedua orang tua Milly tidak setuju Milly mengemudikan mobil sendiri, namun
karna Milly terus merengek. Dan akhirnya hati kedua orang tuanya pun luluh. Ia
adalah anak semata wayang dari keluarga pemilik salah satu perusahaan timah
putih terkenal dan terbesar di Indonesia. Sudah jelas pasti ia sangat dimanja
oleh kedua orang tuanya.
Sampailah di rumah Kartika.
Ketika Kartika hendak mengajak teman-temannya ke kamarnya, ia melihat Adnan
tengah terbaring lemas dengan selimut tebal di depan televisi. Ia pun
menghampirinya. Disusul oleh teman-temannya.
“Kakak enggak ke kampus?” tanya Kartika.
“Kakak lagi enggak enak badan,” jawab Kakaknya.
“Kok Kakak enggak kabarin gue, sih?”
“Kakak cuma enggak enak badan doang, kok. Lagipula Arini udah kesini, kok.
Dia lagi buatin bubur di dapur.”
“Kakak udah minum obat?”
“Udah.”
“Oh, iya, Kak. Kenalin temen-temen sekolah aku.”
“Hima.”
“Winda.”
“Adnan.” jawabnya ramah. Lalu Adnan memandang Milly dengan dahi yang
berkerut seperti memikirkan sesuatu.
“Kak Adnan lupa sama aku?”
Adnan masih memandangnya bingung.
“Aku Milly, Kak. Aku kan sodara jauh Kak Adnan sama Kartika. Dulu kita
sering maen bareng.” urai Milly.
“Anaknya Om Ridwan, Kak.” tambah Kartika.
Adnan memperhatikan Milly dengan seksama. “Oh iya,” ujar Adnan akhirnya.
“Maaf ya, Kakak hampir lupa. Kamu sih banyak berubah.”
Milly hanya tersenyum mendengar komentar Adnan.
“Gimana kabar orang tua kamu?”
“Baik kok, Kak.” jawab Milly antusias. “Kapan-kapan main ke rumah ya, Kak.”
“Oh iya,” Lalu Adnan mengalihkan pandangan pada Kartika. “Kamu enggak
pernah cerita kalo Milly satu sekolah sama kamu.”
Kartika hanya tersenyum tak jelas.
“Tumben pada maen ke rumah, ada apa?”
Milly hendak menjawab, namun segera dipotong oleh Winda. “Kita mau belajar
bareng, Kak.” Wajah Milly langsung berubah sinis.
“Tumben kamu mau diajak belajar bareng,” sindir Adnan pada Kartika.
“Kakak,” ujar Kartika menekuk wajahnya.
“Ya udah, kalian belajar yang rajin yah.” pesan Adnan.
Di saat yang bersamaan Arini keluar dari dapur dengan semangkuk bubur di
tangannya. Setelah memperkenalkan teman-temannya dengan Arini, Kartika pun
mengajak teman-temannya ke kamarnya. Arini pun menyuapi Adnan.
“Aku ambilin minum sama cemilan dulu, ya!” ujar Kartika sembari melemparkan
tasnya ke atas tempat tidurnya.
“Eh, Ika!” panggil Winda. “Sayang ya, kita ketemunya enggak dari dulu?”
“Emangnya kenapa?” tanya Kartika heran.
“Kakak lo ganteng banget, tapi sayang udah punya calon istri.”
“lo suka sama Kak Adnan?”
“Ya iyalah, siapa yang enggak suka cowok secakep itu?”
“Katanya naksir berat sama Kak Fathan,”
“Gue kan enggak pacaran sama Kak Fathan,” Winda jadi cemberut. “Lagipula
masih gantengan Kak Adnan daripada Kak Fathan.”
“Lo bisa aja,”
“Coba aja, kita udah kenal lama,” kebiasaan Winda kambuh lagi—berkhayal.
“Mungkin gue yang bakalan jadi kakak ipar lo. Gue kan lebih cantik dari Mbak
Arini.”
“Sebelum lo, gue dulu kali.” potong Milly. “Gue kan yang lebih dulu kenal
sama Kak Adnan.”
“Gue kan sodaranya?”
“Kita sodara jauh,”
“Dan sebelum kalian bilang begitu, tanya dulu sama Ika nya, mau enggak
dijadiin adik ipar?” ledek Hima.
“Bilang aja naksir juga. Syirik aja!” ujar Winda ketus.
Kartika pun meninggalkan temen-temannya yang tengah ribut memperbincangkan
Kakaknya. Kartika kembali dari dapur dengan nampan yang berisi dua toples
cemilan dan empat gelas es jeruk.
"Ika, kok kamar kamu sepi sih, enggak ada meja riasnya? Alat kosmetik kamu
disimpen dimana?” tanya Milly.
“gue cuma pencuci sama pelembab muka doang, kok. Kalo disimpen di meja
rias, terlalu kegedean. Bikin kamar gue jadi sempit. Aku simpen aja di kamar
mandi.” jawab Kartika.
“Ya ampun! Cuma itu doang?” tambah Winda. “Ika, cewek itu harus ada parfum,
body Lotion, bedak, dan berbagai kosmetik penting lainnya.”
“Pantes aja tiap ke sekolah muka lo selalu kucel.” ledek Milly.
“Emangnya kenapa kalo aku enggak suka dandan?”
“Enggak akan ada cowok yang mau deket sama cewek yang enggak suka dandan.”
jawab Winda.
“Tapi kan enggak semua cowok kayak yang lo maksud. Ada juga cowok yang
lebih suka ceweknya tampil apa adanya. Enggak harus selalu tampil cantik.”
balas Kartika bijak. “Intinya menjadi diri sendiri aja.”
“Tapi lo harus coba tampil seperti cewek-cewek pada umumnya. Qodrat kamu
itu cewek, Ika.” Winda terus memojokkan Kartika.
“Gue enggak pernah nolak dilahirkan sebagai cewek. Ya, gue seperti ini. Gue ingin jadi diri gue sendiri.Gue enggak mau jadi orang lain buat narik
perhatian.”
“Udah, udah. Kok jadi ribut, sih?” relai Hima.
“Niat kita kesini kan buat ngajarin Kartika, bukan ribut masalah penampilan
Kartika.” tambah Milly.
“Ya, udah. Kita mulai belajarnya sekarang!” perintah Hima.
Perdebatan Kartika dan Winda pun berakhir. Kini mereka mulai membuka buku.
Dan satu per satu mulai mengajari Kartika. Mereka sangat serius ketika
mengajari Kartika. Mereka adalah sahabat-sahabat yang patut diacungi jempol.
Meskipun sebelum belajar sempat ada percekcokan, namun mereka tidak membuat
masalah itu berlarut-larut.
Canda riang dan tawa kecil pun mengiringi kegiatan belajar mengajar. Tapi
dalam praktinya, mereka lebih sering mengobrol dan bercanda tawa daripada
belajarnya. Belajar hari ini selesai tepat pada pukul 19:00.
Proses belajar mengajar yang ditekuni Kartika setiap hari pun akhirnya
membuahkan hasil. Tak ada nilai enam lagi di rapornya. Sungguh suatu hal yang
luar biasa. Meskipun kebanyakan nilainya tak jauh dari angka tujuh, tapi ia
tetap senang dengan semua hasil yang diperolehnya itu. Itu semua tak lepas dari
bantuan sahabat-sahabatnya.
Diperlihatkannya rapornya pada Kakaknya. Adnan terkejut dengan semua
perubahan drastis adiknya itu. Akhirnya ia pun menyetujui Kartika untuk ikut
camping. Kartika sangat senang sekali. Ia pun memeluk Kakaknya erat.
***
Hari yang ditunggu semua siswa siswi SMA Azka Julian pun akhirnya datang juga.
Hari ini adalah hari keberangkatan siswa siswi SMA Azka Julian untuk menuju tempat
perkemahan. Meskipun tidak semua siswa siswi yang ikut camping, tapi siswa
siswi yang ikut cukup banyak.
Dan ternyata ucapan Hima memang benar. Dirga mengikuti acara camping tahun
ini. Walaupun ia tidak berbaur dengan siswa-siswi lain dalam satu bis. Ia dan
dua orang temannya memakai mobil zeep ke tempat perkemahan.
“Bener kan apa kata gue, Kak Dirga pasti ikut.” ujar Hima.
“Enggak sia-sia gue tampil cantik.” Milly menambahkan.
“Mobil siapa itu?” tanya Kartika sembari menunjuk mobil yang terparkir di
samping bis-bis.
“Mobilnya Kak Dirga, lah.” jawab Winda.
“Bukannya dia biasa pake motor?”
“Hello! Kak Dirga itu tajir. Jadi kendaraannya enggak cuma satu, dong. Kak
Dirga dan teman-temannya pergi ke tempat camping pake mobil itu. Enggak lucu
dong pergi ke tempat camping pake motor. Jadi mereka perginya enggak bareng
sama kita-kita yang naik bis.” urai Hima.
“Manja banget, sih. Emangnya kalo satu bis sama siswa-siswi yang lain bikin
mereka rabies?” ujar Kartika ketus.
“Hust! Ngaco aja kalo ngomong.”
“Ayo anak-anak, berkumpul semua!” seru Pak Kepala Sekolah, Pak Zulkifli. “Sebelum berangkat hendaknya kita berdoa
terlebih dahulu. Agar kita bisa selamat dalam perjalanan pergi maupun nanti
ketika pulang. Berdoa mulai!”
Semua siswa berdoa dengan khusyuk.
“Selesai!” ucap Pak Zulkifili. “Sekarang semuanya masuk ke bis sesuai dengan
nomor bisnya.”
“Baik, Pak.” jawab semua siswa serentak.
Semua siswa siswi sangat menikmati perjalanan. Sesekali ada beberapa siswa
yang bernyanyi-nyanyi untuk melepas rasa bosan. Semuanya telihat sangat senang.
Walaupun ada beberapa siswi yang mabok darat. Ia muntah di dalam bis. Membuat jijik
beberapa siswi lainnya.
Sementara Dirga dan teman-temannya yang membawa mobil sendiri ke tempat
camping mengikuti lajur bis dari belakang. Meskipun yang mengisi mobil zeep
milik Dirga hanya tiga orang. Tapi mereka juga sangat menikmati perjalanan. Evan
yang terkenal sangat cerewet terus menerus menggangu Dirga yang tengah
mengemudikan mobil. Tawa kecil pun mengiringi sepanjang jalan. Dan juga Fathan
yang bernyanyi-nyanyi tak keruan membuat kedua temannya mengomel.
Sampailah di sebuah penginapan. Semua siswa turun dari bis, termasuk Dirga
dan teman-temannya.
Semua siswi berteriak gembira karna mereka pikir camping akan diadakan di
penginapan yang ada di hadapan mereka.
Camping kok di hotel, sih? Ini mah piknik bukan camping. gumam Kartika
heran.
Beberapa saat kemudian Bapak Kepala Sekolah menyuruh semua siswa siswi
berkumpul dan mendengarkan Bapak Kepala Sekolah berkhutbah kembali.
“Alhamdulillah. Kita tiba disini dengan keadaan selamat. Namun perjalanan kita
belum selesai…”
“Belum selesai? Bukannya kita nginep di hotel ini, Pak?” tanya salah satu
siswi.
“Kalau kita tidur disini namanya bukan camping, tapi piknik.” jawab Pak Zulkifli dengan nada bercanda. Beberapa siswa menyambutnya dengan tawa mengejek.
“Kita masih harus berjalan sekitar lima kilometer ke dalam hutan. Disini kita
hanya akan beristirahat sejenak, untuk mempersiapkan perjalanan nanti. Duapuluh
menit lagi mari kita lanjutkan perjalanan. Untuk keperluan obat-obatan dan yang
ingin ke kamar mandi silahkan hubungi gugu-guru.”
“Huuu…” teriak beberapa siswi.
“Ga, kita pulang, yuk!” ajak Evan.
“Pulang?” tanya Fathan heran.
“Iya, pulang. Jalan lima kilometer itu jauh. Gue enggak sanggup.”
“Ya elah, Van. Lo cewek atau cowok. Loyok amat. Payah Lo!” ledek Dirga.
“Gimana kalo di dalem hutan ada binatang buas? Terus kita dimakan
hidup-hidup. Gue belum mau mati. Gue belum nikah, gue belum ngasih cucu buat
nyokap gue.”
“Pikiran lo itu terlalu jauh, Van. Ini acara rutin sekolah. Udah pasti
sekolah sering kesini. Kalo ada apa-apa pasti sekolah udah ngilangin acara ini.
Udah lah lo jangan kayak cewek.” ucap Fathan.
“Ya, udah. Kita ke hutannya bawa mobil. Lo tinggal bilang aja sama Pak
Kepsek pasti dibolehin.”
“Enggak, ah. Gue mau ikut jalan aja. Pasti seru.” bantah Dirga.
Evan pun mengerutkan wajahnya dan mengambil sekantung makanan ringan dari
dalam mobil. Lalu melahapnya dengan penuh kekesalan. Kedua temannya tak
mempedulikan Evan.
Perjalanan menuju hutan pun di mulai. Penuh keluh selama perjalanan. Lelah,
lah. Haus, lah. Lapar, lah. Dan masih banyak lagi. Keluhan itu lebih sering
diucapkan oleh anak-anak perempuan. Mereka sudah berkali-kali merengek meminta
kepada Pak Kepala Sekolah untuk rehat sejenak.
“Tidak. Kita masih harus melanjutkan perjalanan. Kita baru akan
beristirahat di tempat tujuan.” ujar Pak Zulkifli
Hima tampak kerepotan dengan semua barang bawaanya. Sebagai seorang
perempuan selalu tampil modis sudah pasti barang-barang bawaanya banyak. Ya,
seperangkat kosmetik yang akan selalu membuat Hima terlihat cantik setiap saat.
Tiba-tiba seorang siswa menghampirinya.
“Mau gue bantu?” sapanya kemudian.
“Lo siapa?” tanya Hima ketus.
“Kenalin,” ia mengulurkan tanganya. “Gue Rival. Lo pasti Hima, kan?”
Hima hanya tersenyum tawar.
“Gimana mau gue bantu?” tanya Donny lagi.
“Enggak perlu. Gue masih kuat buat ngangkatnya, kok.” Tiba-tiba
barang-barang bawaanya berjatuhan.
Donny pun memunguti barang-barang Hima yang berjatuhan. “Gue bilang juga
apa. Cewek secantik Le enggak cocok bawa barang-barang segini banyak. Sini
biar gue aja yang bawain.”
Hima hanya terdiam.
“Cie… Gue juga mau ada cowok yang angkatin barang aku.” ledek Winda.
“Ya iyalah. Beruntung banget jadi Hima. Ada cowok yang dengan suka hati
bawain barangnya.” Milly ikut menambahkan.
“Sekarang kita sudah sampai di tempat camping. Setelah kalian istirahat
sebentar, segera bangun tenda. Hari mulai malam. Jangan terlalu jauh membangun
tendanya. Jika ingin buang air kecil maupun besar harus dipastikan ada teman
yang menemani. Jangan sekali-sekali pergi sendirian.” urai Pak Zulkifli.
Semua siswa dan siswi mulai membangun tenda. Satu tenda ada yang diisi tiga
sampai enam orang. Ada beberapa siswi yang mengalami kesulitan ketika
mendirikan tenda. Apalagi Gina kawan-kawan. Mereka uring-uringan ketika
mendirikan tenda. Meskipun begitu tak ada yang mau membantu mereka.
Sementara Dirga, Evan dan Fathan hanya duduk-duduk santai saja sambil
menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah. Dan yang mendirikan mereka adalah
siswa-siswa kelas X. Mungkin karena mereka diancam oleh Dirga, mereka pun mau
menuruti kemauan anak manja itu.
“Selesai mendirikan tenda dan merapikan barang-barang bawaan, segera
mencari kayu bakar. Jangan terlalu jauh mencarinya.” ucap Pak Kepala Sekolah
lagi.
Kayu bakar sudah terkumpul banyak. Dan hari pun mulai malam. Pak Kepala
Sekolah segera membakar kayu bakarnya. Api unggun pun menyala di tengah-tengah
tenda para siswa. Meskipun api unggun sudah menyala, namun dingin hutan masih
menusuk para pekemah malam itu.
Fathan mengeluarkan gitarnya yang sengaja ia bawa ke perkemahan. Dan mulai
memetiknya. Fathan pun mulai menyanyikan sebuah lagu. Sebuah lagu yang
memecahkan keheningan malam. Beberapa siswi berteriak hiteris. Dan sebagian
lagi terhanyut dalam lagu yang dinyanyikan Fathan. sebuah lagu yang
dipopulerkan oleh Anda - Tentang Seseorang.
Teruntukmu hatiku, ingin ku bersuara
Merangkai semua tanya, imaji yang terlintas
Berjalan pada satu
Tanya slalu menggangguku
Seseorang itukah dirimu kasih
Kepada yang tercinta inginku mengeluh
Semua resah di diri mencari jawab pasti
Akankah seseorang yang diinginkan kan hadir
Raut halus menyelimuti jantungku
Cinta hanyalah cinta, hidup dan mati untukmu
Mungkinkah semua tanya kau yang jawab
Dan tentang seseorang itu pula dirimu
Ku bersumpah akan mencinta
Fathan memang memiliki suara emas yang mampu membuat pendengarnya terhanyut
dalan nyanyiannya. Ia yang terkenal playboy itu selalu menembak para gadis
dengan suara emasnya itu. Pantas saja tidak ada sejarahnya Fathan ditolak oleh
wanita yang pernah ditembaknya. Juga keromantisannya yang tak kalah jitunya.
Berbeda dengan Evan, banyak gadis yang bertekuk lutut padanya karna
gombalnya. Gombalnya yang terkenal jitu, tak pernah ada gadis yang menolak
untuk dipacarinya. Ia juga terkenal humoris. Meskipun agak cerewet, masih
banyak saja wanita yang terobsesi padanya. Dan yang sama dari keduanya dalah
wajah mereka yang tak kalah tampan dari Ariel Peterpan. Juga mereka selalu
memanjakan wanita yang dipacarinya dengan uang.
Malam mulai menampakkan kegelapannya. Dan rasa kantuk pun mulai menghantui
para pekemah itu. Mereka pun kembali ke tenda masing-masing. Dan tidur sampai
fajar menjelang.
***
Pagi pun datang dengan sinar mentari yang membuat gelapnya malam hilang.
Semua siswa siswi keluar dari tendanya. Selesai mengganti baju dan dan sarapan
pagi semua siswa siswi diminta berkumpul oleh Pak Kepala Sekolah.
“Acara pertama kita adalah jalan persahabatan.” ucap Pak Zulfikli.
“Jalan persahabatan?” tanya beberapa siswa heran.
“Jalan persahabatan akan dilakukan secara berkelompok. Satu kelompok berisi
sepuluh orang. Pembagian kelompok sudah dilakukan oleh panitia sebelum
berangkat kesini. Setiap kelompok akan mencari bendera sesuai warna
kelompoknya. Bendera setiap kelompok berjumlah lima buah. Rute jalan sudah
dipasang tanda panah. Kelompok yang terlebih dahulu sampai kemari itulah
pemenangnya. Bu Anita akan membacakan pembagian kelompoknya.” urai Pak Zulkifli.
"Sekolah kurang kerjaan banget, sih? Emang kita anak SD harus ada acara
ginian?" keluh Dirga.
Pembagian kelompok pun berakhir juga. Kartika tidak satu kelompok dengan
teman-temannya. Walau begitu ia masih menikmati perjalanan yang berlangsung.
Dan perjalanan pun di mulai. Perjalanan menuju hutan yang makin lebat dengan
pepohonan.
Tiba-tiba tali sepatu Kartika lepas. Ia pun segera menalikannya.
“Kita kerjain Kartika, yuk!” bisik Nadia.
“Caranya?” tanya Cindy.
Gina memandang sekelilingnya, berpikir. Mencari sesuatu yang bisa dijadikan
untuk mengerjai Kartika. Pandangannya terhenti ketika melihat tanda panah
jalan. Lalu ia pun tersenyum licik.
“Apa enggak terlalu keterlaluan?” ucap Cindy.
“Lo kenapa sih, Ndy? Lo salah makan, ya?” ledek Nadia.
“Gimana kalo dia nyasar di hutan?”
“Itu kan tujuan kita.” tambah Gina.
“Tapi ini hutan, Na. Pasti banyak binatang buas. Gimana kalo dia dimakan
binatang buas?”
“Lo mau keluar dari genk ini cuma buat belain Kartika? Awas ya, Kalo lo
sampe buka mulut tentang hal ini. Nasib lo bakal kayak Si Kartika.” ancam Gina.
Gina pun memutar arah tanda panah rute jalannya. Dan ketiganya segera
bersembunyi di balik pohon besar yang tak jauh dari pertigaan itu.
Selesai menalikan tali sepatunya, Kartika segera melanjutkan perjalanan
sesuai arah tenda. Kartika berhasil mereka kerjai. Mereka segera memutar
kembali tanda panah rute jalannya. Dan segera mengikuti jejak kelompoknya
masing-masing.
Semakin lama berjalan Kartika tidak menemukan tanda-tanda anggota
kelompoknya.
Kartika mulai meneriakkan nama-nama anggota kelompoknya. “Kak Reyhan…”—yang
merupakan ketua regu keLompoknya.
“Mitha…”
“Kak Saraz…”
“Alif… Kalian dimana?” teriaknya terus menerus.
Kartika mulai menyadari bahwa dirinya tersesat. “Aku dimana sekarang? Kak
Reyhan…”
Tiba-tiba ia mendengar suara berisik di balik semak belukar. “Hah! Suara
apa itu?” Kartika segera berjalan mundur menjauhi semak belukar tersebut. Dan
tiba-tiba ia bertabrakan dengan sesuatu. “Aaaaa…” terikanya. Kartika segera
membalikkan badannya dengan menutup mata.
“Lo lagi?”
Suara itu? Kartika mulai membuka matanya.
“Dirga? kamu lagi? Bosen aku liat muka kamu.”
“Gue lebih bosen liat muka lo mulu.” Dirga tak mau kalah. Dirga pun pergi
meninggalkan Kartika.
“Mau kemana?” tanya Kartika.
“Ya, mau balik ke perkemahan, lah.” jawab Dirga ketus.
“Ikut. Aku nyasar. Aku enggak tahu jalan pulang.”
“Ngerepotin banget, sih. Makanya jangan sok-sok’an itu camping.” ledek
Dirga. “KlLo mau ikut jangan deket-deket.”
“Emang siapa yang mau deket-deket sama kamu,”
***
Sementara di perkemahan terjadi kepanikan.
“Bu Claudya, Kartika hilang.” ucap Reyhan berlari menghampiri Bu Claudya.
“Ika hilang?” Hima keheranan.
“Hilang? Kok bisa? Bukannya kalian satu kelompok, kenapa bisa pisah?” tanya
Bu Claudya heran.
“Kita juga enggak tahu, tahu-tahu Kartika udah enggak ada di belakang
kita.” urai Reyhan.
“Bu, Dirga hilang.” teriak Evan.
“Dirga juga hilang?” Bu Claudya semakin heran.
“Apa? Dirga hilang?” teriak beberapa siswi histeris.
“Kita harus hubungi mereka.”
“Kartika enggak bawa hpnya.” ucap Milly.
“Hpnya Dirga enggak bisa dihubungi. Disini enggak ada sinyal.” tambah Fathan.
“Bu, kita harus cari Dirga.” usul Gina.
“Ika juga harus kita temuin, Bu.” tambah Winda.
“Ya, kalian betul. Saya akan beri tahu guru-guru yang lain. Beberapa siswa
ikut Ibu. Siswi-siswi tunggu saja di perkemahan.”
“Tapi, Bu. Kita juga mau nyari Kartika.” bantah Hima.
“Aku juga harus pastiin Dirga enggak apa-apa.” Gina menambahkan.
“Ibu enggak mau ambil risiko yang lebih besar lagi. Sekarang kalian diam
saja disini dan berdoa supaya Kartika dan Dirga akan baik-baik saja dan segera
ditemukan.”
Mendengar ucapan Bu Claudya, Gina dan beberapa siswi lainnya jadi cemberut.
Tapi harus bagaimana lagi, Bu Claudya juga ada benarnya. Lagipula ia adalah
guru BP yang terkenal sangat galak bila perintahnya diabaikan.
***
Lama mereka berjalan namun perkemahan belum terlihat juga. Kartika pun
sudah menunjukkan wajah kalau dirinya sudah lelah berjalan.
“Kayaknya kita udah lewatin jalan ini tiga kali. Tapi perkemahan belum juga
ketemu.” keluh Kartika.
“Ini semua gara-gara lo yang bawel ngomong mulu dari tadi.”
“Emang bener kok. Kita malah keliling-keliling di jalan ini bukannya nemuin
perkemahan. Aku udah cape. Kalo gini terus, sampe malem juga kita enggak akan
nemuin perkemahan. Aku enggak mau tidur di hutan gelap ini.”
“Iya gue tahu. Lo diem aja! Kita lanjutin perjalanannya.”
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan baik Kartika
maupun Dirga tidak ada yang mau menyumbang suara untuk memecah keheningan.
Kini keduanya sampai di tepi sungai.
“Wah, sungainya keren! Airnya jernih banget. Beda jauh sama sungai di
Jakarta.” Kartika segera berlari menuju tepi sungai untuk mencuci muka dan
meneguk airnya. “Seger!”
Dirga bejalan berlawanan arah dengan Kartika. Ia melepas sepatu dan kaus
kakinya lalu merendam sebagian kakinya ke dalam air, membasuh wajahnya.
Dinginnya! Segar sekali! Baru saja ia ingin memejamkan mata, ia mendengar
sebuah teriakan.
“Dirga..…..” teriak Kartika.
Dirga segera berlari ke arah Kartika, dilihatnya ada seekor ular yang
melata ke arah Kartika. Kartika terlihat sangat ketakutan dan panik. Belum
sempat Kartika melarikan diri, ular itu sudah mematuk pergelangan kaki Kartika.
Dirga melempar ular itu dengan batu dan berhasil membuatnya pergi.
Dihampirinya Kartika yang hampir tak sadarkan diri. Dirga langsung mengangkat
kaki Kartika yang terpatuk ular tadi dan menghisapnya. Lalu ia merobek kausnya
dan menalikannya pada betis Kartika.
“Ika. Lo harus kuat. Gue bakal bawa lo ke rumah sakit. Lo tahan, lo
sabar! Loe jangan pingsan dulu.” Dirga pun mengendong Kartika.
Beruntung, Dewi Fortuna masih berpihak pada Kartika dan Dirga. Akhirnya
guru-guru berhasil menemukan mereka. Walaupun pertemuan itu bukan pertemuan
yang diharapkan.
“Kartika kenapa?” tanya Bu Kirani.
“Dia digigt ular, Bu. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.” jawab
Dirga.
“Digigit ular? Kok bisa?” tanya Winda khawatir.
“Enggak ada waktu buat penjelasan. Kita harus secepatnya bawa Kartika ke
rumah sakit. Kalo terlambat nyawa Kartika tak ada terselamatkan.” urai Dirga.
“Tapi kamu enggak apa-apa kan, Ga?” tanya Gina perhatian.
Dirga tak menjawab. Ia pun segera menyusul beberapa guru yang memboyong
Kartika menuju rumah sakit.
“Ga. Biar aja Kartika diurusnya sama sekolah. Kamu juga kan masih cape.
Kamu ikut aku aja, biar aku yang ngurusin kamu.” Gina mendekati Dirga.
“Gue enggak apa-apa. Dan gue enggak butuh bantuan lo.” jawab Dirga ketus
dan ia pun segera bergegas.
“Tuh kan, Na!” ucap Cindy setengah berbisik dengan wajah bersalah. “Kartika
digigit uler gara-gara kita. Kalo aja kita enggak muterin tanda panah rute
jalan…”
“Bawel lo! Kalo sampe kita ketahuan dan itu gara-gara lo, liat aja!”
ancam Gina.
“Lo enggak mau kan kita dikeluarin dari sekolah gara-gara masalah ini.
Sekarang kita pura-pura aja enggak pernah ngelakuin apa-apa. Dan jangan bahas
masalah ini lagi.”
***
Dokter keluar dari ruang UGD, seraya berkata, “Syukur, alhamdulilah. Bisa
yang terdapat pada tubuh Kartika sudah dapat dikeluarkan. Dan ia pun sudah
melewati masa kritis. Itu semua tak lepas dari doa-doa yang kalian sumbangkan
pada Kartika. Dan sekarang Kartika sudah kami beri obat penenang, jadi untuk
malam ini ia akan tidur dengan nyenyak. Dan sekarang kami akan memindahkannnya
ke kamar rawat.”
“Apa boleh kami menemuinya?” tanya Bu Claudya.
“Oh, tentu. Tapi tidak boleh banyak-banyak. Kalau begitu saya permisi
dahulu.”
“Terima kasih banyak, Dok.”
“Sudah menjadi tanggung jawab kami.”
“Untuk sekarang, mari kita bergiliran menjenguk Kartika. Setelah itu
beberapa guru kembali ke perkemahan. Dan sebagian lagi menunggui Kartika disini
sampai keluarganya datang.” ujar Pak Zulkifli.
“Enggak apa, Pak. Biar saya saja yang menunggui Kartika. Ibu Bapak Guru
kembali saja ke perkemahan.” usul Dirga.
“Kamu masih terlalu lelah setelah tersesat di hutan tadi?” sanggah Bu
Marni.
“Saya enggak apa-apa, Bu. Saya masih sanggup untuk menunggui Kartika. Lagipula
ini salah saya juga. Andai saya tidak meniggalkan Kartika sendirian, mungkin
Kartika tidak akan digigit ular.”
“Tapi apa kata Ibu kamu nanti?”
“Ibu saya tak akan mempermasalahkan ini.”
“Ya, sudah. Terserah mau kamu saja,” Pak Burhan mengalah. “Tapi disini
harus mau ditemani oleh Bu Kirani. Supaya jika ada apa-apa, kamu tidak
sendiri.”
Dirga pun mengangguk setuju.
Dirga tak tidur ketika menunggui Kartika. Meskipun kedua kelopak matanya
sangat ingin beristirahat namun Dirga berusaha keras menahannya. Ia sangat-sangat
merasa bersalah atas keadaan Kartika. Sementar Bu Kirani yang sangat lelah
ketika mencari Kartika dan Dirga sudah tertidur pulas di atas sofa.
Sampai akhirnya datang Adnan dengan langkah terburu-buru.
“Apa yang terjadi dengan adik saya?” tanyanya.
“Kami betul-betul minta maaf. Ini diluar dugaan kami.” jawab Bu Kirani
gelagapan.
“Ini semua salah saya.” jawab Dirga.
Tinju Adnan pun melayang dan membuat luka pada pelipis kiri Dirga.
“Sudah, Pak. Sudah. Ini bisa kita selesaikan secara baik-baik. Bapak tidak
perlu memakai emosi.” Bu Kirani menenangkan.
“Tidak perlu ada permusyawarahan lagi. Saya akan memindahkan Kartika ke
sekolah lain.”
“Pak. Jangan ambil keputusan secepat itu. Kami mohon maafkan keteledoran
kami. Pihak sekolah akan menanggung semua biayanya.”
“Ini bukan masalah biaya, Bu. Ini menyangkut nyawa adik saya. Nyawa tidak
bisa dibeli dengan uang sebanyak apapun. Dan kesalahan ini tidak bisa
dimaafkan.”
“Tapi, Pak…”
“Sudahlah, Bu. Kita bicarakan ini nanti saja. Biarkan saya dan adik saya berdua
saja.”
Bu Kirani dan Dirga pun keluar. Tak lama kemudian datanglah Bu Sinta, Mama
Dirga. Ia pun segera memeluk anak sulungnnya itu.
“Dirga, kamu tidak apa-apa? Mama khawatir banget sama kamu.” tanyanya
khawatir. Secara kasat mata Bu Sinta melihat luka memar pada wajah anaknya itu.
“Kenapa wajah kamu bisa memar, Ren?”
“Bukan apa-apa.” jawab Dirga sedikit ketus.
“Bu, kami sangat-sangat mohon maaf. Maafkan atas kecerobohan kami.” ucap Bu
Kirani.
“Kalian sudah bosan bekerja? Kalian ingin saya pecat? Bagaimana kalau Dirga
yang digigit ular? Apa kalian mau tanggung jawab? Kalian ceroboh sekali.”
“Sudahlah. Jangan perpanjang lagi masalah ini!”
“Tapi, Dirga. Kecerobohan ini sudah keterlaluan. Kalau kamu yang jadi
korban bagaimana?”
“Aku bilang, udah.”
“Ya, sudah. Kita pulang, ya?” Dirga menurut saja apa kata Ibunya. Keduanya
kembali ke Jakarta malam itu juga. Dirga sendiri tidak sempat pamit pada
Kartika.
***
Akhirnya Kartika pun terbangun dari tidurnya semalam.
“Dirga mana?” tanyanya.
“Dirga? Kenapa Dirga yang kamu tanyain pertama kali?” Adnan balik bertanya.
“Kak Adnan? Kok ada disini?”
“Kamu enggak seneng Kakak ada disini? Kamu mau Dirga yang nungguin kamu?”
“Bukan gitu maksud Ika. Kakak pasti udah tahu Ika tersesat dihutan bareng
Dirga. Ika cuma mau tahu aja, gimana kabar Dirga sekarang? Kok dia enggak ada
disini? Apa dia dirawat juga?” tanya Kartika tak henti-hentinya.
“Kayak Polisi aja nanyanya panjang lebar.” ledek Adnan.
“Ika serius, Kak.”
“Sebenernya sebelum Kakak dateng kesini, dia yang nungguin kamu. Pas Kakak
dateng, kebetulan Ibunya jemput. Kenapa kamu malah peduli sama orang yang udah
bikin kamu celaka?”
“Ini bukan salah Dirga juga, kok.”
“Terus salah siapa?”
“Ya, enggak ada yang salah.”
“Makanya nurut apa kata Kakak. Kalo kamu enggak ikut camping, kamu enggak
akan digigit uler. Ngeyel, sih. Gimana kalo kamu telat ditolong?”
“Kalo Ika telat ditolong, enggak mungkin detik ini Ika ada di hadapan
Kakak.”
“Kamu pindah sekolah, ya?”
“Kenapa?”
“Kakak enggak mau adik Kakak ini masuk rumah sakit lagi gara-gara
kecerobohan sekolah kamu.”
“Ini semua enggak cuma gara-gara keteledoran sekolah aja, tapi Ika juga.
Lagipula belum tentuIka bisa nemuin sahabat kayak Hima, Milly, Winda di
sekolah lain. Jangan pindah sekolah, ya?”
“Asal kamu janji bisa jaga diri dan nurut apa kata Kakak.”
“Janji!”
Ditengah perbincangan keduanya datanglah seorang suster dengan semangkuk
bubur untuk sarapan Kartika. Tak lupa juga seperangkat obat yang tersusun rapi
di sampingnya.
“Simpen aja di meja!” jawab Kartika.
Suster pun meninggalkan ruang rawat Kartika.
“Ayo sarapan dulu! Biar Kakak suapin.” rayu Adnan.
“Enggak mau, ah. Kata orang makanan rumah sakit enggak enak.”
“Pindah sekolah, ya?”
“Ah, Kakak.” Kartika pun mengalah kepada Kakaknya. Dengan terpaksa Kartika menghabiskan
semangkuk bubur yang Adnan jejalkan pada lambungnya. Sesekali Kartika meminta
berhenti makan sebelum buburnya habis. Tapi setiap kali Kartika berkata
demikian, Adnan selalu mengancamnya untuk pindah sekolah.
Siangnya Hima, Milly dan Winda datang menjenguk. Ketiganya segera memeluk
sahabat mereka yang tengah tergeletak tak berdaya di atas kasur rumah sakit.
“Aduh kasian temen kita ini. Mau liburan, malah masuk rumah sakit.” ucap
Winda.
“Kakak keluar dulu, ya!” Adnan pun meninggalkan Kartika bersama
sahabat-sahabatnya.
“Maaf ya, kita enggak bawa apa-apa kesini. Kita langsung dari perkemahan
jadi enggak bisa beli apa-apa di jalan.” ucap Hima.
“Yah. Padahal gue ngarep banget ada yang bawa makanan buat gue kesini.
Makanan rumah sakit enggak enak.”
“Tadinya kita cuma basa-basi doang, kok.” tambah Hima.
“Ada salam dari temen yang lain. Mereka enggak dibolehin Pak Zulkifli buat
dateng kesini. Setelah beres-beres buat pulang mereka bakal nengokin lo.”
ucap Milly.
“Kok kemahnya selesai?”
“Ya, enggak enak aja kali. Kita seneng-seneng kemah sementara lo terbaring di rumah sakit gara-gara perkemahan itu.” tambah Winda.
“Gue enggak akan apa-apa, kok.”
“Tapi kita yang apa-apa. Masak lo sakit kita malah seneng-seneng? Enggak
solider dong?” ucap Hima.
“Maaf ya. Gue udah buat kemahnnya berantakan.”
“Malah yang harusnya minta maaf itu kita. Kita enggak jagain lo selama
camping.” ucap Milly.
“Tapi gue cemburu sama lo” ucap Hima tiba-tiba.
“Cemburu kenapa? lo juga mau nginep di rumah sakit?” jawab Kartika dengan
nada bercanda.
“Kenapa harus lo yang tersesat bareng Kak Dirga. Kalo gitu mah gue juga
mau nyasar di hutan.”
“La, gue enggak ada niat buat tersesat bareng Dirga, kok. Mana mau sih gue
nyasar di hutan? Apalagi sama cowok jutek pujaan lo itu.”
“Aku cuma bercanda kok,” Ketiganya pun bergantian memeluk Kartika.
***
Tags:
Kisah