3 Tahun untuk selamanya [Part 4]

Dirga Ulang Tahun

Akhirnya liburan sekolah berakhir juga. Rutinitas sebagai pelajar harus siswa siswi lakoni kembali. Walau malas namun inilah risiko sebagai pelajar. Liburan selama dua minggu serasa kurang. Mungkin mereka ingin libur selamanya dari kegiatan belajar mengajar.
Tubuh Kartika sudah seratus persen terbebas dari bisa ular. Ia juga sudah keluar dari rumah sakit lima hari sebelum masuk sekolah. Sebenaranya dokter menyarankan Kartika menginap di rumah sakit dua sampai tiga hari lagi. Namun Kartika mengotot ingin pulang. Ya, bagaimana lagi. Terpaksa dokter mengijinkan Kartika untuk pulang.
Sahabat-sahabat Kartika sudah menunggu kedatangan Kartika sejak pagi. Dan ketika Kartika sampai di sekolah ketiganya segera menyerbu Kartika dan memelukanya erat.
“Kalian kenapa?” tanya Kartika heran.
“Kita kangen sama lo.”
Tiba-tiba datanglah Dirga bersama teman-temannya. Hima, Milly, Winda, dan Kartika pun sejenak berhenti berpelukan.
“Gimana keadaan lo?” tanya Dirga ketus.
“Gue udah baikan, kok.” jawab Kartika lebih ketus. Setelah mendengar jawaban Kartika, Dirga bersama teman-temannya pun pergi. Dasar jutek! Kalo enggak niat nanyain mah mending enggak usah.
Kartika melihat teman-temannya yang sudah berubah seratus delapan puluh derajat. “Kalian kenapa?” tanyanya keheranan.
“Kak Evan cool banget.” ucap Milly.
“Kak Fathan keren abis.” ucap Winda tak kalah hebohnya.
“Kak Dirga is so perfect.” Hima juga tak kalah gilanya.
“Aduh, Guys! Sadar, dong!” seru Kartika.
Kartika merangkul ketiga temannya, seraya berkata, “Kita ke kamar mandi aja! Bakal gue cuci otak kalian semua. Biar enggak terus mikirin Dirga cs.”

Pulang sekolah, Kartika diminta bertemu Kepala Sekolah di ruang rapat. Sesampainya disana, bukan hanya Pak Zulkifli yang ada, beberapa guru pun sudah hadir disana. Membuat Kartika merasa terkejut dan terheran-heran. Apa kesalahan yang telah ia perbuat sampai harus disidang oleh banyak guru?
“Selamat siang!” ucapnya gugup.
“Silahkan duduk Kartika!” ucap Bu Claudya.
“Terima kasih!” ucapnya semakin gugup.
“Tak usah gugup Kartika,” ucap Bu Kirani. “Disini kami bukan untuk menyidang kamu. Kami hanya ingin mengorek beberapa keterangan dari kamu.”
“Keterangan mengenai apa ya, Bu?” tanya Kartika keheranan.
“Ya, mengenai tersesatnya kamu di hutan tempo hari.”
“Sebelumnya saya minta maaf. Saya sudah melupakan masalah ini. Saya tidak mau mengungkit-ngungkitnya kembali. Bagi saya itu hanya sebuah kecelakaan saja.”
“Bukan begitu maksud kami. Kami hanya mencium sebuah kejanggalan dari kejadian ini. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyelakakan kamu.” ucap Pak Ardi.
“Sengaja bagaimana maksudnya?” tanya Kartika tak mengerti.
“Menurut pendapat beberapa guru, ada yang sengaja membuat kamu tersesat.” tambah Bu Mira.
“Coba kamu jelaskan bagaimana bisa kamu tersesat di hutan!” perintah Pak Zulkifli.
“Kejadiannya ketika acara jalan persahabatan. Saya dan teman-teman satu kelompok mengikuti rute jalan. Di tengah jalan, tali sepatu saya lepas. Dan saya menalikannya. Selesai menalikan tali sepatu saya melanjutkan perjalanan. Lama saya berjalan, saya tidak menemukan kelompok saya. Saya meneriakkan nama-nama siswa yang termasuk kelompok saya. Namun tak seorang pun yang menjawab. Tak lama kemudian saya bertemu dengan Dirga. Kami bekerja sama untuk mencari pekemahan…,”
“Cukup. Cukup!” ujar Pak Zulkifli. “Silahkan ada yang ingin bertanya sebelum Kartika melanjutkan ceritanya!”
“Seingat saya, rute jalan Kelompok Kartika ada satu pertigaan. Di pertigaan itu kamu ambil jalan mana?” tanya Pak Sakti.
“Saya ambil yang kiri.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Saya yakin.”
“Dan saya juga sangat yakin. Saya memasang tanda panah rute jalan itu ke kanan. Dan setelah kejadian Kartika tersesat, saya lihat tanda panah rute jalan itu masih menunjuk ke arah kanan.” tambah Pak Sakti.
“Sudah jelas. Ada yang sengaja menjebak Kartika.” Pak Zulkifli mengambil kesimpulan. “Sekarang kita mencari siapa saja siswa yang tidak ada bersama Kelompoknya pada waktu yang sama.”
“Sudahlah, Pak. Saya juga sudah tak mau ungkit-ungkit masalah itu. Yang lalu biarlah berlalu. Saya tak mau mempermasalahkannya kembali.”
“Bukan masalah kamu sudah tidak mau ungkit-ungkit masalah ini kembali. Tapi ini adalah tindak kriminal. Bisa saja karna masalah ini kamu kehilangan nyawa.” bantah Bu Kirani.
“Betul apa kata Bu Kirani. Kita harus selesaikan masalah ini sampai tuntas.” tambah Bu Claudya.
“Sebelumnya, apakah mau memiliki musuh atau ada orang yang tidak menyukai kamu?” tanya Pak Ardi.
“Saya rasa tidak.” Tentu saja Kartika berbohong. Ia sangat tahu bahwa Gina bersama kawan-kawannya sangat tidak menyenangi dirinya. Dan kalaupun ia mengatakan itu kepada pihak sekolah, mereka akan mengadili Gina dan kawan-kawan. Namun untuk urusan itu ia tidak mau berburuk sangka. Lebih baik ia mengatakan tidak.
“Baiklah. Kalau begitu, kita cari informasi mengenai siswa-siswi yang tidak bersama Kelompoknya pada waktu Kartika tersesat.” perintah Pak Zulkifli
“Baik, Pak!” ucap seluruh guru serentak.
Kartika tak bisa berkomentar apa-apa lagi. Ia pun tak diminta suara. Meskipun ia sudah berusaha membantah, namun bantahannya ditolak mentah-mentah.  Ia pun hanya bisa mengangguk-ngangguk setuju.
Setelah satu minggu proses penyidikan, akhirnya penelusuran menemukan titik terang. Seorang siswi yang awalnya hanya sekedar dicurigai. Sekarang sudah divonis menjadi tersangka. Semua bukti tertuju padanya. Pada saat Kartika tesesat, ia juga tak bersama kelompoknya. Ia juga tidak begitu memiliki hubungan yang baik dengan Kartika. Dia adalah Pevita.
Pevita tidak pernah mau mengaku bahwa dirinyalah penyebab Kartika tersesat. Karna memang bukan dirinya yang melakukan itu semua. Awalnya pihak sekolah bertindak halus padanya, namun karna ia tetap tidak mau mengaku akhirnya ia pun harus dikeluarkan dari sekolah.
Kartika sendiri tidak percaya bahwa Pevita yang melakukan itu semua. Ia terus berusaha agar Pevita tidak dikeluarkan dari sekolah. Namun ucapannya tidak pernah digubris pihak sekolah. “Keputusan tidak dapat diganggu gugat. Kecuali jika kamu memiliki bukti bahwa bukan Pevita pelakunya.” ucap Pak Zulkifli.
Disisi lain Gina dan kawan-kawannya bisa bernapas lega. Karna pihak sekolah sudah menemukan tersangka. Bukan karna mereka senang pelaku yang menyebabkan Kartika tersesat di hutan sudah ditemukan. Melainkan mereka sudah tidak perlu was-was kembali, mereka dicurigai.
“Akhirnya gue bisa bernapas lega. Kita enggak perlu takut dicurigai lagi.” ucap Gina.
“Sebelum sekolah nemuin tersangka palsu, tiap malem gue enggak bisa tidur.” tambah Nadia. “Apalagi waktu kemaren kita disidang. Gue gugup banget.”
“Semua urusan selesai. Kita bisa bernapas lega kembali.”
“Tapi yang enggak lega sekarang adalah gue.” ucap Cindy yang mengagetkan kedua temannya.
“Maksud lo?”
“Kita semua tahu, Pevita sama sekali enggak salah. Kenapa harus dia yang nanggung? Kita yang salah. Harusnya kita yang tanggung jawab, bukan orang lain.”
“Jangan mulai lagi deh, Ndy. Lo mau kita yang dikeluarin dari sekolah?”
“Tapi…”
“Awas, kalo lo sampe buka mulut!” ancam Gina.
Untuk kesekian kalinya Cindy hanya tertunduk mendengar ancaman Gina. Ia belum mempunyai keberanian untuk membongkar kesalahannya sendiri juga kedua sahabatnya. Ia hanya mampu mengucapkan kata maaf untuk Pevita dalam hatinya.
Seisi sekolah gencar membicarakan Pevita. Menjelek-jelekkan Pevita. Dan setiap kali Kartika mendengar Pevita dijelek-jelekkan.
“Silahkan kalian menjelek-jelekkan Pevita! Tapi… hanya diantara kalian yang tidak pernah membuat kesalahan. Silahkan bagi orang tersebut berteriak-teriak menghina Pevita.”
Seketika seisi kantin hening.
“Kenapa diem? Merasa penuh dosa? Kalian semua pengecut! Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Enggak ada manusia yang enggak pernah melakukan kesalahan. Kayak kalian enggak pernah buat salah aja? Gue aja biasa aja. Kenapa kalian yang sewot?” Kartika pun menyeruak kerumunan dan pergi meninggalkan kantin.
***
Suatu ketika pesuruh sekolah menempel sebuah poster merah hati besar pada mading SMA Azka Julian. Segera saja seluruh siswa maupun siswi berbondong-bondong menghampiri mading.

Sabtu, 17 Januari 2010
Dirga akan merayakan ulang tahunnya yang ke-18
Tempat : Café Wiyuka
Waktu : 19:00 – selesai
Tamu diwajibkan membawa kartu undangan.
Kartu undangan tersedia pada saudara Evan.
Segera dapatkan! Kartu undangan terbatas.

“Wah, Kak Dirga ulang tahun! Gue harus dateng.” ucap salah seorang siswi dari kerumunan itu.
Setelah membaca poster tersebut, semua siswa siswi berbondong-bondong menemui Evan. Ada beberapa siswa siswi yang tidak mendapatkan kartu undangan. Mereka pun kembali dengan wajah muram.
Ketiga teman Kartika pun ikut mengantri. Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka segera menghampiri Kartika yang tengah duduk santai menyantap bakso di kantin.
“Sudah gueu tebak, lo pasti enggak akan ikut ke acara ulang tahunnya Kak Dirga.” ucap Winda.
“Emangnya kenapa kalo gue enggak ikut? Acara bakal terus berlangsung tanpa gue.”
“Jawabnya itu lagi. Udah sering kita dateng ke acara-acara ultah tanpa lo. Kali ini lo ikut, dong. Enggak asyik pergi tanpa lo.” Hima pun ikut menambahkan.
“Beneran. Lo enggak apa-apa, kok. Kalian pergi aja.”
“Tenang aja. Lo bakal ikut ke pestanya Kak Dirga.” ucap Milly tiba-tiba.
“Gue kan enggak punya kartu undangannya.”
“Siapa bilang?” Milly mengeluarkan dua buah kartu undangan ulang tahun Dirga dari dalam sakunya.
“Kok lo bisa dapet dua?” tanya Winda penasaran.
Milly mulai menceritakan awal mula bagaimana ia bisa mendapatkan dua buah kartu undangan. Dengan semangat ia memulai ceritanya.
“Lo Milly, ya?” tanya Evan dengan nada merayu.
“Kok Kakak bisa tahu, sih?”
“Siapa sih yang enggak kenal sama cewek secantik lo?” gombalnya kumat lagi. Ternyata Evan memang sudah tahu dari dulu kalau Milly menyukainya.
“Ah, Kakak bisa aja.”
“Ini kartu undangannya. Jangan lupa dateng, ya! Dandan yang cantik.”
“Kak, boleh minta satu lagi enggak?” Milly mencoba merayu. “Temen aku lagi ada di toilet. Dia suruh aku mintain kartu undangannya. Boleh, kan?”
“Apa sih yang enggak buat lo” Evan memberi Milly satu lagi kartu undangan.
“Makasih ya, Kak!”
“Nah, gitu ceritanya!” tungkas Milly mengakhiri ceritanya.
“Gue enggak punya gaun.” ucap Kartika.
“Ya, ampun. Gitu aja dipikirin. Kita tinggal beli aja di butik nyokap gue.”
“Gue juga enggak bisa dandan.”
“Kalo itu mah serahin aja semuanya sama salon langanan nyokap gue.” Winda menambahkan.
“Semuanya beres, kan? Apa lagi alasan lo? Kak Adnan?” ucap Hima. “Kalo itu mah, masak dia enggak izinin kamu pergi. Cuma acara ulang tahun doang, kok.”
Kartika tidak bisa membantah lagi. Ia pun menyetujuinya.
“Acaranya kan besok. Pulang sekolah, kita pulang dulu ke rumah masing-masing. Terus kumpul di rumah aku. Dari rumah aku kita pergi ke butik. Terus pergi ke salon. Dan terakhir kita pergi ke pesta Kak Dirga.” urai Hima penuh semangat.
“Kamu mau ke acara ulang tahunnya Kak Dirga juga?” sapa seorang siswa kepada Hima yang tiba-tiba datang tanpa mereka sadari.
“Iya. Emangnya kenapa gitu?” jawab Hima ketus. “Kamu Donny, kan?”
“Mau enggak perginya bareng gue?”
“Mau, kok.” jawab Winda meledek.
“Hust! Diem, deh.” ucap Hima agak marah. “Enggak, makasih! Gue udah janji pergi sama temen-temen gue.”
“Oh, ya udah. Enggak apa-apa, kok.” Donny pun pergi meninggalkan Hima dan ketiga temannya dengan wajah agak murung.
“Kok enggak diterima aja, sih?” tanya Kartika setelah Donny pergi.
“Kita bisa kok pergi bertiga tanpa lo.” ucap Winda.
“Oh, jadi kalian enggak mau pergi bareng gue?” Hima jadi marah.
“Ya, bukan gitu juga. Kasian aja. Dia udah ngajak lo, tapi ditolak. Mukanya murung banget pas lo tolak ajakan dia.” ujar Milly menambahkan.
“Kita kan udah janji mau pergi bareng, masak dibatalin gitu aja? Males juga kalo gue harus pergi bareng cowok cupu itu.”
“Ya, udah deh. Kita lupain ajakannya Donny. Sekarang kita lanjutin aja rencana buat besok.” ujar Winda melerai perdebatan.
Semua rencana Hima sudah mereka laksanakan. Kini mereka berempat laksana Putri dunia dongeng. Mereka berempat sudah berdandan cantik dan memakai gaun terbaik pilihan mereka. Hima dengan gaun berwarna merah jambunya. Milly dengan gaun berwarna hijau. Dan Winda dengan gaun berwarna putih.
Kartika sendiri memakai gaun berwarna kuning. Ia berdiri di depan sebuah cermin. Ia tidak mempercayai seseorang yang tengah berkaca itu adalah dirinya. Dirinya yang begitu berbeda.
“Apa bener ini gue?” tanyanya tak percaya.
“Lo liat sendiri, kan? lo itu cantik, Ika. Asal lo mau dandan aja.” puji Winda.
“Lo akan jadi cinderella di pesta nanti.” Hima juga memuji penampilan Kartika.
“Ayo, kita berangkat sekarang! Udah jam tujuh, nih.” seru Hima.
“Tungguin gue dong!” seru Kartika pada ketiga temannya. Ia nampak kesulitan berjalan emakai sepatu hak tinggi. Beberapa kali ia hendak terjatuh. Maklumlah, ini adalah kali pertama ia memakai sepatu hak tinggi. Biasanya kalau tidak memakai sepatu, ia memakai sandal. Hima, Milly, dan Winda pun melangkah mundur menghampiri Kartika.
“Ada apa, Ika?” tanya Winda.
“Gue susah jalan pake sepatu ini. Bisa pake sepatu yang lain?”
“Enggak bisa, Ika. Baju lo udah cocok sama sepatunya. Lo juga bagus pake sepatu itu. Lo belajar dong pake sepatu hak tinggi, biar nanti kalo pake lagi jadi biasa.” urai Hima.
“Tapi lama-lama pake sepatu ini, bisa-bisa kaki gue lecet.”
“Enggak lama kok, Ika. Ya udah, kita jalan sekarang, yuk!”
“Tapi jalannya pelan-pelan, ya?”
“Iya.”
Mereka berempat segera meluncur menuju tempat dimana acara ulang tahun Dirga diadakan dengan mobil Milly.
***
Sampailah di Café Wiyuka. Mereka berempat segera masuk ke dalam. Kartika takjub dengan dekorasi yang menghiasi setiap sudut ruangan. Baru kali ini ia datang ke pesta ulang tahun. Adnan selalu melarangnya jika ada acara lebih dari jam enam sore. Namun kali ini Adnan mengizinkannya. Mungkin karna Kartika sudah dewasa, sudah bisa menjaga dirinya sendiri.
Dirga dan teman-temannya belum ada di tengah-tengah acara. Hima, Milly, Winda, dan Kartika pun mencari menikmati hidangan yang ada sambil menunggu acara dimulai. Namun Kartika malah asyik sendiri. Ia belum pernah melihat makanan sebanyak ini. Agar tidak kecewa akhirnya ia pun berusaha menjejalkan makanan yang ada ke dalam lambungnya.
Tak lama mereka menunggu, akhirnya pembawa acara pun mulai membuka acara. “Waw, tamu undangannya banyak sekali! Maaf telah membuat para hadirin menunggu lama. Ya udah, kita langsung aja panggil Dirga.” Semua tamu undangan bertepuk tangan dan Dirga pun naik ke atas panggung diikuti Fathan dan Evan.
“Kalian tentu tahu hari ini adalah hari paling indah untuk teman kita, Dirga. Hari ini kita akan sama-sama merayakan hari jadi Dirga yang kedelapanbelas. Sudah tua juga, ya! Mari kita doakan bersama yang terbaik untuk Dirga.”
“Amin” ucap seluruh tamu undangan serentak.
“Dan daripada kita nunggu-nunggu lagi, mari kita mulai acaranya! Mari kita bersama menyanyikan lagu happy birthday untuk Dirga!”

Happy birthday to you
Happy birthday to you
Happy birthday happy birthday
Happy birthday Dirga
Tiup lilinnya, tiup lilinnya
Tiup lilinnya sekarang juga
Sekarang juga, sekarang juga

“Sekarang tiup lilinnya! Tapi sebelumnya make a wish dulu!” Api lilin pun padam, semua tamu undangan bertepuk tangan dengan meriah.
“Dan yang terakhir potong kuenya. Seperti biasa, berikan kepada seseorang yang special diantara tamu undangan disini.” Dan sepotong kue sudah ada di tangan Dirga. Pembawa Acara memberikan microfon kepada Dirga.
“Pertama-tama, saya ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh tamu undangan yang sudah berkenan menghadiri acara ulang tahun saya yang kedelapanbelas. Dengan bertambahnya umur yang semakin tua, saya berharap saya bisa semakin dewasa. Dan kue pertama ini akan saya berikan kepada…”
Gina sudah kePDan bahwa kue pertama Dirga akan diberikan kepadanya.
“Sahabat-sahabat saya yang selama ini sudah menemani saya. Mereka sudah mau menerima saya apa adanya. Mau menerima segala kekurangan saya selama ini. Makasih kalian udah mau jadi temen gue!” Kue yang ada di tangannya ia berikan kepada Evan dan Fathan.
“Ucapan lo sangat mengharukan. Gue ampir mau nangis.”
“Terlalu berlebihan, Van.”

“Acara inti sudah sama-sama kita saksikan. Mari kita nikmati hidangan yang sudah disiapkan. Dan mari kita sama-sama saksikan penampilan dari Fathan.”
Beberapa tamu ungangan ada yang duduk kembali ke tempat masing-masing, menikmati hidangan yang ada, berdansa, dan ada juga yang terhanyut oleh alunan lagu yang dinyanyikan Fathan.
Sementara Kartika yang sudah tak kuat menahan pipis sebelum acara di mulai tengah mencari-cari kamar mandi. Lama berkeliling, akhirnya ia menemukan juga kamar mandi. Setelah melepas bebannya, kini ia kesulitan mencari ketiga temannya.
Sebelum masuk ke dalam café, ia melihat seorang Ibu paruh baya duduk sendirian di depan café. Wajahnya pun nampak sedih. Kartika pun menghampirinya.
“Ibu tamu undangan juga, ya?” sapanya. “Kok enggak masuk, sih? Di luar dingin. Nanti Ibu masuk angin, lho. Saya temani masuk, yuk!”
“Saya ingin di luar saja.” ucapnya parau.
“Ya, sudah. Kalo Ibu maunya gitu, biar saya temani. Perkenalkan nama saya Kartika.”
“Kartika. Boleh saya minta tolong?”
“Selagi saya bisa. Kenapa enggak?”
“Tolong berikan kado ini kepada Dirga!” Ibu itu pun pergi meniggalkan kadonya pada Kartika.
“Maaf, Ibu siapa?” teriak Kartika.
Ibu itu tidak menjawab. Ia masuk ke dalam mobil silvernya dan segera melaju.
Kartika pun kembali ke dalam café dan mencari-cari Dirga. Akhirnya batang hidung Dirga merlihat juga. Dengan langkah cepat Kartika menghampiri Dirga yang tengah sendirian meneguk segelas sirup di samping pangung.
Ketika Dirga melihat Kartika, ia sangat takjub melihat Kartika yang nampaknya begitu cantik. Sampai-sampai gelas yang berada ditangannya hampir jatuh. Namun ia tidak ingin terlihat takjub melihat penampilan Kartika yang sangat cantik dan berbeda dari biasanya itu di hadapan Kartika, ia berusaha menahan dirinya. Gengsi.
“Siapa lo?” ucapan sambutan Dirga kepada Kartika.
“Maksud lo apa? Aku Kartika.”
“Malam ini lo beda,” ucap Dirga pelan seperti bicara sendiri. “—cantik,”
“Apa?”
“Enggak.”
“Oh iya! Ini ada kado buat kamu,” Kartika menyerahkan kado yang ia terima dari Ibu paruh baya tadi. “Kado ini dari Ibu-ibu yang tadi duduk diluar. Tapi sekarang dia udah pergi. Mungkin lo enggak sempet liat.”
“Gue enggak tahu. Pas gue mau tanya namanya dia keburu pergi.”
Dirga segera membukanya. Didalamnya terdapat sebuah lukisan yang sangat indah. Lukisan yang dibuat ketika ia berlibur ke sebuah desa. Dan liburan itu merupakan liburan terakhirnya bersama Papanya—bersama keluarganya.

Selamat ulang tahun.
Semoga di ulang tahunmu kini kamu semakin dewasa. Dan semua keinginan kamu dapat tercapai.
Maaf, Mama enggak bisa menghadiri ulang tahun kamu kali ini. Semoga kado ini bisa mewakili kehadiran Mama malam ini. Mama harap kamu suka dengan kado ini.
Mama sayang kamu.
Mama


Dirga meremas suratnya dan melemparkan kadonya dengan sangat keras ke lantai. Lukisan itu pun terlempar jauh. Kartika sangat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Dirga. Ia pun segera memungut lukisan tersebut dan meletakkannya di dalam bungkusnya semula.
“lo kenapa?” tanya Kartika heran sedikit marah.
“Buang benda itu!” bentak Dirga.
“lo enggak ngehargain banget pemberian orang, ya! Ibu itu udah kasih lo barang yang bagus ini. Malah lo mau buang. lo kenapa sih, Ga?”
“Gue minta tolong sama lo. Tolong buang benda itu!” Dirga pun meninggalkan Kartika.
Kartika hanya tertegun melihat apa yang baru saja dilakukan Dirga. Apa yang salah dari benda ini? Atau Dirga marah pada pengirimnya? Tapi siapa orangnya? Pikirnya berulang-ulang. Dan kado itu ia letakkan bersama kado-kado Dirga yang lainnya. Ia tidak tega membuang benda bagus pemberian ibu paruh baya yang nampaknya sangat ingin kadonya diberikan kepada Dirga.
Selekas itu ia segera mencari ketiga temannya. Ia pun menemukan ketiga temannya di tempat duduk yang mereka duduki ketika pertama datang, ia segera menghampiri ketiga temannya itu.
“Lama banget sih di toiletnya?” keluh Winda.
“Ngapain aja, sih?”
“Toiletnya penuh.”
“Tahu enggak Ika, tadi gue diajak dansa sama Kak Evan.” ucap Milly.
“Asyik, dong! Sayang gue enggak liat.” ucap Kartika.
“Tadi juga gue diajak nyani bareng sama Kak Fathan.”
“Kalian telat ngasih tahunya,”
“Kita pulang aja, yuk!” ajak Hima. “Udah malem banget, nih. Nanti lo dimarahin Kak Adnan lagi.”
“Bukannya lo belum ngucapin selamat ulang tahun sama Kak Dirga?”
“Enggak jadi, deh. gue liat, Kak Dirga sibuk banget. Mungkin besok aja.”
“Ya udah, kita pulang aja sekarang.”
Mereka berempat pun pulang.
Kartika masih memikirkan Dirga yang menghancurkan kado dari ibu parus baya tadi. Ia tak tahu kenapa Dirga bisa melakukan itu semua. Dirga terlihat sangat marah setelah membaca suratnya. Siapa pemberi kado itu? Kartika sangat penasaran. Ia terus penasaran. Di dalam mobil pun ia tidak terlalu banyak bicara seperti biasanya.
“Ika, gimana kaki lo? Lecet?”
“Oh, iya. Eh, iya. Bagus banget lho.”
“Kamu kenapa, Ika? gue tanya apa, kamu jawab apa.”
“lo sakit?”
“Enggak. gue enggak apa-apa, kok. Tadi lo tanya apa, Mil?”
“Kaki lo lecet, enggak?”
“Oh, itu. Iya nih, sedikit lecet.”
“lo beneran enggak apa-apa, Ika?”
“Beneran gue enggak apa-apa. Gue baik-baik aja, kok.”
***
Seisi sekolah gempar. Pernyataan Cindy di depan Pak Kepala Sekolah yang mengatakan bahwa dirinya juga kedua temannya—Gina dan Nadia—adalah yang telah menyebabkan Kartika tersesat di hutan telah membuatnya menjadi buah bibir satu sekolah. Gina dan Nadia dikeluarkan dari sekolah karna tetap tidak mau mengaku dan tidak jujur sejak awal. Berbeda dengan hukuman yang dilakoni Cindy, ia hanya diskors selama satu bulan. Sama sekali ia tidak keberatan dengan hukuman yang dilimpahkan padanya. Justru hukuman ini terlampau ringan, pikirnya.
“Kak Cindy enggak perlu ngelakuin semua itu. Kasihan Kak Gina dan Kak Nadia, mereka harus dikeluarin dari sekolah. Kakak juga harus diskors.”
“Setiap perbuatan yang kita lakukan, kita sendiri yang harus menanggung akibatnya,” ucap Cindy bijak. “Gue jadi malu sama lo. Lo masih merasa iba sama orang yang udah nyelakain lo. Harusnya gue bilang Pak Kepsek sejak awal. Jadi enggak ada yang jadi tumbal.”
“Kakak tenang aja. Kata Pak Kepsek, Pevita akan kembali ke sekolah, kok.”
“Syukurlah. Jadi gue masih punya kesempatan buat minta maaf sama dia.”
“Tapi gimana dengan Kak Gina dan Kak Nadia?”
“Mereka udah enggak mau bicara lagi sama gue. Liat muka gue aja mereka udah enggak mau.”
“Yang sabar aja ya, Kak.”

“Makasih ya, Ika.”

BERSAMBUNG

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »