3 tahun untuk selamanya [Part 9]

Salah Paham

Sesuai janji, Dirga datang ke Café Lucky tepat pada pukul 13:00. Lama ia menunggu Kartika tak juga datang. Ia sudah menghabiskan dua gelas jus alpukat.
“Lo darimana aja sih, Ka?” serunya ketus.
“Dulu lo yang buat gue nunggu lama. Sekarang kenapa gue enggak bisa melakukan hal yang sama?”
“Jadi lo sengaja telat?”
“Enggak juga, sih. Di jalannya macet. Ya, gue terlambat, deh.”
“Udahlah. Enggak perlu panjang lebar lagi.” Dirga menarik tangan Kartika keluar. Sebelumnya, ia meletakkan selembar uang bernominal Rp50 ribu di atas meja yang baru saja ia tempati.
Tujuan pertama mereka adalah sebuah bioskop yang ada di mall tersebut. Di jam itu hanya film-film horor yang ditayangkan. Keduanya memilih sebuah film horor made in Indonesian yang sedikit dibumbui oleh komedi berjudul ‘Hantu Pohon Rambutan’. Awalnya Kartika menolak. Perbuatan yang dilakukan Gina bersama genk-nya waktu lalu, sangat membekas pada dirinya. Ia trauma mendalam akan hantu-hantuan dan sejenisnya.
“Kalo rasa takut itu harus dilawan. Biar trauma lo itu bisa hilang.” bujuk Dirga.
Akhirnya Kartika pun setuju.
Selama menonton kedua tangannya tak lepas dari hadapan matanya. Sesekali ia mengintip, namun ketika Si Hantu muncul matanya kembali terpejam. Saat semua orang yang berada di dalam bioskop berteriak ketakutan melihat seramnya sosok hantu di layar bioskop, Kartika hanya terdiam. Satu jam durasi film, Kartika sama sekali tak menikmati fim yang tengah diputar. Dan tak berhenti-hentinya memakan popcorn.
“Katanya mau sembuh dari trauma? Kalo matanya ditutup terus sih, mana bisa.” sindir Dirga. “Coba buka matanya!” Dirga meraih perlahan kedua telapak tangan Kartika.
Perlahan Kartika membuka matanya. Dan pada saat yang sama… Si Hantu pun muncul. Wajahnya jelas sekali terlihat. Wajah hantu itu sangat jelas terlihat di layar. Sontak Kartika menjerit keras. Lebih keras dari orang-orang yang menjerit di dalam ruang itu. Dan tanpa ia sadari, ia bersembunyi di balik jaket Dirga yang duduk di sebelahnya—untung saja Kartika tidak salah peluk orang, kalau saja orang yang Kartika peluk adalah yang di sebelah kanannya, ia akan memeluk pacar orang. Seakan jantungnya akan copot. Butuh beberapa menit Kartika untuk menenangkan diri. Dan mengatur skala napasnya. Ia pun melepaskan pelukannya.
“Kita keluar sekarang!” ucapnya agak marah.
“Filmnya belum selesai, Ka.”
“Terserah kalo kamu masih mau nonton, gue mau pulang.” Kartika pun beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang bioskop dengan langkah panjang.
Dirga segera menyusulnya. Dirga berhasil menghentikan langkah Kartika dan menarik tangannya. “Ka, tunggu! Lo kenapa, sih?”
“Kenapa? Lo tahu sendiri, gue takut setan-setanan. Lo paksa buat nonton film enggak berbobot itu.”
“Lo kan mau ngilangin trauma Lo.”
“Enggak. Biar aja gue takut setan selamanya. Gue enggak mau nonton film horor lagi. Terserah apa itu horor komedi, horor romantis ataupun yang sejenisnya. Gue tetep enggak mau. Gue mau pulang.”
“Ya. Ya. Gue minta maaf. Gue enggak akan paksa lo lagi. Tapi lo jangan pulang dulu. Jalan-jalannya kan belum selesai.”
“Ya.”
“Oke. Sekarang kita main lagi.” Dirga menarik tangan Kartika lagi.
“Kemana?”
Sampailah keduanya di sebuah temat bermain yang dari luar sudah terasa dingin—ice skating. Banyak yang mengantri untuk memasuki tempat yang suhunya tak jauh dari Benua Antartika itu. Dan di dalam pun sudah banyak penghuninya. Dirga pun berhasil mendapatkan tiket masuknya.
“Kita ngapain kesini?” tanya Kartika.
“Kita berenang.”
“Disini?” tanya Kartika semakin tak mengerti.
“Ya, enggaklah. Kita kesini mau maen ice skating.”
“Ice skating? Apaan tuh?”
“Main di atas balok es.”
“Emang bisa, ya?”
“Makanya ada juga, ya pasti bisa lah. Ayo masuk!”
“Enggak, ah. Dingin.”
“Ayo!”
Mungkin lebih baik daripada nonton film horor di bioskop yang gelap dengan layar seluas lantai di kamarnya, pikir Kartika.
Sungguh dingin berada di tempat itu. Jika ada yang ingin berlibur ke luar negri di musim dingin, boleh mencoba masuk tempat ini sebelum berangkat. Sekedar latihan untuk mempersiapkan diri musim dingin di negri orang. Suhu di ruangan sudah disetting dengan suhu -4o – 0o C. Huh… dingin sekali!

Tempat ini tak hanya untuk dewasa dan remaja seperti Kartika dan Dirga, anak-anak bahkan ibu-ibu pun ada disini. Walau dingin yang amat menusuk, mereka semua sangat menikmati berada di tempat tersebut. Bermacam-macam aktivitas berbeda bisa disaksikan di ruangan yang luasnya 100 × 100 m.
Belum lama Kartika berada di ruangan itu, ia sudah mulai merasa tidak enak. Walau ia sudah memakai alas kaki, namun kakinya tetap terasa dingin dan hampir kram.
Selama berada di dalam ruangan itu tangan Kartika tak mau lepas dari genggaman Dirga. Bukan karna ia ingin terus bersama pria yang 13 cm lebih tinggi darinya, namun karna kedua kakinya tak mampu berdiri tegak di atas balok es.
“Coba lepasin tangan gue!” bujuk Dirga.
“Enggak mau. Gimana nanti kalo gue jatoh?”
“Eh… Mau bisa enggak?”
Perlahan Kartika melepaskan tangan Dirga. Dan Dirga pun berjalan mundur agak menjauhi Kartika.
“Lo mau kemana?” teriak Kartika.
“Coba lo jalan perlahan—selangkah demi selangkah!”
“Enggak.” ucap Kartika sembari berusaha menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh.
“Kalo lo enggak mau coba, gue pergi aja.”
“Jangan!”
“Ya udah. Lo jalan pelan-pelan ke arah gue.”
Kartika mencoba perlahan. Satu langkah ia berhasil. Ia pun bersorak gembira. Dan pada langkah kedua karna ia terlalu tergesa-gesa, ia pun terpeleset. Pantatnya langsung bersentuhan dengan lantai es yang sangat dingin. Brrr… dingin sekali. Pantatnya jadi mati rasa ditambah dengan rasa sakitnya ketika terjatuh.
“Aaaa…” teriaknya.
Dirga sama sekali tak menghampirinya, apalagi menolongnya untuk bangkit.
“Lo kok diem aja, sih? Bantuin, dong!”
“Bangun aja sendiri. Ayo! Jangan sok pasang tampang wajah memelas gitu! Jalan lagi.”
Kartika ingin marah atas ejekan Dirga. Namun untuk apa. Ia pun perlahan beranjak. Ia berusaha untuk berjalan menghampiri Dirga lagi. Kini ia tidak terlalu tergesa-gesa. Tak mau jatuh pada lubang yang sama. Dan akhirnya ia pun berhasil berjalan sejauh 3 m di atas balok es.
“Gue bisa, kan?”
“Jalan cuma tiga meter, bangga. Liat anak itu!” Dirga menunjuk seorang bocah yang tengah berlari-lari di dalam ruangan tak jauh dari mereka berdua. “Dia bisa lari-lari disini, biasa aja tuh. Lo yang cuma bisa jalan tiga meter, bangga setengah mati.”
“Gue kan baru belajar. Hargain dong usaha gue.”
“Ya. Gue hargai karna usaha lo. Karna lo mau mencoba.” Nampaknya pujian Dirga terlalu berlebihan pada Kartika. Sampai-sampai wajah Kartika memerah—sebenernya sih karna kedinginan. “Sebagai hadiahnya, kita kelilingi tempat ini. Ayo, pegang tangan gue!”
Kartika pun memegang tangan Dirga. Dan keduanya segera meluncur. Dirga yang bergerak setengah berlari mampu membawa Kartika mengelilingi tempat dingin itu.
“Asyik…” teriak Kartika sesekali. Baru kali ini Kartika bisa tertawa lepas dan enjoy sekali bersama laki-laki selain Kakaknya.
Puas bermain di musim dinginnya Indonesia. Perut keduanya terasa keroncongan. Keduanya pun segera keluar dari tempat tersebut dan mencari tempat makan.
Sebuah café yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka sebelumnya, mereka pun menghampiri café tersebut. Sesampainya di café tersebut, mereka disambut ramah oleh para pelayan. Mereka pun dilayani dengan telaten. Dirga memesan spaghetti dan jus alpukat. Kartika sendiri memesan nasi goreng dan jus jeruk. Ia tak mengerti menu hidangan yang disajikan. Semua nama menu asing baginya. Hanya nasi goreng yang bisa ia baca dengan jelas.
 “Ga,.” sambil menunggu makanan tiba, Kartika membuka pembicaraan. Dirga tak terlalu memperhatikan. “Ada yang suka sama lo” Kartika melanjutkan.
“Terus apa?”
“Dirga tanggepin dong! Yang ini beda daripada yang lain.”
“Siapa?”
“Hima.”
“Siapa Hima?”
Kartika mulai geram menghadapi sikap Dirga. “ Siswi yang keseleo dan kamu anterin pulang. Kejadiannya juga belum satu bulan.”
“Oh, namanya Hima. Terus kenapa?”
“Dia sahabat gue yang suka banget sama lo. Gue ingin deketin dia sama lo. Gue ingin lo sedikit membuka kesempatan buat dia.”
“Kalo gue enggak mau gimana?”
“Apa lo enggak bisa sedikit buka hati? Siapa tahu kalo kamu udah deket, jadi cinta beneran.”
“Hidup gue enggak suka maen-maen, Ka Apalagi ini mempermainkan cinta. Gue akan bilang cinta sama cewek yang gue cinta. Dan gue juga enggak butuh Mak Comblang untuk deketin gue sama cewek.”
“Tapi kan lo bisa mencoba perlahan demi perlahan. Siapa tahu lama-lama jadi cinta beneran. Menurut gue, itu bukan suatu hal yang mempermainkan cinta.”
“Tapi gue enggak mau.”
Tiba-tiba pelayan tadi datang dengan senampan hidangan yang Kartika dan Dirga pesan. Percakapan serius itu pun buntu. Si Pelayan menata makan di atas meja. Dan pergi.
“Apa lo enggak bisa pikirin lagi?” tanya Kartika lagi.
“Udahlah, Ka. Gue enggak mau ngomongin itu sekarang. Makanan udah siap, sekarang kita makan! Gue udah laper banget.”
Kartika pun terdiam.
Puas melahap semua hidangan yang tersedia di atas meja. Keduanya pun sejenak mengistirahatkan diri agar makanan yang baru saja tertelan dapat dicerna baik oleh enzim-enzim dalam tubuh. Cukup untuk istirahatnya. Dirga segera memanggil pelayan dan memberikan beberapa lembar rupiah kepada pelayan tersebut. Dan pergi ke tempat yang mengasyikkan lainnya.
Kali ini Dirga mengajak Kartika ke sebuah tempat yang menjadi favorit bagi anak-anak. Game Zone. Kekanak-kanakan sekali. Sebelum bermain Dirga harus membeli koin untuk bisa bermain di tempat tersebut. Dan untuk kesekian kalinya Dirga harus merogok koceknya dalam-dalam untuk hal yang tidak penting.
Nampak keceriaan dari raut wajah keduanya. Seperti kembali ke masa lalu ketika keduanya masih memakai seragam Sekolah Dasar. Beberapa wahana permainan membuat mereka tertarik untuk mencobanya. Seperti balap mobil, balap motor, berperang melawan alien, juga permainan mengambil boneka dalam sebuah kotak, namun tak ada yang berhasil dalam permainan tersebut baik Dirga maupun Kartika. Keduanya pun menyerah. Dan masih banyak lagi permainan yang mereka coba.
Walau hanya dalam waktu sekejap, keduanya mampu mengumpulkan banyak tiket dari yang dapat ditukarkan dengan beberapa souvenir, tentunya souvenir yang mereka dapatkan harus sama dengan tiket yang mereka kumpulkan. Tiket tersebut berasal dari sebuah lubang kecil di samping tempat masuknya koin setelah mereka menyelesaikan sebuah permainan. Dari hasil pengumpulan tiket tersebut mereka hanya bisa menukarkannya dengan sebuah boneka beruang kecil berwarna merah muda yang sangat lucu.

“Bonekanya buat lo aja.” ujar Dirga. “Nyokap gue enggak mungkin suka sama barang yang begituan.”—sebenarnya boneka itu memang ia tujukan untuk Kartika, namun ia terlalu gengsi untuk mengatakan hal itu.
Setelah bermain, keduanya memutuskan untuk pulang. Hari sudah semakin gelap. Tak terasa sudah hampir tiga jam lebih keduanya berada dalam gedung mall bertingkat tujuh itu. Sebagai penutup jalan-jalan kali ini, Dirga membeli dua buah es krim untuknya dan untuk Kartika.
Di tempat parkir motor Dirga, keduanya masih besenda gurau. Dan secara curi-curi Dirga mulai menggenggam tangan mungil Kartika. Sesekali tawa membuat keduanya berhenti sejenak. Dan musibah itu pun muncul …
Langkah kaki Kartika terhenti seketika karena melihat ketiga sahabatnya dengan wajah kaget plus sinis memandangnya juga Dirga. Dan ketiganya dengan sengaja menghadang Kartika dan Dirga. Kartika amat terkejut melihat tiba-tiba ketiga temannya sudah berada di hadapannya. Es krim yang ada di tangannya pun terjatuh. Ia juga melepaskan genggaman tangan Dirga.
“Oh. Jadi ini yang lo lakukan di belakang kita?” ujar Winda.
“Pantes aja lo selalu nolak kalo kita ajak jalan. Ternyata ada yang lebih penting.” tambah Milly sinis.
“Bilangnya, Kakak sakitlah. Banyak tugaslah. Bullshit semuanya. Gue enggak pernah menyangka akan punya temen kayak lo. Penghianat lo, Ka” Hima geramnya bukan main. Hima pun hendak menampar Kartika. Namun lengannya ditepis oleh Dirga.
“Masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik. Enggak perlu pake kekerasan.”
“Oh, jadi sekarang Kakak udah beralih profesi jadi bodyguard Kartika.”
“Ma, gue mohon dengerin gue dulu. Gue bisa jelasin semuanya. Ini semua hanya salah paham.”
“Oh, jadi lo yang namanya Hima?” ucap Dirga memotong ketegangan yang ada. “Jadi lo sahabat Kartika yang naksir berat sama gue?”
“Dulu memang iya, tapi sekarang enggak. Dan pernyataan Kakak tak sepenuhnya benar karna Kartika bukan sahabat aku lagi.”
Ma, gue mohon dengerin gue dulu. Lo cuma salah paham. Gue sama Dirga enggak ada hubungan apa-apa, kok.”

“Gue kecewa sama lo Ka. Gue menyesal pernah punya sahabat kayak lo.”
“Gue juga kecewa sama lo.” ucap Milly dan Winda serentak.
Hima pergi dengan langkah panjang, diikuti oleh Milly dan Winda yang berjalan setengah berlari dibelakangnya. Hima pergi begitu saja tanpa mendengarkan penjelasan Kartika. Nampaknya amarah Hima padanya sudah mengubun-ubun. Apa yang kini harus dilakukannya? Apa yang harus ia lakukan agar Hima mau mendengar penjelasannya dan memaafkannya? Kartika terduduk lemas di lantai tempat parkir. Salah dirinya sudah masuk dalam masalah ini. Harusnya ia tidak masuk ke dalam kehidupan Dirga. Kalau perlu ia menolak permintaan Bu Sinta. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia tak dapat memutar waktu untuk mengulangnya dari awal. Agar ia tidak terjepit dalam masalah pelik ini.
Dirga tak mengerti apa yang tengah terjadi. Ia pun membangunkan Kartika. “Ka, bangun! Enggak enak diliat orang-orang.”
Tanpa berkomentar apa-apa, Kartika menuruti Dirga.
“Apa yang terjadi? Gue enggak ngerti apa yang lagi kalian perdebatkan?”
“Ka, Lo cerita dong sama gue! Siapa tahu gue bisa bantu.”
“Dirga. Gue bilang gue lagi pengen sendiri. Tolong jangan ganggu gue dulu.”
Kartika pergi begitu saja. Dirga tak mengejarnya. Ia akan membiarkan Kartika untuk sendiri dulu. Mungkin jika keadaan sudah mulai membaik, Kartika akan bercerita padanya.
***
Ketika di sekolah, Kartika masih memikirkan masalah yang menimpanya tadi malam. Hima salah paham padanya. Ia harus menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi pada Hima. Tapi bagaimana bisa? Hima sama sekali tak mau mendengar penjelasannya. Dalam lamunannya samar-samar ia medengar seseorang berkata pedas padanya.
“Penghianat kok masih berani menampakkan wajahnya, sih?” Dan orang yang baru saja berkata sedemikian pedas padanya tak lain tak bukan yang sekarang menjadi mantan sahabatnya, Milly.
“Kalo gue jadi penghianat itu sih, gue udah terjun dari gedung lantai 30.” tambah Winda, lalu tertawa dengan nada ejekan.
“Enggak punya muka banget lo, Ka.” ucap Hima lebih ketus dari kedua temannya.
“Ma, gue mohon kasih gue kesempatan untuk jelasin semuanya. Lo cuma salah paham.” Kartika berusaha membela diri.
“Ka, gue kasih tahu, ya. Mata gue masih normal untuk melihat kemesraan lo sama Kak Dirga. Jadi Lo enggak perlu jelasin apa-apa lagi sama gue.”
“Ma. Gue mohon satu kali aja!”
“Gue enggak ada waktu buat denger semua kebohongan lo. Kita pergi yuk, Guys! Buang-buang waktu ngomong sama pengkhianat.” Untuk kedua kalinya Hima pergi tanpa mau mendengar semua penjelasannya. Milly dan Winda pun kini berpihak pada Hima. Kartika benar-benar merasa sendiri. Kepada siapa ia harus berbagi kepedihan ini?
Saat ekskul pun Kartika tampak tak berkonsentrasi. Pikirannya dipenuhi dengan bagaimana caranya agar Hima bisa memaafkannya. Sesekali Pak Ardi mengomel padanya ketika Kartika kehilangan konsentrasinya.
“Ka, konsen, dong!” gerutu Pak Debi. “Kalo enggak niat ikut ekskul, mending enggak usah.”
“Maaf, Pak! Saya enggak akan ulangi lagi.” ucap Kartika merasa bersalah. “Saya izin ke kamar mandi sebentar, Pak.”
“Ya, boleh. Jangan telalu lama.”
“Baik, Pak!” Kartika pergi ke kamar mandi setengah berlari.
Di dalam kamar mandi, Kartika membasuh wajahnya. Kini wajahnya sudah lebih segar kembali. Ketika ia bercermin, mendadak Si Cermin memunculkan peristiwa menyedihkan antara ia dan Hima tadi malam. Dan tanpa ia sadari wajahnya mulai basah oleh air mata.
“Tuhan. Mengapa hidupku serumit ini? Aku enggak sanggup jika harus engkau beri cobaan seberat ini. Tuhan, tolong bantu aku agar aku bisa dimaafin Hima. Aku enggak mau terus-menerus ada dalam masalah ini. Aku cape. Tolong beri petunjuk-Mu!” rintih Kartika.
Kartika teringat akan janjinya pada Pak Debi. Ia tak akan lama-lama pergi ke kamar mandi. Ia pun segera menghapus air matanya. Dan pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan kamar mandi. Ketika ia keluar dari kamar mandi, tiba-tiba seseorang menarik tangannya.
“Gue liat, Lo enggak konsen latihan. Apa ini karna masalah tadi malam? Apa yang sebenernya terjadi?”
“Ini semua bukan urusan lo.”
“Lo bisa cerita sama gue, kan? Siapa tahu gue bisa bantu.”
“Gue bilang ini bukan urusan lo. Gue hanya mau lo enggak usah temui gue lagi. Anggap aja kita enggak pernah kenal sebelumnya. Lepasin gue! Gue mau latihan.” Kartika hendak melepaskan gengaman orang tersebut. Namun semakin Kartika berusaha untuk melepaskannya, genggamannya semakin erat.
“Sebenernya ada masalah apa? Tolong cerita sama gue. Gue pasti akan berusaha bantu lo.”
“Ini semua karna lo. Karna gue deket sama lo, Hima marah. Hima enggak mau bicara sama gue lagi. Jadi gue mohon, tolong jauhin gue! Semakin lo deket sama gue Hima semakin marah.”
Kartika melepaskan genggamannya. Dan ia pun pergi. Namun Dirga kembali menariknya dan kini ia memeluknya erat.
“Nangis aja sepuas lo!”
Kartika mulai menangis dalam pelukan Dirga. “Gue cape. Gue lelah dengan semua ini. Gue enggak kuat harus dimusuhi Hima.”
“Lo enggak usah khawatir. Gue pasti bakal bantu lo. Ini semua juga ada hubungannya sama gue. Ijinin gue bantuin lo, ya? Selama ini lo yang udah berusaha bantuin gue untuk bisa deket lagi sama Mama. Sekarang giliran gue yang bantuin lo. Lo tenang aja. Semua ini akan segera berakhir.” Dirga membelai rambut Kartika.
Dirga tidak berbohong pada Kartika. Ia benar-benar menepati janjinya. Keesokan harinya ia mencegat Hima di pintu gerbang sekolah.
“Ada waktu lima menit buat bicara empat mata?”
“Maaf. Aku enggak punya waktu.” jawab Hima ketus.
“OK. Gue to the point aja. Kartika bantuin gue buat deket sama nyokap gue. Dan kemarin gue cuma mau balas kebaikannya dengan traktir dia,”
“Terus apa hubungannya sama gue?”
“Gue bukan cowok bego, Ma. Gue tahu lo cemburu sama Kartika. Dan gue tahu pasti lo berpikir gue ada hubungan apa-apa sama Kartika.”
“Enggak.”
“Lo enggak perlu bohongin diri lo sendiri. Dari sikap lo marah sama Kartika, gue udah kira lo cemburu sama Kartika.”
“Kalo iya, kamu mau apa?”
“Gue enggak ada hubungan apa-apa sama Kartika. Dan sorry gue harus ngomong ini, gue juga enggak ada perasaan apa-apa sama lo. Jadi lo enggak perlu terlalu berharap sama gue.”
“Tenang aja, Kak. Aku juga lagi berusaha untuk tidak menyukai Kakak.”
“Dan gue cuma minta sama Lo, tolong maafin Kartika.”
“Kenapa harus?”
“Kalo lo mau tahu, sebelum kejadian malam itu. Kartika bilang sama gue, kalo lo naksir sama gue. Dia udah berusaha comblangin gue sama lo. Cuma guenya aja yang enggak mau. Dia sedih banget setelah kejadian malam itu. Dia enggak konsen melakukan apa-apa hari ini. Dia juga berusaha menjauh dari gue. Cuma buat jaga perasaan lo.”
Kartika sampe segitunya? pikir Hima.
Hima bukan orang yang tidak memiliki hati. Kisah sedih yang baru saja Dirga ceritakan membuat hatinya sedikit luluh. Meskipun ia sendiri tak tahu apa yang Dirga ceritakan benar atau tidak. Ia juga tak mengerti mengapa harus marah pada Kartika. Dirga bukan siapa-siapanya. Kenapa ia harus marah Dirga berhubungan dengan Kartika?
“Iya. Aku mau maafin Kartika. Tapi dengan satu syarat.”
“Syarat?”
“Aku mau kencan sama Kakak.”
Dirga agak kaget dengan permintaan Hima. Tapi pada akhirya, ia mengiyakan juga.
Esok paginya, Kartika masih melamunkan masalahnya dengan Hima. Pikirannya dipenuhi dengan bagaimana cara agar Hima mau memaafkannya. Namun tiba-tiba lamuannya buyar, ketika ketiga sahabatnya mengejutkannya.
“Pagi, Ka!” sapa Winda seraya merangkul Kartika.
“Siap ulangan sejarah?” tanya Milly kemudian.
Kartika hanya diam saja. Ia tak mengerti mengapa ketiga sahabatnya kini berubah baik kembali padanya. Padahal kemarin mereka sama sekali tak mau bicara padanya.
“Ka, gue tanya kok diem aja?”
“Gue ngerti. Lo pasti kaget karna kita berubah baik lagi sama lo, kan?” ucap Hima.
Kartika hanya mengangguk.
“Gue pikir marah lama-lama itu enggak baik. Gue juga sadar Kak Dirga bukan siapa-siapa gue. Jadi kenapa gue harus marah kamu jalan sama Kak Dirga?”
“Gue bener-bener enggak ada hubungan apa-apa. Yang kemaren cuma…”
“Enggak perlu ada penjelasan apa-apa lagi. Gue percaya sama lo.”
“Ma… gue minta maaf ya, karna udah buat lo salah paham.”
“Kita juga minta maaf udah marah-marah sama lo”
“Kita sayang lo” Mereka berempat pun berpelukan.
Dalam pelukan itu, Kartika teringat pada Dirga. Apakah Dirga yang membuat Hima bisa memaafkannya? Dirga memang sudah berjanji padanya akan membantu Kartika keluar dari masalah ini. Sudahlah. Untuk sekarang ia tak perlu memikirkan apa-apa dulu. Yang penting sekarang adalah ia sudah bisa kembali bernapas lega karna sahabat-sahabatnya sudah mau memaafkannya.
Beberapa kali Dirga mencoba untuk berbicang dengan Kartika. Namun Kartika selalu menghindar dari Dirga. Apalagi jika ada Hima bersamanya, ia bahkan pura-pura tak mengenal Dirga. Ketika mereka berpapasan saja, Kartika hanya menunduk.
Hima hanya berdiam diri saja melihat tingkah laku Kartika yang aneh itu. Ia sendiri tahu, Kartika sama sekali tidak mau melakukan hal itu. Sangat jelas terlihat tatapan Kartika pada Dirga seperti orang menyimpan perasaan—tepatnya rasa cinta. Dan Hima yakin Kartika pasti sangat terpaksa melakukan itu semua. Dan ia juga tahu Kartika melakukan itu semua untuknya. Agar dia tidak salah paham lagi pada dirinya. Dan ia memanfaatkan hal ini untuk lebih dekat pada Dirga. Sungguh sahabat yang egois!
Tapi ketika Hima mencoba mendekati Dirga. Dirga selalu saja menghindar. Atau membalas sapaan Hima dengan dingin.
“Sabar, Ma! Lama-lama juga hati Kak Dirga jadi berpaling sama kamu.” ucap Hima pada dirinya sendiri.
***
Tiba saatnya yang diingikan-inginkan Hima. Akhirnya ia bisa berkencan dengan cowok paling populer satu sekolah, Dirga. Ia janjian bertemu dengan Dirga di café Rosemary jam 15:00. Hima dandan habis-habisan untuk tampil cantik di hadapan Dirga. Ia pun memutuskan untuk datang lebih awal.
Sekitar tigapuluh menit ia menunggu akhirnya Dirga pun datang.
“Kita mau pergi kemana?” sapa Dirga  dengan dingin.
“Kamu enggak mau duduk dulu?” jawab Hima ramah.
“Enggak usah. Kita langsung pergi aja.”
“Kita nonton dulu, yuk!”
Dirga tak menjawab.
Tak jauh berbeda dengan kencannya dulu dengan Kartika. Hal yang pertama mereka lalukan adalah menonton. Tepatnya menonton film horor di bioskop.
Film dimulai. Menurut kabar burung, film ini adalah kisah nyata yang terjadi di Pulau Buru, tepatnya di dalam hutan di Pulau Buru. Tempatnya pun sengaja dilakukan di tempat tersebut. Hutan itu adalah hutan yang dulunya dijadikan tentara Belanda untuk membunuh pemimpin dari sebuah organisasi yang membangkang pada Belanda. Tentu, di hutan tersebut banyak arwah halus yang berkeliaran. Penduduk setempat beranggapan bahwa hantu-hantu yang berkeliaran di hutan tesebut adalah para roh halus yang belum sempat dikebumikan secara layak.
Hima amat menikmati ketegangan film yang tengah di putar. Dan ketika wajah seram Si Hantu dinampakkan jelas pada layar lebar bioskop seisi bioskop menjerit. Tanpa disadari Hima bersembunyi di balik jaket Dirga—sama seperti yang dilakukan Kartika tempo hari.
Sejenak Dirga memperhatikan Hima. Dalam bayangannya wanita yang tengah memeluknya sekarang adalah Kartika. Tapi Kartika hanya ada dalam bayangnya. Yang sekarang memeluknya adalah Hima, bukan Kartika. Hima dan Kartika amatlah berbeda.
“Hantunya udah enggak ada.” ucap Dirga sembari menarik tanganya yang dipegang erat Hima.
Seusai menonton, keduanya berkeliling mengunjungi setiap penjuru mall. Sesekali Hima mengajak Dirga ke toko pakaian. Hima mendadani Dirga dengan beberapa barang yang dijual di tempat tersebut. Namun dengan dinginnya Dirga melepas semua yang Hima kenakan padanya. Pergi meninggalkan Hima dengan dingin dan ketus.
Sampai keduanya di tempat ketika Kartika dan Dirga bermain ice skating. Dirga terus mengamati ruangan tersebut. Dalam bayangannya, ia teringat akan saat-saat romantis ketika bermain bersama Kartika.
“Kita maen disitu, yuk!” ajak Hima tiba-tiba. Dan lamunannya pun buyar seketika.
“Enggak. Gue laper. Kita cari makan aja!”
“Ya udah, deh. Aku juga udah laper.” ucap Hima. Padahal aku pengen banget maen ice skating bareng Dirga. Nahan laper juga enggak apa-apa.
“Ayo, katanya mau makan!” seru Dirga yang sudah berjalan agak jauh.
Sungguh kencan yang sangat tidak diharapkan setiap orang, termasuk Hima sendiri yang menjalaninya. Kencan yang sangat mengecewakan, pikir Hima. Sudah sejak lama ia berharap bisa berkencan dengan Dirga. Tapi apa nyatanya? Sama sekali tak ada kesan yang menarik. Jika ia tahu akan seperti ini jadinya, ia akan lebih memilih untuk tidak sama sekali.
Selesai makan, Dirga langsung mengajak Hima pulang. Walau Hima masih sangat ingin lebih lama lagi bersama Dirga. Tapi tak apalah, hari juga sudah terlalu malam.
Sebelum Dirga mengantarkan Hima pulang, ia mampir dulu di tempat makan ‘Bebek itu enak lo’. Ia tidak bermaksud untuk makan bersama Hima di tempat tersebut. Melainkan hanya memesan beberapa porsi untuk dibawanya pulang.
“Gue mau beliin buat nyokap.” ucapnya.
Hima sangat tahu tempat makan tersebut. Ia pernah beberapa kali diajak Kartika makan di tempat tersebut. Ya, memang tidak dapat dipungkiri makanan di kaki lima itu tak kalah dari masakan restaturant mewah di seantero Jakarta. Apa Kartika juga yang memperkenalkan tempat ini pada Dirga, pikir Hima. Sudah seberapa jauh kedekatan Kartika dan Dirga?
“Kata Karti—maksud gue kata orang makanan disini enak-enak. Lo mau beli juga?”
“Enggak. Lagipula di rumah cuma ada gue sama pembantu. Gue juga udah kenyang. Lo tahu tempat ini dari siapa?”
“Oh… dari tetangga gue.” ucap Dirga tergagap.
“Oh.” Hima tahu Dirga tengah berbohong padanya. Tapi ia tak mau mempermasalahkannya.
Setelah Dirga mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia pun segera menancap gas dan pergi meninggalkan tempat kenangannya bersama Kartika dulu. Ia juga mengantarkan Hima selamat sampai di rumahnya. Hima sempat menawarkan Dirga untuk singgah sejenak, namun Dirga menolaknya.
“Kata lo, di rumah enggak ada orang. Kalo gue masuk, enggak enak sama tetangga. Takutnya mereka berpikiran macem-macem. Mungkin kapan-kapan gue bisa mampir.”
“Oh, iya juga.”
“Gue balik dulu, ya!”
“Oh, iya. Hati-hati di jalan!”
***
Kartika sangat yakin bahwa Dirgalah yang sudah membujuk Hima untuk bisa memaafkannya. Sampai sekarang ia belum mengucapkan terima kasih pada Dirga. Ia juga harus menegaskan pada Dirga agar Dirga tak usah menemuinya lagi.
Pada jam istirahat, ia diam-diam menemui Dirga di basecampnya. Walapun sebenarnya ia bilang kepada ketiga temannya akan pergi ke perpustakaan. Untunglah ketiga temannya percaya.
Sampai di basecamp Dirga, ia hanya melihat Dirga yang berada di ruang tersebut. Ini lebih baik daripada harus didengar oleh Evan dan Fathan.
“Dirga!” seru Kartika.
“Kartika? Ngapain lo kesini?”
“Gue tau lo yang buat Hima mau maafin gue.”
“Terus lo mau apa?”
“Gue cuma mau bilang terima kasih. Lo udah sering bantu gue. Gue enggak tahu harus bales apa.”
“Ya, sama-sama.”
Hening sejenak.
“Dirga.”
“Apa lagi?”
“Gue cuma mau bilang… lo enggak usah temui gue lagi, ya! Atau anggap aja kita enggak pernah kenal.”
“Maksud lo apa?”
“Gue hanya ingin jaga perasaan Hima. Kalo kita masih ketemuan Hima pasti salah paham lagi.” Kartika hendak pergi. Namun tangannya ditahan oleh Dirga.
“Gue enggak bisa.” Dirga pun memeluk Kartika.
“Tolong jangan pergi dari kehidupan gue! Lo udah memberi banyak warna dalam hidup gue. Cuma sama lo gue bisa tertawa lepas. Gue jatuh cinta sama lo, Ka. Gue enggak bisa jauh dari lo. Lo udah masuk ke dalam kehidupan gue. Lo enggak bisa gitu aja pergi. Gue juga tau lo pasti punya perasaan yang sama.”
Kaget setengah mati Kartika mendengar ucapan Dirga. Ia senang karna cintanya tidak bertepuk tangan. Hatinya sangat bahagia seperti terbang ke langit bebas. Dan ia ingin sekali mengatakan cinta pada Dirga. Namun tiba-tiba saja Hima muncul dalam pikirannya. Ia pun mengurungkan niatnya.
“Enggak.” ucap Kartika mengejutkan dan melepaskan pelukan Dirga. “Siapa bilang gue jatuh cinta sama lo.”
“Bohong. Lo bilang begitu karna Hima, kan?”
“Bukan. Bukan karna Hima. Tapi gue memang enggak ada perasaan apa-apa sama lo”
“Gue enggak percaya.”
“Apa yang akan buat lo percaya sama ucapan gue?”
“Tatap mata gue! Dan katakan, lo enggak cinta sama gue.”
Kartika ingin melakukan apa yang Dirga inginkan. Walau ia tahu itu sangat berat. Bagaimana bisa ia mengatakan tidak mencintai Dirga. Beberapa saat ia berpikir.
“Kenapa? Enggak bisa?”
Kartika mencoba memberanikan diri. Ini semua demi Hima. Sahabat lebih berharga daripada cinta. Ia menatap mata Dirga dengan tajam. “Gue enggak cinta sama lo”
“Mata lo bohong.”

“Terserah lo mau percaya atau enggak. Yang penting gue udah ngelakuin apa yang lo mau.” Kartika pun pergi.
Dirga tak bisa terima apa yang baru saja Kartika katakan padanya, Dirga menghancurkan basecamp-nya sendiri. Semua benda yang ada di hadapannya, ia tendang dan lempar sesukanya. Beberapa kali ia memukul tembok. Darah menetes dari jari-jari tangan Dirga. Ia sama sekali tak memperdulikan tangannya yang sakit. Rasa sakit hatinya jauh lebih pedih dari luka pada tangannya.
Setelah cukup jauh dari Dirga, Kartika tersandar lemas pada tembok di belakangnya. Ia tak kuasa menahan air matanya yang semakin membasahi wajahnya. Hatinya sakit saat mengatakan tidak mencintai Dirga. Ia telah berusaha menguatkan dirinya. Karna semua yang ia lakukan untuk Hima, sahabatnya. Tapi ia tetap manusia biasa. Hatinya tak bisa berbohong kalau ia mencintai Dirga, benar-benar mencintai Dirga.

Kini ia baru menyadari ternyata Dirga begitu berarti baginya. Benar kata orang, sesuatu akan terasa berharga apabila kita telah kehilangan sesuatu itu. Dan sekarang Kartika sudah kehilangan Dirga—dan akan kehilangan Dirga untuk selamanya.
“Dirga, maafin gue. Gue harus melakukan ini. Gue enggak akan pernah sanggup Hima salah paham lagi. Gue yakin lo akan mendapatkan wanita yang lebih segalanya dari gue. Karna gue memang bukan yang terbaik untuk lo.” rintih Kartika dengan tangisannya yang tak dapat dikendalikan lagi.
Tanpa Kartika dan Dirga sadari, ternyata Hima melihat dan mendengar percakapan keduanya. Ia yang awalnya merasa curiga akan gelagat aneh Kartika dengan tergesa-gesa ke perpustakaan. Ia mengikuti Kartika sampai bertemu dengan Dirga.
Ia tidak segera menghampiri Kartika dan Dirga. Ia menguping seluruh pembicaraan. Dan tanpa ia sadari ia mulai meneteskan air mata. Kini ia sadar ia sudah sangat egois. Ia sudah sangat jahat. Jahat terhadap Kartika. Kartika sudah berusaha mendekatkannya dengan Dirga. Kartika dengan amat terpaksa menahan persaannya hanya untuk Hima.

Tapi apa balasannya sekarang? Ia malah mementingkan perasaannya. Ia sama sekali tak memikirkan perasaan Kartika. Sekarang sudah jelas ia tak dapat mendapatkan hati Dirga karna hati itu sudah menjadi milik Kartika. Dan sekarang ia harus melakukan apa yang Kartika lakukan. Ia harus mengubur dalam-dalam harapannya pada Dirga. Ia harus mengembalikan senyum Kartika.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »