Ekskul
Basket
Keinginan Kartika untuk pergi
ke toko buku yang dulu sempat diundur. Kini sudah dapat terlaksana. Sepulang
sekolah Kartika begegas ke toko buku yang jaraknya tidak terlalu dekat dengan
sekolahnya.
Ditelusurinya setiap sudut
toko buku, namun buku yang ia cari belum terlihat olehnya. “Aduh, dimana, sih?
Kata Si Mbaknya novel Hunger Games ada di sekitar sini. Tapi mana, ya?” keluh
Kartika.
“Nah, ketemu juga akhirnya!”
lanjutnya.
Ketika ia hendak mengambil
novel itu. Tangan seseorang juga berusaha mengambilnya. Kartika pun melirik
pada orang yang mempunyai tangan itu.
“Dirga?”
“Lo? Siswi yang telat itu,
kan?” Ternyata kesan pertama bertemu bagi keduanya sangatlah tidak baik. Dirga
menilai Kartika adalah siswi yang tidak disiplin dan tidak mematuhi peraturan.
Kartika sendiri menilai Dirga adalah senior yang galak dan ketus.
“Aku punya nama, ya! Nama aku
Kartika.”
“What ever lah, Gue enggak
peduli siapa nama lo. Yang jelas lo musti lepasin novel ini.”
“Enak aja. Aku yang duluan
liat, kok. Harusnya kamu yang lepasin novelnya.”
“Enggak. Pokoknya lo yang
harus lepasin.”
“Enggak mau.” Kartika tetap
ngotot. “Kamu kan cowok, ngalah dong!”
“Enak aja gue yang ngalah,”
Novel yang tinggal
satu-satunya itu tengah diperebutkan Kartika dan juga Dirga. Keduanya tidak ada
yang mau mengalah. Namun dimana-mana laki-laki lebih kuat dari perempuan.
Dirgalah yang berhasil mendapatkan novel itu.
“Gue yang dapet.” ujar Dirga
bangga.
“Heh, balikin novelnya!”
Kartika berusaha mengejar Dirga.
Namun Dirga cepat sekali
menghilang dan Kartika pun kehilangan jejaknya. “Ah, padahal itu tinggal
satu-satunya. Aku harus cari dimana lagi.” keluh Kartika.
Kartika pun memutuskan untuk
pulang. Perebutan novel yang ia ingin-inginkan dari tangan Dirga tak membuahkan
hasil.
Sesampainya di rumah, Dirga
segera bergegas menuju kamar adiknya—Chika. Dilihatnya adiknya yang sangat
dicintainya itu tengah melahap bubur yang disuapi Bibik Imas. “Sudah, Bik!”
Dirga meraih mangkuk bubur dari tangan Bik Imas. “Biar saya saja yang menyuapi
Chika.”
“Baik, Mas!” Bik Imas pun m
eninggalkan kamar Chika.
Satu suap, dua suap bubur
Chika habiskan, sampai satu mangkuk bubur habis dilahapnya.
“Tumben abang pulang cepet?”
tanya Chika.
“Abang mau ngasih sesuatu sama
kamu.”
“Emangnya hari ini Chika ulang
tahun?”
“Oh, jadi kalo abang mau
ngasih kamu sesuatu kalo pas ulang tahun aja?”
“Emangnya apa yang mau abang
kasih buat Chika?”
“Kemarin-kemarin kamu pernah
bilang sama abang pengen nonton film Hunger Games. Dan abang udah janji mau
nemenin kamu. Tapi enggak jadi karna kamu enggak diizinin keluar rumah. Abang
juga udah berusaha nyari VCD-nya. Tapi enggak nemu juga. Untung aja novelnya
masih ada.”
“Wah! Makasih ya, bang!” ujar
Cikha gembira.
“Iya, sama-sama. Kamu suka,
kan?”
“Suka banget! abang adalah
abang terbaik sedunia. Chika beruntung punya abang kayak bang Dirga.”
"abang juga beruntung
punya adik semanis dan selucu kamu.” Dirga pun memeluk Chika dengan penuh kasih
sayang.
***
Hari ini adalah hari dimana
semua siswa-siswi kelas X menentukan ekskul apa yang akan ia ikuti. Kartika
memutuskan untuk mengikuti ekskul basket. Sementara ketiga temannya, Hima yang
senang berkreasi dan pintar berbicara memutuskan untuk mengikuti ekskul jurnal.
Milly dengan suaranya yang bagus dan Winda yang mahir dalam biola, mendaftarkan
diri dalam ekskul musik.
Sesampainya Kartika di lapang
basket, ternyata semua siswa-siswi yang mengikuti ekskul basket sudah mulai
pemanasan. Ketika Kartika melihat siapa yang memandu pemanasan, ia sangat
terkejut.
“Dirga? Kok dia, sih? Kenapa
coba dia selalu ngintilin aku?” Ia pun teringat dengan kata-kata Hima yang
sempat menyebutkan bahwa Dirga adalah kapten basket. Ia lupa dengan yang satu
itu.
“Hei, kamu yang disana!”
teriak sang pemandu pemanasan. “Sedang apa kamu disana? Sudah tahu telat,
bukannya segera kemari. Malah bengong disana.”
Kartika pun berlari menuju
siswa siswi yang sedang melakukan pemanasan dan bergabung bersama mereka
mengikuti pemanasan.
Aduh, sial banget, sih! Kenapa
harus ketemu dia lagi? gumam Kartika dalam hati.
“Hei, kamu yang tadi telat!”
Suara itu membuyarkan lamunan. Pemilik suara itu menghampiri Kartika. “Lo lagi?
Bosen hidup gue ketemu lo terus.”
“Emangnya aku suka ketemu
kamu? Aku juga enggak tahu bakal ketemu kamu lagi.”
“Lo ini udah telat dan enggak
konsen pemanasan, masih berani jawab, ya?”
“Ya, maaf! Tapi kenapa sih
kamu yang harus sewot? Pak Pelatih aja enggak sewot.”
“Perlu lo ketahui, ya! Gue
adalah kapten tim basket sekolah ini, sekaligus asisten Pelatih.”
“Kok mau-maunya Pak Pelatih
punya asisten kayak kamu?”
“Kenapa sih lo sinis banget
sama gue?”
“Sekarang kita pikir aja mana
ada orang yang gak sinis sama orang sejutek kamu?”
“Orang itu cuma lo doang.”
“Pemanasannya cukup. Sekarang
kita mulai dengan melempar bola basket. Silahkan buat dua buah shaf
berhadapan.” ucap Pak Pelatih, Pak Debi. “Dirga!” teriaknya.
“Iya, Pak!” Dirga segera
menghampiri Pak Deby. Pertengkaran antara Kartika dan Dirga pun akhirnya
selesai juga.
“Pandu semua anak-anak!”
“Baik, Pak.” jawab Dirga. “Ayo
semua, gerak cepat!”
Dirga mulai memperagakan cara
memegang bola basket yang baik dan benar. Kakinya membentuk kuda-kuda dan badan
agak condong ke depan. Telapak tangannya melekat di samping bola agak ke
belakang, jari-jari terentang melekat pada bola. ibu jarinya terletak dekat
dengan badan di bagian belakang bola yang menghadap ke arah tengah depan.
“Menangkap bola pun tak jauh
beda dengan cara memegangnya. Buka aja telapak tangannya! Untuk mengoper bola,
ada tiga cara, yang sekarang akan kita pelajari adalah chest pass, melempar
bola ke depan dada.” urai Dirga menjelaskan. “Sekarang kalian mulai dengan
memegangnya dan melemparkan kepada teman yang ada di hadapannya secara zig-zag.
Mengerti?”
“Mengerti, Kak.” jawab
anak-anak basket serempak.
“Mulai dari kamu!” Dirga
menunjuk kepada salah satu siswi dan melemparkan bola basket padanya.
Ketika ada siswa maupun siswi
yang mengalami kesulitan dalam cara memengang atau melempar bola, ia perbaiki
dengan lemah lembut. Namun kesabarannya mulai terkuras habis ketika memperbaiki
kesalahan Kartika. Meskipun sudah diberi contoh berkali-kali, Kartika selalu
saja memperagakannya dengan salah.
“Lo enggak perhatiin gue, ya?”
“Enak aja. Aku perhatiin kamu,
kok.” jawab Kartika.
“Buktinya diperbaiki berulang
kali, salah mulu.”
“Ya, gimana caranya?”
Dirga tak menjawab. Ia berdiri
di belakang Kartika dan memegang tangan Kartika dari belakang.
“Eh, mau ngapain?” Kartika
menghindar dan mendekap dadanya sendiri.
“Mau bisa enggak?”
Kartika pun hanya terdiam.
Tangan Dirga memegang tangan
Kartika dari belakang. Memperagakan bagaimana cara memegang bola basket yang
benar. “Nah, gini kek dari tadi.” Dirga menghembuskan napas lega.
Namun beberapa siswi yang
melihat Dirga memeluk Kartika, meskipun hanya sebatas memperagakan cara
memegang bola basket dengan baik dan benar, mereka semua cemburu, berpikiran
negatif terhadap Kartika, dan jadi tidak suka padanya.
“Caper banget sih jadi murid
baru!” gerutu beberapa orang siswi.
Kartika sendiri tidak
menyadari bahwa banyak siswi yang cemburu padanya gara-gara Dirga memeluknya.
Pelajaran ekskul pun berakhir.
Semua siswa siswi ganti baju di ruang Loker.
Segerombolan siswi berjalan
menghampiri Kartika dan menutup pintu Loker Kartika dengan keras. Itu membuat
Kartika kaget.
“Kak Gina?”
“Hei, lo jangan sok cari
perhatian Dirga, deh.”
“Maksud Kakak apa?”
“Jangan belaga bego deh. Lo
tadi cuma pura-pura enggak bisa, kan? Biar lo bisa dipeluk Dirga.”
“Jangan Kakak pikir aku cewek
murahan kayak cewek-cewek yang naksir Dirga, ya? Aku bukan tipe cewek yang
tertarik sama Dirga. Emang aku kayak Kakak yang mau ngelakuin segala cara buat
dapetin Dirga. Kalo aku mau dapetin Dirga aku enggak perlu pake cara basi kayak
tadi. Dan memang disayangkan aku enggak tertarik sama Dirga. Lagipula tadi
emang beneran aku enggak bisa.”
“Lo cuma adik kelas,
berani-beraninya lo nyolot sama gue?”
“Semut juga kalo terus-menerus
diganggu bakal gigit.” Kartika pun pergi meninggalkan Gina dan kawan-kawan.
“Sialan!” teriak Gina.
“Perlu dikasih pelajaran,
tuh.” usul Cindy.
“Gue setuju. Kalo ntu anak
dibiarin gitu aja, lama-lama akan ngelunjak.” tambah Nadia.
“Tenang aja. Gue enggak bakal
diem aja diinjek-injek adek kelas.”
Seisi sekolah sudah sepi,
Kartika masih berada di sekolah. Ia baru saja keluar dari perpustakaan. Kelasnya
mendapat tugas membuat kliping mengenai kondisi geogarfis Indonesia untuk
keperluan tugas pelajaran geografi. Selekas itu ia pergi ke kamar mandi untuk
buang air kecil. Dan tiba-tiba pintu kamar mandi terkunci dengan sendirinya.
“Ini semua enggak lucu. Hei, buka pintunya! Siapa aja yang ada di luar, tolong!
Tolong buka pintunya!” teriak Kartika.
Dan tiba-tiba lampu kamar
mandi mati dengan sendirinya. Itu membuat Kartika semakin ketakutan. “Tolong!”
teriaknya lagi.
Kartika terus menerus
berteriak meminta tolong. Namun tak ada satu pun orang yang mendengarnya. Dan
tiba-tiba muncul dua sosok berpakaian serba hitam dan bertopeng seram. Kartika
semakin ketakutan. Ia sendirian. Teriakannya pun semakin keras namun tetap saja
tak ada yang mendengar.
“Pergi! Jangan ganggu aku!
Pergi!” teriak Kartika berkali-kali. Ia tak sanggup lagi untuk melengkingkan
suaranya berteriak minta tolong, Kartika pun terduduk lemas dan menangis.
Di saat yang sama Dirga hendak
pulang. Tepat ketika ia berjalan di depan kamar mandi wanita, ia mendengar
tangisan seorang perempuan. Tanpa rasa takut Dirga menghampiri pintu kamar
mandi. Ia mencoba membuka pintu, namun pintu terkunci. “Ada orang di dalam?”
Kartika menghapus air matanya.
“Siapa pun yang ada diluar, tolong aku. Tolong buka pintunya!”
“Na, kita ketahuan.” bisik
salah satu sosok bertopeng itu.
Dirga pun mendobrak pintu
kamar mandi. Didapatinya Kartika tengah duduk lemas tak berdaya. Juga dua sosok
yang berdiri di hadapan Kartika. Dirga menghampiri Kartika. “Lo enggak apa-apa?”
Dirga membantu Kartika untuk
berdiri.
“Aku takut.” Kartika memeluk
erat tubuh Dirga.
Ketika sosok-sosok itu hendak
melarikan diri. Dirga menarik topeng yang dikenakan salah satu hantu-hantuan
itu. “Gina?” Kini giliran Gina yang ketakutan. Ia telah ketahuan mengerjai
Kartika oleh Dirga. Ia pun lari terbirit-birit bersama temanya yang masih
memakai topeng dari kamar mandi.
Dirga mengajak Kartika pergi
dari kamar mandi. Keduanya pun duduk di salah satu bangku taman sekolah. Dirga
memberikan sebotol minuman pada Kartika.
“Udah sore gini, kenapa lo
masih ada di sekolah?”
Kartika tak menjawab. Ia masih
kaget dengan hal yang menimpanya beberapa menit yang lalu.
“Gue enggak nyangka lo takut
sama setan-setanan. Gue pikir, selama ini cewek galak kayak lo enggak takut
setan. Mungkin malah setannya yang takut sama lo.”
“Enggak lucu tahu.” ujar
Kartika ketus.
“Lo udah agak baikan, kan?”
Kartika hanya mengangguk.
“Gue pulang duluan.”
Dirga beranjak dan
meninggalkan Kartika duduk sendiri di bangku taman.
Kartika pun memutuskan untuk
pulang. Walau dirinya masih merasa ketakutan. Ia juga masih belum mampu
mengatur napasnya. Ketika ia berjalan melewati gerbang sekolah. Ia dikagetkan
dengan suara Dirga.
“Lelet banget sih jalannya.
Gue udah lumutan nunggun lo disini.”
“Nungguin aku?” tanyanya
heran. “Buat apa? Bukannya kamu bilang mau pulang duluan?”
“Bawel banget, sih! Buruan
naik!”
“Naik?”
“Iya, naik!”
“Aku bisa pulang sendiri, kok.
Kamu enggak usah repot-repot nganterin aku pulang.”
“Lo jangan GR dulu,” Dirga
berdalih. “Gue mau ke rumah temen gue yang kebetulan lewat rumah lo. Ayo, ikut
aja!”
Kartika menurut saja apa yang
dikatakan Dirga. Ia juga masih belum memutuskan untuk pulang dengan apa.
Shock-nya membuat pikiran Kartika kosong.
Sampailah di rumah Kartika.
“Makasih buat semuanya.” ucap
Kartika.
“Kirain gue, Loe lupa caranya
berterima kasih,” ledek Dirga. “Ya, sama-sama. Gue balik dulu. Lain kali kaLo
ke kamar mandi jangan sendirian lagi.” Dirga langsung menancap gas dan hilang
dari pandangan.
“Katanya mau ke rumah temen?”
Kartika sedikit bingung dengan perkataan Dirga. “Udahlah. Ngapain juga aku
pikirin.”
Bersambung . . . . . . :P
Tags:
Kisah