3 tahun untuk selamanya [Part 2]




Ekskul Basket

Keinginan Kartika untuk pergi ke toko buku yang dulu sempat diundur. Kini sudah dapat terlaksana. Sepulang sekolah Kartika begegas ke toko buku yang jaraknya tidak terlalu dekat dengan sekolahnya.

Ditelusurinya setiap sudut toko buku, namun buku yang ia cari belum terlihat olehnya. “Aduh, dimana, sih? Kata Si Mbaknya novel Hunger Games ada di sekitar sini. Tapi mana, ya?” keluh Kartika.

“Nah, ketemu juga akhirnya!” lanjutnya.

Ketika ia hendak mengambil novel itu. Tangan seseorang juga berusaha mengambilnya. Kartika pun melirik pada orang yang mempunyai tangan itu.

“Dirga?”

“Lo? Siswi yang telat itu, kan?” Ternyata kesan pertama bertemu bagi keduanya sangatlah tidak baik. Dirga menilai Kartika adalah siswi yang tidak disiplin dan tidak mematuhi peraturan. Kartika sendiri menilai Dirga adalah senior yang galak dan ketus.

“Aku punya nama, ya! Nama aku Kartika.”

“What ever lah, Gue enggak peduli siapa nama lo. Yang jelas lo musti lepasin novel ini.”

“Enak aja. Aku yang duluan liat, kok. Harusnya kamu yang lepasin novelnya.”

“Enggak. Pokoknya lo yang harus lepasin.”


“Enggak mau.” Kartika tetap ngotot. “Kamu kan cowok, ngalah dong!”

“Enak aja gue yang ngalah,”

Novel yang tinggal satu-satunya itu tengah diperebutkan Kartika dan juga Dirga. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Namun dimana-mana laki-laki lebih kuat dari perempuan. Dirgalah yang berhasil mendapatkan novel itu.

“Gue yang dapet.” ujar Dirga bangga.

“Heh, balikin novelnya!” Kartika berusaha mengejar Dirga.

Namun Dirga cepat sekali menghilang dan Kartika pun kehilangan jejaknya. “Ah, padahal itu tinggal satu-satunya. Aku harus cari dimana lagi.” keluh Kartika.

Kartika pun memutuskan untuk pulang. Perebutan novel yang ia ingin-inginkan dari tangan Dirga tak membuahkan hasil.

Sesampainya di rumah, Dirga segera bergegas menuju kamar adiknya—Chika. Dilihatnya adiknya yang sangat dicintainya itu tengah melahap bubur yang disuapi Bibik Imas. “Sudah, Bik!” Dirga meraih mangkuk bubur dari tangan Bik Imas. “Biar saya saja yang menyuapi Chika.”

“Baik, Mas!” Bik Imas pun m



eninggalkan kamar Chika.

Satu suap, dua suap bubur Chika habiskan, sampai satu mangkuk bubur habis dilahapnya.

“Tumben abang pulang cepet?” tanya Chika.

“Abang mau ngasih sesuatu sama kamu.”

“Emangnya hari ini Chika ulang tahun?”

“Oh, jadi kalo abang mau ngasih kamu sesuatu kalo pas ulang tahun aja?”

“Emangnya apa yang mau abang kasih buat Chika?”

“Kemarin-kemarin kamu pernah bilang sama abang pengen nonton film Hunger Games. Dan abang udah janji mau nemenin kamu. Tapi enggak jadi karna kamu enggak diizinin keluar rumah. Abang juga udah berusaha nyari VCD-nya. Tapi enggak nemu juga. Untung aja novelnya masih ada.”

“Wah! Makasih ya, bang!” ujar Cikha gembira.

“Iya, sama-sama. Kamu suka, kan?”

“Suka banget! abang adalah abang terbaik sedunia. Chika beruntung punya abang kayak bang Dirga.”

"abang juga beruntung punya adik semanis dan selucu kamu.” Dirga pun memeluk Chika dengan penuh kasih sayang.

***

Hari ini adalah hari dimana semua siswa-siswi kelas X menentukan ekskul apa yang akan ia ikuti. Kartika memutuskan untuk mengikuti ekskul basket. Sementara ketiga temannya, Hima yang senang berkreasi dan pintar berbicara memutuskan untuk mengikuti ekskul jurnal. Milly dengan suaranya yang bagus dan Winda yang mahir dalam biola, mendaftarkan diri dalam ekskul musik.

Sesampainya Kartika di lapang basket, ternyata semua siswa-siswi yang mengikuti ekskul basket sudah mulai pemanasan. Ketika Kartika melihat siapa yang memandu pemanasan, ia sangat terkejut.

“Dirga? Kok dia, sih? Kenapa coba dia selalu ngintilin aku?” Ia pun teringat dengan kata-kata Hima yang sempat menyebutkan bahwa Dirga adalah kapten basket. Ia lupa dengan yang satu itu.

“Hei, kamu yang disana!” teriak sang pemandu pemanasan. “Sedang apa kamu disana? Sudah tahu telat, bukannya segera kemari. Malah bengong disana.”

Kartika pun berlari menuju siswa siswi yang sedang melakukan pemanasan dan bergabung bersama mereka mengikuti pemanasan.

Aduh, sial banget, sih! Kenapa harus ketemu dia lagi? gumam Kartika dalam hati.

“Hei, kamu yang tadi telat!” Suara itu membuyarkan lamunan. Pemilik suara itu menghampiri Kartika. “Lo lagi? Bosen hidup gue ketemu lo terus.”

“Emangnya aku suka ketemu kamu? Aku juga enggak tahu bakal ketemu kamu lagi.”

“Lo ini udah telat dan enggak konsen pemanasan, masih berani jawab, ya?”

“Ya, maaf! Tapi kenapa sih kamu yang harus sewot? Pak Pelatih aja enggak sewot.”

“Perlu lo ketahui, ya! Gue adalah kapten tim basket sekolah ini, sekaligus asisten Pelatih.”

“Kok mau-maunya Pak Pelatih punya asisten kayak kamu?”

“Kenapa sih lo sinis banget sama gue?”

“Sekarang kita pikir aja mana ada orang yang gak sinis sama orang sejutek kamu?”

“Orang itu cuma lo doang.”

“Pemanasannya cukup. Sekarang kita mulai dengan melempar bola basket. Silahkan buat dua buah shaf berhadapan.” ucap Pak Pelatih, Pak Debi. “Dirga!” teriaknya.

“Iya, Pak!” Dirga segera menghampiri Pak Deby. Pertengkaran antara Kartika dan Dirga pun akhirnya selesai juga.

“Pandu semua anak-anak!”

“Baik, Pak.” jawab Dirga. “Ayo semua, gerak cepat!”

Dirga mulai memperagakan cara memegang bola basket yang baik dan benar. Kakinya membentuk kuda-kuda dan badan agak condong ke depan. Telapak tangannya melekat di samping bola agak ke belakang, jari-jari terentang melekat pada bola. ibu jarinya terletak dekat dengan badan di bagian belakang bola yang menghadap ke arah tengah depan.

“Menangkap bola pun tak jauh beda dengan cara memegangnya. Buka aja telapak tangannya! Untuk mengoper bola, ada tiga cara, yang sekarang akan kita pelajari adalah chest pass, melempar bola ke depan dada.” urai Dirga menjelaskan. “Sekarang kalian mulai dengan memegangnya dan melemparkan kepada teman yang ada di hadapannya secara zig-zag. Mengerti?”

“Mengerti, Kak.” jawab anak-anak basket serempak.

“Mulai dari kamu!” Dirga menunjuk kepada salah satu siswi dan melemparkan bola basket padanya.

 Ketika ada siswa maupun siswi yang mengalami kesulitan dalam cara memengang atau melempar bola, ia perbaiki dengan lemah lembut. Namun kesabarannya mulai terkuras habis ketika memperbaiki kesalahan Kartika. Meskipun sudah diberi contoh berkali-kali, Kartika selalu saja memperagakannya dengan salah.
“Lo enggak perhatiin gue, ya?”

“Enak aja. Aku perhatiin kamu, kok.” jawab Kartika.

“Buktinya diperbaiki berulang kali, salah mulu.”

“Ya, gimana caranya?”

Dirga tak menjawab. Ia berdiri di belakang Kartika dan memegang tangan Kartika dari belakang.

“Eh, mau ngapain?” Kartika menghindar dan mendekap dadanya sendiri.

“Mau bisa enggak?”

Kartika pun hanya terdiam.

Tangan Dirga memegang tangan Kartika dari belakang. Memperagakan bagaimana cara memegang bola basket yang benar. “Nah, gini kek dari tadi.” Dirga menghembuskan napas lega.

Namun beberapa siswi yang melihat Dirga memeluk Kartika, meskipun hanya sebatas memperagakan cara memegang bola basket dengan baik dan benar, mereka semua cemburu, berpikiran negatif terhadap Kartika, dan jadi tidak suka padanya.

“Caper banget sih jadi murid baru!” gerutu beberapa orang siswi.

Kartika sendiri tidak menyadari bahwa banyak siswi yang cemburu padanya gara-gara Dirga memeluknya.

Pelajaran ekskul pun berakhir. Semua siswa siswi ganti baju di ruang Loker.

Segerombolan siswi berjalan menghampiri Kartika dan menutup pintu Loker Kartika dengan keras. Itu membuat Kartika kaget.

“Kak Gina?”

“Hei, lo jangan sok cari perhatian Dirga, deh.”

“Maksud Kakak apa?”

“Jangan belaga bego deh. Lo tadi cuma pura-pura enggak bisa, kan? Biar lo bisa dipeluk Dirga.”

“Jangan Kakak pikir aku cewek murahan kayak cewek-cewek yang naksir Dirga, ya? Aku bukan tipe cewek yang tertarik sama Dirga. Emang aku kayak Kakak yang mau ngelakuin segala cara buat dapetin Dirga. Kalo aku mau dapetin Dirga aku enggak perlu pake cara basi kayak tadi. Dan memang disayangkan aku enggak tertarik sama Dirga. Lagipula tadi emang beneran aku enggak bisa.”

“Lo cuma adik kelas, berani-beraninya lo nyolot sama gue?”

“Semut juga kalo terus-menerus diganggu bakal gigit.” Kartika pun pergi meninggalkan Gina dan kawan-kawan.

“Sialan!” teriak Gina.

“Perlu dikasih pelajaran, tuh.” usul Cindy.

“Gue setuju. Kalo ntu anak dibiarin gitu aja, lama-lama akan ngelunjak.” tambah Nadia.

“Tenang aja. Gue enggak bakal diem aja diinjek-injek adek kelas.”

Seisi sekolah sudah sepi, Kartika masih berada di sekolah. Ia baru saja keluar dari perpustakaan. Kelasnya mendapat tugas membuat kliping mengenai kondisi geogarfis Indonesia untuk keperluan tugas pelajaran geografi. Selekas itu ia pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Dan tiba-tiba pintu kamar mandi terkunci dengan sendirinya. “Ini semua enggak lucu. Hei, buka pintunya! Siapa aja yang ada di luar, tolong! Tolong buka pintunya!” teriak Kartika.

Dan tiba-tiba lampu kamar mandi mati dengan sendirinya. Itu membuat Kartika semakin ketakutan. “Tolong!” teriaknya lagi.

Kartika terus menerus berteriak meminta tolong. Namun tak ada satu pun orang yang mendengarnya. Dan tiba-tiba muncul dua sosok berpakaian serba hitam dan bertopeng seram. Kartika semakin ketakutan. Ia sendirian. Teriakannya pun semakin keras namun tetap saja tak ada yang mendengar.

“Pergi! Jangan ganggu aku! Pergi!” teriak Kartika berkali-kali. Ia tak sanggup lagi untuk melengkingkan suaranya berteriak minta tolong, Kartika pun terduduk lemas dan menangis.

Di saat yang sama Dirga hendak pulang. Tepat ketika ia berjalan di depan kamar mandi wanita, ia mendengar tangisan seorang perempuan. Tanpa rasa takut Dirga menghampiri pintu kamar mandi. Ia mencoba membuka pintu, namun pintu terkunci. “Ada orang di dalam?”

Kartika menghapus air matanya. “Siapa pun yang ada diluar, tolong aku. Tolong buka pintunya!”

“Na, kita ketahuan.” bisik salah satu sosok bertopeng itu.

Dirga pun mendobrak pintu kamar mandi. Didapatinya Kartika tengah duduk lemas tak berdaya. Juga dua sosok yang berdiri di hadapan Kartika. Dirga menghampiri Kartika. “Lo enggak apa-apa?”

Dirga membantu Kartika untuk berdiri.

“Aku takut.” Kartika memeluk erat tubuh Dirga.

Ketika sosok-sosok itu hendak melarikan diri. Dirga menarik topeng yang dikenakan salah satu hantu-hantuan itu. “Gina?” Kini giliran Gina yang ketakutan. Ia telah ketahuan mengerjai Kartika oleh Dirga. Ia pun lari terbirit-birit bersama temanya yang masih memakai topeng dari kamar mandi.

Dirga mengajak Kartika pergi dari kamar mandi. Keduanya pun duduk di salah satu bangku taman sekolah. Dirga memberikan sebotol minuman pada Kartika.

“Udah sore gini, kenapa lo masih ada di sekolah?”

Kartika tak menjawab. Ia masih kaget dengan hal yang menimpanya beberapa menit yang lalu.

“Gue enggak nyangka lo takut sama setan-setanan. Gue pikir, selama ini cewek galak kayak lo enggak takut setan. Mungkin malah setannya yang takut sama lo.”

“Enggak lucu tahu.” ujar Kartika ketus.

“Lo udah agak baikan, kan?”

Kartika hanya mengangguk.

“Gue pulang duluan.”

Dirga beranjak dan meninggalkan Kartika duduk sendiri di bangku taman.

Kartika pun memutuskan untuk pulang. Walau dirinya masih merasa ketakutan. Ia juga masih belum mampu mengatur napasnya. Ketika ia berjalan melewati gerbang sekolah. Ia dikagetkan dengan suara Dirga.

“Lelet banget sih jalannya. Gue udah lumutan nunggun lo disini.”

“Nungguin aku?” tanyanya heran. “Buat apa? Bukannya kamu bilang mau pulang duluan?”

“Bawel banget, sih! Buruan naik!”

“Naik?”

“Iya, naik!”

“Aku bisa pulang sendiri, kok. Kamu enggak usah repot-repot nganterin aku pulang.”

“Lo jangan GR dulu,” Dirga berdalih. “Gue mau ke rumah temen gue yang kebetulan lewat rumah lo. Ayo, ikut aja!”

Kartika menurut saja apa yang dikatakan Dirga. Ia juga masih belum memutuskan untuk pulang dengan apa. Shock-nya membuat pikiran Kartika kosong.

Sampailah di rumah Kartika.

“Makasih buat semuanya.” ucap Kartika.

“Kirain gue, Loe lupa caranya berterima kasih,” ledek Dirga. “Ya, sama-sama. Gue balik dulu. Lain kali kaLo ke kamar mandi jangan sendirian lagi.” Dirga langsung menancap gas dan hilang dari pandangan.

“Katanya mau ke rumah temen?” Kartika sedikit bingung dengan perkataan Dirga. “Udahlah. Ngapain juga aku pikirin.”



Bersambung . . . . . . :P

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »