Kakak Kelas Jutek
BRUKKK…
“Aw…” Sesosok tubuh terjatuh dari tempat tidur. Seorang gadis berusia 15
tahun yang memiliki tinggi 160 cm. Berambut panjang, bertubuh langsung, dan
berkaki jenjang.
Kartika bangun terlambat pada hari terpenting dalam hidupnya. Hari tepat
dimana ia menginjakkan kaki di sekolah barunya, SMA Azka Julian. Jam sudah
menunjukkan pukul 07:05. Sementara sekolah menyuruhnya datang pukul 06:30. Ini
karena ia habis begadang untuk menonton film Hunger Games—film favoritnya—yang
jarang sekali muncul di layar kaca. Oleh karenanya, ia rela tak tidur untuk
menonton Hunger Games. Ia tidak memikirkan bahwa besok paginya ia harus datang
ke sekolah pagi-pagi sekali.
“Kak, ayo kita berangkat sekarang! Ika udah telat, nih.” seru Kartika yang tak
berhenti melihat jam tangannya.
“Iya, ini juga Kakak udah beres,” seru Kakaknya dari dapur. “Emangnya kamu
enggak akan sarapan dulu? kakak buatin nasi goreng sambel ijo lo”
“Ika udah telat,” jawab Kartika yang langsung melesat meninggalkan dapur. “Mana
sempet buat sarapan. Makanya Kakak cepet dong sarapannya.”
Adnan pun bergegas menyusul Kartika yang sudah siap untuk berangkat. Di rumah yang sederhana itu—rumah peninggalan kedua orang tua Adnan dan Kartika—mereka hanya tinggal berdua. Hidup bersama dan saling menyayangi. Sudah bertahun-tahun mereka hidup sebagai yatim piatu. Kedua orang tua mereka meninggal akibat kecelakaan pesawat yang sampai saat ini jasadnya belum juga ditemukan.
Adnan lah yang menjadi tulang punggu keluarga. Bekerja sebagai seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Banting tulang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan kuliahnya, juga sekolah Kartika
Adnan lah yang menjadi tulang punggu keluarga. Bekerja sebagai seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Banting tulang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan kuliahnya, juga sekolah Kartika
“Salah kamu sendiri. Tadi malem bukannya tidur buat persiapan sekolah,
malah nonton Hunger Games yang enggak penting itu.” .
“kakak kan tahu Ika suka banget sama film Hunger Games.”
“Idih, gitu aja marah.” Adnan mengacak-ngacak rambut Kartika. “Tapi kakak enggak mau tahu. Pokoknya harus
makan di sekolah. Kalo kamu sakit, kakak yang repot, kan?”
“Sip, Bos!”
Kemudian, Sampailah di gerbang sekolah SMA Azka Julian. Dari rumah
Kartika menuju sekolah hanya menghabisakan waktu 10 menit.
“Kak, nanti pulangnya enggak usah dijemput. Ika mau ke toko buku dulu.”
“Enggak mau Kakak anterin?”
“Ika kan udah SMA, masak kemana-mana harus sama Kakak. Apa kata temen-temen
nanti?”
“Aduh adik Kakak udah gede ternyata,”
“Iya, dong. Ya, udah Kakak cepetan pergi. Nanti masuk kuliahnya telat, lho.” Kartika mencium
tangan Kakaknya. “Hati-hati di jalan, Kak!” Motor Adnan pun segera melaju
dengan kencang dan hilang di balik tikungan jalan.
Kartika segera berlari memasuki sekolah barunya. Sebuah sekolah swasta
favorit di Jakarta dengan bagunan yang mewah dan sangat luas. Halaman yang luas
serta sejuk dengan pepohonan yang tumbuh rindang di sekitarnya. Kolam air
mancur setinggi 5 m juga menambah kemewahan sekolah elit tersebut. Parkirannya
pun penuh dengan mobil-mobil dan motor-motor mewah.
Dari kejauhan Kartika melihat seorang siswa laki-laki, nampaknya ia adalah
kakak kelas Kartika. Siswa berperawakan gagah, tinggi, tampan, dan gayanya yang
sok cool, sedang bersandar pada tembok di belakangnya dengan tangan bersedekap.
Ia menatap Kartika dengan galak. Kartika pun segera mempercepat langkah
kakinya.
“Mau kemana lo?” tanyanya ketus.
“Mau masuk kelas, Kak!” jawab Kartika tergagap.
“Lo tahu jam berapa sekarang?” tanyanya lagi.
Kartika tertunduk malu, takut, merasa bersalah, semuanya campur aduk.
“Lo tahu peraturan disini?”
Kartika diam membisu, wajahnya tetap menunduk.
“Jawab!” sentaknya.
“Tahu, Kak,”
“Apa?” sentaknya makin keras.
“Datang jam 6:30,”
“Itu tahu,” matanya sinis melihat Kartika. “Kenapa masih dilanggar?”
“Maaf!”
“Yang disiplin, dong!” bentaknya. “Baru jadi calon siswa udah belagu.
Dateng seenaknya. Lo gue hukum!” seperti ada semacam kilat yang menyambar dada Kartika. Baru juga
pertama masuk ia sudah kena hukuman.
“Lari keliling lapang basket! Sepuluh keliling,” perintahnya dengan
sesungging senyuman penuh makna.
“Tapi, Kak…”
“Duapuluh keliling,”
“Iya Kak,”
“Ya sudah, cepat kerjakan sekarang! Tunggu apa lagi?”
Kartika mulai mengelilingi lapangan basket. Satu putaran baru ia lalui.
Padahal rasa capai sudah menghampiri dirinya. Belum lagi panas matahari pagi
yang sangat menyengat. Menambah rasa dahaganya. “Aduh, aku cape banget. Aku
haus banget. Mana belum sempet sarapan lagi.” keluh Kartika berkali-kali.
Sampai pada putaran kelima, kepala Kartika mulai merasakan pusing. Semua benda yang ada di hadapannya seakan berputar mengelilingi kepalanya. Dan dalam hitungan detik ia sudah tak sadarkan diri.
Senior ketus bin galak tadi pun segera menghampiri Kartika dan
mengendongnya menuju UKS. Beberapa menit menunggu, akhirnya Kartika pun siuman.
Tiba-tiba datang seorang siswi senior dengan napas yang terengah-engah.
“Ada masalah apa? Kenapa sampe ada yang masuk UKS segala?” tanyanya.
Dirga hanya terdiam, menampakkan wajah seperti tanpa dosa.
“Disini cuma ada lo, Ga,” wajahnya marah menatap Dirga. “Tolong jelasain sama gue! Apa yang terjadi?”
“Sorry, gue yang salah.”
“Jelasin sama gue! Ada apa?” tanyanya lagi.
“Gue cuma hukum dia buat lari keliling lapangan basket.”
“Lo bilang, cuma?”
“Iya... gue akui ini cukup keterlaluan.”
“Lo baru baru sadar kalo ini ketelaluan? Lo kan tahu aturannya kalo ada yang telat. Gak usah
pake cara gini.”
“Iya, Rini. Gue tahu. Gue kan udah ngaku salah. lo enggak perlu terus-terusan
ceramahin gue.” bentak Dirga kepada siswi senior itu—ketua OSIS di SMA Azka Julian.
Rini tidak mengubris bentakan Dirga. Ia tahu persis siswa yang sedang
dihadapinya itu. Satu sekolah memang sudah kenal dengan cowok yang bernama
Dirgantara Rakabumi. Seorang cowok egois, sombong dan tak mau
diatur yang merupakan anak pemilik SMA Azka Julian.
“Tapi sekarang gue mau Lo anterin anak ini pulang.” ucap Rini tegas.
“Seenakanya nyuruh-nyuruh gue. Gue enggak mau.”
“Lo mesti tanggung jawab, Ga. Dia pingsan karna ulah Lo.”
“Gue udah tanggung jawab. Gue udah gendong anak ini sampe sini.”
“Gue enggak mau tahu. Pokoknya Lo musti anterin anak ini pulang. Gue enggak
mau cuma gara-gara ulah Lo, nama baik sekolah ancur. Loe juga harus jelasin dan
minta maaf sama nyokap bokapnya …”
“Enggak perlu, Kak. Aku bisa pulang sendiri, kok.” Kartika memotong
pembicaraan.
“Enggak apa-apa. Ini semua memang menjadi tanggung jawab kami. Pokoknya
kamu tetep harus Dirga anterin pulang. Dan sekarang kamu makan dulu. Abis makan
nanti Dirga anterin pulang. Bila perlu besok kamu enggak usah masuk sekolah,
istirahat aja di rumah.” ujarnya ramah penuh senyum.
“Istirahat satu hari juga sudah cukup, kok.”
Selesai
makan makanan yang disediakan oleh panitia OSIS. Belum setengah gelas minuman
yang diteguk Kartika, Dirga sudah mengajaknya pulang. “Lama banget, sih.
Timbang makan doang. Waktu gue bukan cuma buat anterin Lo pulang.”
“Emangnnya aku mau dianterin pulang sama Kakak kelas jutek kayak kamu.”
“Udahlah. Jangan ngajak gue ribut!”
“Kamu yang duluan ngajak ribut.”
“Jangan ngomel melulu. Sekarang cepet abisin makanannya.”
Setelah Kartika menghabisakan makanannya, mereka pun bergegas menuju
parkiran, tempat dimana motor milik Dirga diparkir. Tanpa menunggu waktu lagi
Dirga segera menancap gas. Dengan terpaksa Kartika harus memegang erat pada
pinggang Dirga. Kalau tidak nyawanya yang bisa melayang. Entah pada kecepatan
berapa yang Dirga gunakan. Beberapa kali Kartika mengomel agar Dirga mengurangi
kecepatannya.
Sampailah di rumah Kartika.
“Ini rumah Lo?” tanya Dirga.
“Ya, iyalah. Ngapain aku ajak kamu ke rumah orang lain.”
“Mana nyokap bokap Loe?”
“Ada kok, bokap lagi tugas diluar kota, tadi pagi nyokap nyusul” jawab Kartika.
“Baguslah.” Dirga pun segera pergi dari rumah Kartika dan kembali ke
sekolah. Belum sepuluh detik, Dirga sudah hilang dari pandangan Kartika.
“Sekali-kalinya deh, aku berurusan sama dia. Ngidam apa sih ibunya waktu
hamil dia? Kok bisa-bisanya ngelahirin anak sejutek dia.”
Hari-hari berlalu. Hari ini para siswa-siswi baru sudah resmi menjadi
keluarga besar SMA Azka Julian .
Pada jam istirahat, Kartika duduk di kantin sendirian. Semangkuk bakso
sudah ada di hadapannya, namun belum ia sentuh. Tiba-tiba lamunannya buyar
ketika seorang siswi cantik datang menghampirinya, ia tinggi, cukup modis
dengan make up tipisnya, dan murah senyum. Dia adalah Milly, saudara jauh Kartika. Milly ditemani kedua sahabatnya,
“Hai, Ika! Apa kabar? Lo sekolah disini?”
“Hai, Mil! gue baik. Enggak nyangka ya, kita bisa satu sekolah. Gimana kabar lo?”
“gue juga baik. Muka lo enggak berubah, ya? Padahal kita udah lima tahun enggak ketemu.”
“lo sedikit berubah, Mil. Lo jadi makin cantik.”
“Ah, lo bisa aja. Oh iya, gimana kabar Kak Adnan? Pasti makin ganteng.”
“Baik juga.”
“Oh iya, sampe lupa. Kenalin temen-temen gue! Mereka sahabat-sahabat gue dari SMP.”
“gue Winda.” Winda juga sama cantiknya dengan Milly, sedikit lebih tinggi, rambutnya sengaja
dipotong pendek berbando, tetapi masih membuatnya terlihat anggun. Tapi agak
sedikit dingin, mungkin ia tidak bisa mudah ramah pada orang yang baru dikenalnya.
“Hai! Gue Hima. Boleh kan kita gabung?” Seorang siswi seangkatan Kartika, tinggi
semampai, cukup cantik dengan rambut yang dibiarkan terurai sampai punggungnya,
dan ia cukup ramah.
Kartika menyalami tangan keduanya. “Kartika.”
“Boleh kan kita gabung?” ulang Hima.
“Oh iya, sok aja,”
Hima, Winda,
dan Milly pun memesan makanan. Di tengah
perbincangan mereka berempat terjadi sebuah kegaduhan.
“Dirga…” teriak salah seorang siswi.
“Evan…” teriakan berikutnya.
“Fathan…” teriakan tak kalah hebohnya. Semua yang berada di kantin langsung
mengerumuni siswa-siswa yang menjadi penyebab kegaduhan itu.
Dirga? Sepertinya Kartika tidak asing dengan nama itu. Tapi dia siapa, ya?
Oh iya, ia baru ingat sekarang, Dirga adalah siswa senior yang membuatnya
pingsan satu minggu yang lalu. Teman-teman pun yang tadinya duduk dan makan
bersamanya, segera berlari menuju kerumunan orang-orang yang mengelilingi
Dirga, Evan dan Fathan.
Idih, ampe segitunya banget, sih. Emang dia siapa. Diperlakuin kayak
pangeran. Lagian cewek-ceweknya juga mau-maunya ngagumin cowok ngeselin itu.
gumam Kartika dalam hati.
“Kak Dirga, aku Putri anak X-1. Ini ada kue buat Kakak.” teriakan yang
sekilas Kartika dengar di balik kerumunan tersebut.
“Aku Feby. Ini ada coklat untuk Kak Evan.”
Banyak sekali siswi yang mengerumuni Dirga cs. Banyak pula di antara mereka
yang memberi hadiah untuk Dirga dan teman-temannya.
“Please, yah!” juteknya mulai deh. “Gue kesini mau makan. Bisa kan enggak
usah ganggu? Dan gue enggak butuh barang-barang yang lo lo semua,” tangannya menunjuk
sekeliling. “kasih sama gue.”
Kedua sahabatnya hanya tersenyum mengerti melihat kelakuan Dirga. Ia pasti
sedang bad mood.
Samar-samar Kartika mendengar ucapan Dirga yang begitu sombongnya. Ingin
rasanya ia menghadiahkan sebuah tinju untuk siswa jutek itu, tapi ia mencoba
sabar agar tidak lagi berurusan dengan orang itu. Ia pun melahap bakso dengan
penuh kekesalan.
Seketika semua gadis-gadis yang berada di kerumunan itu duduk kembali ke
tempat masing-masing. Juga ketiga teman baru Kartika kembali duduk di samping
Kartika. Dan juga Dirga, Evan dan Fathan dapat melanjutkan langkah kaki mereka.
“Lo enggak ikut kenalan sama Kak Dirga cs.?” tanya Winda.
“Ngapain orang jutek kayak dia gue kenal?” jawab Kartika agak ketus.
“Jutek apanya?” Hima membela Dirga cs. “Mereka baik banget, kok.”
“Dirga baik? Maaf, ya! Kesan pertama gue ketemu Dirga, orangnya jutek abis. Gara-gara
dia gue pingsan.”
“Oh, jadi lo siswi yang dihukum Kak Dirga sampe pingsan?” tanya Milly penasaran.
“Kok lo bisa tahu?”
“Ya, iyalah. Satu sekolah juga udah tahu kali. Sesuatu yang berhubungan
sama Kak Dirga pasti jadi hot news.” urai Winda.
“Sampe segitunya, ya?”
“Ya ampun, Ika. Lo kemana aja sih?” Hima memukul meja. “Lo enggak tahu? Kak Dirga adalah anak dari pemilik
sekolah kita. Dia juga kapten basket. Cowok terkeren dan terganteng satu
sekolah. Ya, pantes dong dia istimewa.” Hah?
“Dan ada sedikit fakta tentang Kak Dirga.” ucap Milly penuh tanya. “Kak Dirga belum
pernah pacaran. Beda banget sama Kak Fathan dan Kak Evan yang terkenal
playboy.”
“Kok bisa? Bukannya kata lo dia paling keren satu sekolah masak enggak
punya pacar.”
“Jangan berpikir kalo enggak ada cewek yang mau sama dia, ya! Sebenernya Kak Dirga adalah cowok
yang paling digadrungin banyak cewek. Dari yang di bawah umur sampe
tante-tante. Cuma dianya aja yang enggak mau. Menurut kabar udah puluhan cewek
nembak Kak Dirga, tapi tak ada satu pun yang dia terima.”
“Idih sok mahal banget jadi cowok. Emangnya cowok di dunia ini cuma dia?”
ujar Kartika sedikit ketus. “Lagipula kecentilan juga sih cewek-ceweknya.”lo dendam banget ya sama kak
Dirga?”
“Ya iyalah,” muka Kartika tambah merah. “Kalo kalian jadi gue juga, bakalan kayak gitu.”
“Gue enggak akan gitu, kok,” jawab Hima. “gue malah seneng bisa dianterin pulang sama Kak
Dirga.”
“Ngapain kalian ngomongon Dirga?” Tiba-tiba ada suara yang ikut nimbrung
percakapan mereka. Suara itu berasal dari salah seorang siswi senior yang
mengagetkan Kartika dan teman-temannya.
“Kakak-kakak ini siapa?” tanya Milly.
“What? Kalian enggak kenal kita? Ya udah, Guys. Kita kenalin diri dulu.”
“Gue Nadia.”
“Gue Cindy.”
“Dan gue Gina.”
“Kakak ngapain ngupingin kita?” tanya Hima polos.
“Helo! Kalian ini lagi ngomongin cowok gue. Masak gue diemin?”
“Bukannya Dirga enggak punya cewek, ya?” tanya Kartika.
“Dirga cuma enggak mau orang tahu kalo kita pacaran.” jawab Gina.
Ting… seperti ada lampu bohlam menyala terang di samping kepala
Kartika. Orang kayak gini mah harus dikasih pelajaran. “Kenapa Kakak
bilang-bilang sama kita soal hubungan Kakak sama Dirga. Kakak sendiri yang
bilang hubungan kalian enggak mau diketahui orang. Dan bukannya jaga rahasia
adalah hal yang penting dalam menjalin sebuah hubungan?”
“Ya… gue cuma enggak mau kalian ngomongin cowok gue. Ngerti?” Gina kebingungan terkena serangan telak Kartika.
“Kita rasa, bukan hanya kita yang lagi ngomongin pacar Kakak. Seisi kantin
ini hampir semuanya ngomongin Dirga. Kenapa Kakak enggak kasih tahu mereka
juga?”
“Ya, pokoknya gue peringetin sekali lagi. Kalian jangan pernah ngomongin
cowok gue lagi.” Gina dan kawan-kawannya pun pergi meninggalkan Kartika dan
teman-teman. Hima, Milly, dan Winda pun tertawa terbahak-bahak selepas Gina dan
kawan-kawan meninggalkan kantin.
“Ya ampun, Ika,” Winda mengeluarkan napas lega. “lo berani banget, sih!”
“Lo enggak takut diapa-apain Kak Gina?” tanya Milly.
“Kenapa harus takut? Toh gue yang bener, kan?”
“Ya, seeenggaknya Kak Gina itu Kakak kelas. Dia pasti lebih berkuasa dari
kita.”
“Kalo kita bener ngapain takut? Kita harus menegakkan kebenaran. Jangan pernah
takut kalau kita emang bener. Udahlah enggak usah ngomongin itu lagi. Bentar
lagi masuk kelas, makanannya cepet abisin! Nanti keburu masuk.”
Tags:
Kisah