Kompetisi Basket
Selesai ekskul, semua anggota ekskul basket diminta Pak Debi berkumpul di
pinggir lapangan basket.
“Dua minggu lagi akan ada kejuaraan basket se-Jakarta khusus putri. Dan
sekolah kita sudah memutuskan untuk mengikutinya.”
Riuh tepuk tangan membuat Pak Debi berhenti sejenak.
“Saya putuskan untuk menunjuk…”
Kartika sangat berharap namanya akan disebut.
“Anjelli, Nabila, Ratu, Indah, Rahma, Nadella, Chindy, Rahmi, Rivega dan Rindu . Nanti
sore Bapak tunggu. Kita latihan tiga kali seminggu. Sekiranya cukup sekian yang
dapat Bapak sampaikan. Terima kasih atas perhatiannya.” Pak Debi pun berlalu.
Kartika sangat terpukul ketika namanya tidak disebut. Harapannya pupus
seketika. Sementara nama-nama yang tadi sempat disebut Pak Debi bersorak-sorak
gembira.
Sejak namanya tidak disebut dalam tim inti putri basket. Ia nampak murung.
Jarang sekali berbicara. Teman-temannya sudah paham apa yang tengah melanda
sahabatnya itu. Kartika sempat menceritakan kepada teman-temannya, tapi mereka
bisa apa. Yang bisa dilakukan hanya menghibur Kartika.
“Kasian Kartika. Gue pengen banget hibur dia. Tapi apapun yang kita
lakukan, enggak buat Kartika senyum lagi.”
“Mungkin dia butuh waktu untuk menerima ini semua.”
Hari ini Kartika pulang terlambat. Dilihatnya lapangan basket kosong dan
sebuah bola basket terletak di samping ring basket. Ia segera mengambil bola
basket dan melemparkannya pada ring basket dengan penuh amarah. Namun tidak
masuk. Kartika terus melemparkannya disertai amarah yang terus bergejolak. Dan
bola pun tak mau masuk. Dilemparkannya bola basket dengan keras ke arah ring,
namun meleset. Bola memantul deras keluar lapangan. Kartika tak
menghiraukannya. Ia terduduk lemas di tengah lapang basket. Ia pun mulai
menangis.
Bola yang memantul itu mendarat tepat di atas tangan Dirga. Dilhatnya
Kartika terduduk lemas di tengah lapangan basket. Ia segera menghampiri Kartika
dengan penuh tanda tanya di pikirannya.
“Kalo maen basket pake emosi, mana mau bolanya masuk.” sapa Dirga.
Kartika menghapus air matanya dan mulai beranjak. Dilihatnya, ternyata
orang itu, “Dirga? Ngapain lo disini?” tanyanya ketus.
“Gue abis latihan. Gue mau nyari bola basket yang ketinggalan, eh ternyata
ada sama lo.”
Kartika hanya diam terpaku.
“Oh, gue ngerti. lo kecewa gara-gara lo enggak ikut tim inti, kan?” tanya
Dirga sok tahu. “Gue emang enggak pernah ngalamin yang lo alamin
sekarang,”—sombong. “Gue selalu dapat yang gue inginkan. Tapi gue tahu gimana
pahitnya kegagalan. Setiap manusia akan selalu mengalami manis pahitnya
kehidupan.”—sok jadi orang bijak.
Kartika masih terdiam.
“Kalo mau gue kasih saran, ya! Lo jangan marah-marah kayak gini. Enggak
akan ngehasilin apa-apa. Lo enggak boleh menyerah gitu aja. Lo harus tetap
berusaha. Gue yakin kalo lo mau tekun belajarnya, Lo pasti bisa lebih baik
dari sekarang. Bahkan lo bisa jadi tim inti basket, mungkin bisa jadi
kaptennya.”
Rintik hujan pun mulai turun.
Dirga mengajak Kartika untuk beranjak dari lapangan basket, namun Kartika
menolak.
“Ika, lo mau sakit?”
“Lo enggak ngerti apa yang gue rasain sekarang,” Hujan mulai membasahi
keduanya. “Gue enggak cantik. Gue bukan orang kaya. Dan gue juga enggak pinter.
Tapi gue enggak pernah berharap menjadi cantik, kaya, dan pintar. Hanya satu
yang gue mau. Gue ingin orang mengenal gue. Gue ingin punya kelebihan daripada
yang lain. Gue hanya ingin masuk tim basket dan mengharumkan nama sekolah
dengan prestasi gue.” Kartika mengambil bola basket dari tangan Dirga dan
melemparkannya ke dalam ring basket. Namun lagi-lagi gagal. Bola pun memantul
deras keluar lapangan. Dirga segera mengambilnya.
“Udah gue bilang, bola enggak mau masuk kalo pake amarah.” Dirga segera
unjuk kebolehannya. Shooting dari tengah lapangan dan masuk. Ia segera
mengambil bolanya. Lalu mendribble bola dari pinggir lapangan, melakukan lay-up
sempurna dan bola pun mas. Berputar-putar di bawah ring baket. Memasukkan bola
berkali-kali. Tidak ada yang meleset satu pun. Kartika terpana melihatnya.
“Mau ajarin gue?” ucap Kartika tiba-tiba.
“Sebenernya susah. Diliat dari cara lo lempar bola aja masih banyak yang
harus diperbaiki.” ucap Dirga dengan nada merendahkan.
Kartika tidak begitu kecewa mendengar jawaban Dirga. Ia sendiri tahu
sebatas apa kemampuannya dalam hal basket. Ia berjalan keluar lapangan basket.
“Tapi enggak ada kata menyerah dalam kamus Dirga. Pelajaran dilaksanakan
setelah gue beres latihan basket. Dan pelajaran pertama kita mulai hari ini.”
Senyum bangga mengembang di wajah Kartika. Bunga-bunga dalam hatinya
kembali bermekaran. Ia membalikkan badannya. Dan setengah berlari menghampiri
Dirga.
Kartika mencoba meraih bola dari tangan Dirga. Dirga tak memberikannya.
Diangkatnya bola basket tinggi-tinggi. Semakin sulit Kartika untuk meraihnya.
“Apa lagi?”
Dirga tak menjawab.
“Makasih.” ucap Kartika. Hampir saja ia lupa megucapkan kata itu. Pantas
saja Dirga tak mau memberikan bola basket kepadanya. Setelah mendengar ucapan
yang diingikannya itu. Baru Dirga memberikan bola basket pada Kartika.
Dirga mulai mengajari kepada Kartika tentang dasar-dasar bermain basket.
Ya, walaupun dasar-dasar itu sudah
Kartika mengerti ketika mengkuti ekskul basket. Namun Kartika tidak
berani protes. Ia tak ingin merusak mood Dirga.
Kartika memperagakan apa yang Dirga ucapkan maupun yang Dirga peragakan.
Banyak kesalahan yang Kartika perbuat. Butuh berkali-kali perbaikan agar
Kartika tidak berbuat kesalahan kembali. Itu sangat membuat Dirga geram.
Rasanya ingin segera mengakhiri pelajarannya kepada Kartika. Namun ia berusaha
untuk sabar. Ia berusaha untuk konsisten dengan ucapannya.
Diakhir pelajaran Kartika menantang Dirga untuk bermain basket satu lawan satu.
“Berani lo nantangin gue?”
“Kan buat menguji, apa lo sukses ajarin gue atau enggak?”
“Oke. Gue terima tantangan lo. Tapi kalo lo kalah jangan nangis, ya.”
“Siapa bilang gue bakal kalah. Gue akan berusaha untuk ngalahin lo. Liat
aja!”
Dirga meraih bola dari tangan Kartika dan melemparkannya ke dalam ring
basket. “Three point!” terikanya.
“Ih, curang!” protes Kartika. “Gue kan belum siap.”
“Siapa cepat, dia yang dapat.”
Kartika kini yang akan berbuat curang. Namun geraknya sudah terbaca jelas
oleh Dirga. Ia berhasil berkelit dari Kartika. Dan membawa bola ke tengah
lapangan. Kartika berusaha mengejar, namun tiba-tiba ia terpeleset. Dirga
segera menghampiri. Disimpannya di samping tubuh Kartika.
“Lo enggak apa-apa, Ika?” tanyanya khawatir.
Kartika beranjak cepat dan mengambil bola. Lalu berlari ke bawah ring. Dan
mencetak point. “Dua-tiga!” terikanya.
“Mau maen curang, ya?”
“Lo yang duluan maen curang.”
Permainan pun dimulai.
Beberapa kecurangan mereka lakukan. Dirga menarik tangan Kartika dan meraih
bola. Kartika tak kehabisan akal. Ia menggelitik atau mendorong Dirga dari
belakang.
Mereka sangat menikmati permainan. Tawa riang mengiringi selama permainan.
Sejenak permusuhan antara Kartika dan Dirga terlupakan. Mereka terlalu asyik
dengan permainan. Guyuran hujan menambahkan suasana romantis keduanya.
Akhirnya permainan pun selesai juga. Dengan point 30-10. Dan Dirgalah
pemenangnya. Sudah dapat dikira dari awal bahwa Dirga akan menjadi pemenang.
Sungguh sulit dipercaya apabila Kartika berhasil mengalahkan pemain terbaik
satu sekolah.
Keduanya segera menepi. Menghangatkan tubuh mereka setelah diguyur hujan.
Kartika mengigil kedinginan. Dirga yang hendak memakai jaketnya merasa iba
kepada Kartika. Ia memakaikan jaketnya pada Kartika. Awalnya Kartika menolak.
Namun Dirga sedikit agak memaksa, ia pun tidak bisa berkutik.
“Gue yakin lol pasti enggak bawa jaket. Udah pake aja jaket gue.”
“Terus lo pake apa?”
“Gue enggak mau anak orang sakit gara-gara gue.”
“Makasih!” Kartika agak ragu-ragu menerima jaket Dirga. “Hmm … kalo gitu,
aku pulang duluan, ya!” seru Kartika. “Kak Adnan pasti udah khawatir.”
“Biar gue anterin!” Dirga menarik tangan Kartika. Membuat Kartika sulit untuk
menolak ajakan Dirga.
Di tengah derasnya guyuran hujan keduanya meninggalkan sekolah. Lagaknya
sudah bagai Rossi. Entah kecepatan berapa yang ia gunakan. Laju motornya sangat
cepat. Itu mengharuskan Kartika berpegangan erat pada Dirga.
Sampailah di rumah Kartika.
Belum satu menit Kartika turun dari motor Dirga. Dirga sudah menancap gas.
Berlalu dengan cepat dari pandangan Kartika. Ia lupa bahwa jaketnya masih ada
pada Kartika.
Adnan yang sepulang kerja tidak mendapati adiknya ada di rumah. Sangat
khawatir kepada Kartika. Sepulang kerja ia belum menyempatkan makan, ia hanya
mondar-mandir di depan pintu sembari memegang ponselnya berulang kali ia
menghubungi Kartika. Namun ponsel Kartika tidak dapat dihubungi. Tak kehabisan
akal, ia menghubungi teman-teman Kartika. Namun tidak ada diantara mereka yang
mengetahui keberadaan Kartika. Ia pun memutuskan untuk mencari adik semata
wayangnya itu.
Ketika ia hendak menyalakan motornya, Kartika pun datang dengan sekujur
tubunya basah kuyup.
“Kakak mau kemana?” sapa Kartika.
“Kamu dari mana aja sih, Ika?” tanya Adnan dengan marah.
“Ika ada pelajaran tambahan. Jadi pulangnya sore.”
“Kenapa kamu enggak ngasih kabar sama Kakak?”
“Hp Ika mati.”
“Lain kali jangan gini lagi, ya! Jangan buat Kakak khawatir kayak gini.
Liat tuh! Kamu basah kuyup gitu.”
“Iya, Kak.”
Keduanya pun masuk ke dalam rumah.
Kartika segera berganti pakaian dan menghangatkan diri. Arini pun datang
sore itu. Ia dikabari Adnan bahwa Kartika belum pulang dari sekolahnya. Ia
sangat kahwatir pada Kartika. Ketika ia datang, ternyata Kartika sudah ada di
rumah. Ia pun segera memasakkan makan malam.
***
Besoknya, Kartika mendengar kabar kalau Dirga sakit ini pasti karena
kejadian kemarin. Tapi siapa suruh jaketnya gue yang pake, pikir Kartika.
Mendengar kabar itu, sedikit membuat Hima murung hari itu. Ia hanya bicara
secukupnya. Ingin rasanya ia menjenguk Dirga. Tapi siapa dia? Dia tak ada
hubungan apa-apa dengan Dirga. Ketiga sahabatnya pun bisa memahami sikap Hima.
Sepulang sekolah Kartika memutuskan untuk menjenguk Dirga. Sekalian juga
untuk mengembalikan jaket Dirga yang masih ada pada dirinya. Ia tak tahu dimana
rumah Dirga, untuk itu ia pun berniat menanyakannya pada Evan dan Fathan. Kalau
ia bertanya pada Hima, takutnya ada salah paham.
Sampai di basecamp Dirga cs. ia melihat Evan dan Fathan sedang asyik main
bilyar. Karna kedatangan Kartika, mereka menghentikan permainan dan segera
menyambutnya. Evan mempersilahkan Kartika duduk.
“Tumben lo dateng kesini?” sapa Fathan.
“Aku denger … Dirga sakit, ya?” tanyanya sambil menyeruput minuman yang
diberikan Evan.
“Oh iya,” jawab Evan. “Katanya sih demam, besok juga udah masuk lagi.”
“Eu…” ucap Kartika seperti ada sesuatu yang mengganjal. “Aku… boleh minta
alamat rumah Dirga, enggak?”
“Buat apa?”
“Aku,” gagap lagi. “mau nengok.”
“Nengok?”
“Iya,” jawab Kartika seperti merasa bersalah. “Eu… kemaren aku abis latihan
basket sambil ujan-ujanan sama dia. Terus jaketnya aku pake pas pulang. Mungkin
karna itu dia jadi sakit.”
“Oh, karna itu,” Fathan pun menuliskan alamat Dirga dalam secarik kertas
dan memberikannya kepada Kartika.
“Makasih ya, Kak,”
“Iya sama-sama,”
Ketika Kartika hendak pergi, ia menghadangnya, “Lo mau kemana?”
“Aku mau langsung ke rumah Dirga,”
“Tunggu dulu. Biar kita pesenin taksi buat lo.”
“Enggak usah repot-repot, Kak. Aku bisa naik bis, kok.”
“Enggak apa-apa,” Fathan menyuruh Kartika duduk lagi. “Sambil nunggu kita
ngobrol-ngobrol aja dulu.” Kartika pun menurut.
“Hebat ya, lo Ika,” puji Evan tiba-tiba, membuat Kartika jadi heran.
“Dari banyak cewek yang ngejar-ngejar Dirga, cuma lo yang berhasil deket sama
dia.”
“Siapa bilang aku ngejar-ngejar Dirga?” jawab Kartika agak marah.
“Gue salut sama lo banyak cewek yang rela ngelakuin apapun buat deket
sama Dirga. Eh, itu anak malah deketnya sama.lo.”
“Mungkin traumanya sama cewek udah ilang,” celetuk Evan.
“Maksud Kak Evan?” tanya Kartika tak mengerti. “Dirga pernah disakitin sama
cewek.”
“Bukan gitu,” sanggah Fathan. “Dirga punya hubungan yang enggak baik sama
ibunya sejak ayahnya meninggal sepuluh tahun yang lalu. Dirga sangat dekat dan
sayang banget sama bokapnya. Dan saat bokapnya dipanggil Tuhan, Dirga
sangat-sangat terpukul. Nyokapnya yang juga sama-sama terpukul menyibukkan diri
dengan kerja. Padahal Dirga saat itu sangat butuh ibunya. Itulah yang membuat
Dirga jadi enggak respek sama ibunya sendiri.”
“Pantes dia jutek banget,” komentar Kartika.
“Sebenernya Dirga juga udah enggak betah tinggal di rumahnya,” lanjut Evan.
“Cuma dia punya adik yang sakit-sakitan,. Dia sayang banget sama adiknya.”
Mendengar semua cerita Evan dan Fathan, pandangan Kartika terhadap Dirga
jadi berubah 180°. Kini ia tahu mengapa sikap Dirga begitu dingin. Kasihan
juga. Dibalik raganya yang rupawan, namun hatinya sangat kekurangan kasih
sayang.
“Jadi lo maklum aja,” ucap Fathan. “Lo coba deketin dia, buat dia
menerima ibunya lagi. Bantu dia untuk mendapatkan kebahagiaanya lagi.”
“Kenapa harus aku?”
“Dirga orangnya keras kepala,” curhat Evan. “Udah sering kita ngasih tahu,
tapi selalu pura-pura enggak denger. Malah kita pernah kena bogem mentahnya.
Dia juga sulit untuk berteman. Kita harap lo bisa merubah sikapnya.”
“Tapi siapa aku? Aku juga belum lama kenal sama Dirga.”
“Eh, taksinya udah dateng,” ucap Fathan. Percakapan mereka buntu sampai
disitu.
“Ya udah, kita lanjut ngobrolnya nanti lagi aja, ya!”
“Iya, Kak!” jawab Kartika sambil beranjak. “Makasih ya, Kak, buat
semuanya.”
“Iya, sama-sama.” Kartika pun keluar dari basecamp Dirga cs. Dan segera
masuk ke dalam taksi yang membawanya menuju rumah Dirga.
***
Kedatangan Kartika disambut ramah oleh seorang pembantu rumah tangga di
rumah mewah Dirga. Pembantu yang kerap disapa Bik Imas itu mengantarkan Kartika
sampai kamar Dirga.
“Ini kamarnya Mas Dirga!” tunjuk Bik Imas.
“Makasih, Bik.”
“Kalau begitu saya permisi.”
Kartika mulai mengetuk pintu kamar Dirga.
“Siapa?” sapa suara dari dalam.
“Gue Kartika.”
“Ngapain lo kesini? Lo enggak usah repot-repot nengok gue.”
“Gue kesini bukan buat nengok lo kok.” —bohong. “Gue kesini buat balikin
jaket lo.”
“Apa enggak bisa besok? Besok juga gue udah masuk sekolah.”
“Ya…” Kartika berusaha mencari alasan. “Gue juga mau minta maaf. Gara-gara
gue lo jadi demam.”
“Enggak perlu merasa bersalah. Gue juga enggak nyalahin lo. Sekarang lo pulang aja!”
“Lou kenapa, sih? Orang ngasih perhatian malah dijutekin.”
“Nyokap gue aja enggak pernah perhatian kalo gue sakit. Jadi, lo enggak
perlu repot-repot perhatian sama gue. Gue butuh istirahat. Lo tahu jalan
keluar, kan? Simpen aja jaket gue di depan pintu.”
Kartika pun menyimpan jaket Dirga di depan pintu kamar Dirga. Dan segera
menjauh dari kamar Dirga. Ia juga tak mau berdebat dengan Dirga. Ketika ia
menuruni anak tangga, ia melihat seorang anak perempuan—mungkin ini adik Dirga
yang sakit-sakitan yang tadi diceritakan Evan—berjalan terpapah menaiki anak
tangga. Ia pun segera membantunya.
“Kamu mau kemana? Sini biar Kakak bantu!” sapanya.
Kartika memapah anak perempuan itu sampai ke kamarnya. Ia membaringkan anak
perempuan itu dan menyelimutinya.
“Aku Chika.” ucap anak perempuan itu.
“Aku Kartika.”
“Kakak temennya Kak Dirga, ya? Pasti Kakak abis diusir sama Kak Dirga.”
Kartika hanya mengangguk dan tersenyum.
“Kak Dirga emang orangnya gitu. Suka jadi bad mood kalo lagi sakit.”
Kartika hanya tersenyum. Emang iya.
Pandangan Kartika beralih pada sebuah novel di atas meja belajar Chika. Ia
teringat dengan kejadian beberapa bulan yang lalu. Ketika ia dan Dirga saling
memperebutkan novel Hunger Games di sebuah toko buku yang hanya tinggal
satu-satunya itu.
“Kakak juga suka Hunger Games, ya?”
“Kakak enggak nyangka bakal ketemu fans Hunger Games disini.”
“Buku ini Kak Dirga yang beliin. Kak Dirga baik banget sama aku. Dia Kakak
terbaik di seluruh dunia.”
Ternyata Dirga sayang banget sama adiknya. Pantes waktu itu dia ngotot
banget pengen novel ini.
“Dia rela ngelakuin apa aja asal aku seneng. Chika beruntung punya Kak
Dirga. Cuma sekarang Kak Dirga lagi sakit. Aku enggak berani ganggu.”
“Udah sore, nih! Kakak pulang dulu, ya!”
“Kakak sering kesini, ya? Aku enggak punya temen ngobrol. Kak Dirga jarang
ada di rumah. Mama sering pergi buat urusan bisnis. Aku kesepian.”
“Iya. Kakak janji bakal sering kesini. Buat nemenin Chika.” Kartika pun
pergi meninggalkan kamar Chika.
Di halaman rumah Dirga, ia berpapasan dengan seorang ibu paruh baya. Jalannya
sangat terburu-buru. Hampir saja menyenggol bahu Kartika. Nampaknya ibu paruh
baya itu Kartika kenal. Ia pernah bertemu ibu paruh baya itu. Tapi dimana?
Sekarang ia ingat. Ia pernah bertemu ibu paruh baya itu di pesta ulang
tahun Dirga tempo hari. Ingin ia menyapanya, namun ibu itu sudah masuk ke dalam
rumah Dirga. Sudahlah, mungkin lain waktu ia bisa menyapanya. Di pintu gerbang
ia bertemu dengan Pak Satpam penjaga rumah Dirga. Ia pun menghampirinya.
“Siang, Pak!” sapanya.
“Siang. Ada perlu apa ya, Neng?”
“Boleh saya tanya sesuatu?”
“Ada apa gitu, Neng?”
“Ibu yang masuk barusan siapa, ya?”
“Oh, Bu Yanti. Dia Mamanya Mas Dirga. Memangnya ada apa, Neng?”
“Oh… enggak apa-apa. Makasih, Pak! Saya permisi.”
“Mangga atuh, Neng!”
Esoknya Dirga kembali masuk sekolah. Mood Dirga kembali memburuk. Ia jadi
dingin dan jutek lagi. Dan ia juga tidak mengajari Kartika basket lagi. Kartika
pun tak berani dan malas untuk meminta Dirga mengajainya lagi. Keduanya pun
kembali bagai kucing dan anjing. Kartika memutuskan untuk belajar sendiri.
Menambah-nambah dari yang diajari pada saat ekskul. Juga belajar melalui
internet. Dan pada saat ekskul pun ia sangat memperhatikan ketika Pak Ardi
menerangkan.
Hari-hari berlalu, Kartika dan Dirga tidak berhubungan lagi. Namun diam-diam
Dirga selalu melihat Kartika latihan dari kejauhan.
Selesai jam ekskul semua anggota ekskul basket diminta berkumpul. Nampaknya
Pak Ardi akan mengumumkan sesuatu yang penting kepada semua anak didiknya.
“Alhamdulillah. Tim yang kita kirim sebagai perwakilan berhasil lolos dalam
seleksi. Satu langkah lagi kita akan menuju semifinal. Bapak harap tim kita
bisa masuk ke semifinal, dan bahkan bisa memenangkan kompetisi kali ini. Bapak
minta doanya dari kalian semua.”
“Ya, Pak!” jawab semua serentak.
“Kartika nanti sore kamu ikut latihan, ya? Saya lihat permainan kamu
akhir-akhir ini cukup meningkat. Bapak mau kamu ikut pertandingan minggu
depan.”
Kartika tidak percaya. Ia tidak bisa mempercayai bahwa dirinya ditunjuk Pak
Ardi sebagai pemain. Ia senang luar biasa. Kemudian tanpa sengaja ia melihat ke
arah Dirga. Dirga pun membalas senyumnya.
“Terima kasih, Pak!” ucapnya terbata-bata.
Semua siswa-siswi pergi ke ruang Loker untuk mengganti pakaian dan pulang.
Namun Kartika masih berada di lapangan basket. Diam terpaku berhadapan dengan
ring basket. Ia masih belum bisa mempercayai bahwa dirinya terpilih menjadi
pemain.
Tiba-tiba seseorang melemparkan bola basket ke dalam ring basket. Itu
membuat lamunan Kartika buyar seketika.
“Apa gue bilang. Lo pasti bisa. Kalo lo mau berusaha untuk bisa dan
menjalaninya dengan tekun.” ucap orang itu.
“Makasih. Mungkin semua ini tak lepas dari bantuan dan dukungan lo.”
“Kenapa lo enggak minta gue ajarin lagi?”
“Gue tahu lo lagi bad mood. Gue enggak mau ganggu lo. Lagipula gue bisa
belajar sendiri.”
“Gue kan udah bilang, gue akan selalu konsisten dengan ucapan yang pernah
keluar dari mulut gue.”
“Kan udah gur bilang juga gue bisa belajar sendiri.”
“Gue mau liat hasil lo belajar sendiri!”
“Maksud lo?”
“Gue nantangin lo.”
“Deal.”
Kartika dan Dirga mulai bermain. Kecurangan masih jelas terlihat dari
permainan mereka. Kecurangan itu tidak jauh berbeda dari yang mereka lakukan
tempo hari. Mereka sangat menikmati permainan. Canda tawa mengiringi permainan,
setiap kali mereka melakukan kecurangan maupun memasukkan bola ke dalam ring.
Kali ini Dirga juga yang memenangkan permainan. Kartika tidak begitu kecewa
ia kalah. Karena hasil kali ini tidak jauh berbeda. Kartika tidak kalah telak
dari Dirga. Dengan point 40-20. Kartika masih bangga pada dirinya sendiri.
“Besar juga peningkatan lo.” puji Dirga. “Kewalahan gue ngadepin lo.”
“Tumben lo puji gue .”
“Enggak suka?”
“Biasanya kan kamu selalu nyela gur. Enggak pernah lo bilang gue bagus.”
“Tapi barusan gue masih pake kekuatan gue, ya… paling seperempatnya. Kalo
gue pake kekuatan penuh mungkin lo kalah telak lagi.”
“Nyebelin lo! Emang enggak ada bagus-bagusnya gue di mata lo.” Kartika
pun pergi. Namun beberapa menit kemudian ia kembali lagi. Dan mendorong Dirga
sampai tersungkur jatuh.
“Heh…” teriak Dirga.
***
Kartika tak lupa berbagi kebahagian bersama ketiga temannya. Ketika pagi,
saat jam pelajaran pertama belum dimulai. Ia mengagetkan ketiga temannya yang
tengah ada di kelasnya menemani Hima membuat pekerjaan rumah dari Pak Fiar, fisika.
“Guys!” sapa Kartika. “I have good news.”
“What?” tanya Milly tak peduli sambil asyik memainkan hp barunya.
“Gue jadi tim inti di kompetisi basket se-Jakarta tahun ini. Ya, meskipun
hanya sebagai pemain cadangan. Tapi gue tetep seneng.”
“Serius?” tanya Winda tak percaya.
“Swear! Ngapain gue bohongin kalian? Kalo enggak percaya tanya langsung aja
Pak Debi.”
“Kalo gitu selamet ya, Mel!” ucap Milly dan Winda berbarengan.
“Semoga dengan adanya lo perwakilan sekolah kita bisa menang.”
“Amin!”
Kebahagiaan Kartika makin bertambah setelah mendapat support dari kedua
temannya. Namun ketika ia melihat Hima, Hima tak memberi respon apa-apa.
“Ma, kamu enggak seneng denger berita baik aku, ya?”
“Gue mau tanya sesuatu sama lo.”
“Gue buat kesalahan sama lo?”
“Gue denger akhir-akhir ini lo lagi deket sama Kak Dirga. Apa itu bener?”
Milly dan Winda langsung menghentikan aktivitas mereka yang asyik sendiri.
Dan memperhatikan ketegangan yang tengah terjadi.
“Lo marah soal itu? Gue sama Dirga enggak ada apa-apa, kok. Lo jangan
salah paham. Gue bisa jelasin semuanya.”
“Gue cuma ingin tahu, iya atau enggak?”
“Iya…”
Winda menggelengkan kepalanya.
“Ta… tapi gue bisa jelasin, kok. Dirga cuma ajarin gue basket. Kita enggak
ada hubungan apa-apa. Gue harap lo bisa percaya. Gue bisa buktiin.”
“Gue percaya sama lo, kok.”
“Ma…?”
“Selamet, ya! Akhirnya keinginan lo terkabul.” Hima pun melanjutkan
kembali mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Milly dan Winda tak bisa berkata apa-apa. Mereka kembali melanjutkan
aktivitas mereka. Kartika sendiri masih merasa bersalah pada Hima. Ia yakin Hima
masih marah padanya. Ia bertekad dalam diri, ia akan membuat Hima percaya bahwa
ia dan Dirga tidak ada hubungan apa-apa.
Hari yang ditunggu-tunggu Kartika akhirnya datang juga. Hari ini Kartika
izin tidak mengikuti pelajaran. Ia bersama teman-teman yang lain berangkat
menuju tempat kompetisi basket, SMA Negri 77 Jakarta, menggunakan bis pribadi
sekolah.
Sampai disana seluruh bangku penonton diisi oleh siswa-siswi SMAN 77,
ternyata Kartika dan kawan-kawan akan memperebutkan tiket semifinal dengan
pribumi. Awalnya Kartika dan kawan-kawan sempat ciut, karena SMAN 77 banyak
yang mendukung, sementara SMA Azka Julian tak ada satupun. Namun Pak Debi terus
memberi semangat kepada anak asuhnya. Dan nyali Kartika dan kawan-kawan tidak
ciut lagi.
Pertandingan dimulai. Banyak serangan dari SMAN 77. Namun SMA Azka Julian mampu
untuk mematahkan serangan yang bertubi-tubi itu. Sampai babak kedua berakhir
SMAN 77 mengungguli SMA Azka Julian. Tak apa permainan belum selesai, masih banyak
waktu untuk mengubah keadaan.
Di pertengahan babak ketiga Anjelli mengalami kram. Ia harus ditandu ke luar
lapangan. Pak Debi pun mengutus Kartika untuk menggantikan Anjelli. Kartika
terkenal dengan lemparan dan penangkapan umpan yang jarang sekali meleset
maupun direbut tim lawan. Ia tidak banyak mencetak point. Akhirnya keadaan pun
berubah diakhir babak ketiga SMA Azka Julian mampu mengungguli SMAN 77. Dan keadaan
itu mampu di pertahankan sampai babak keempat berakhir. Dan skor akhirnya
71-66. Dimenangkan oleh SMA Azka. Kemenangan ini belum berarti apa-apa.
Karna masih ada semifinal dan final yang harus mereka lalui.
Menuju semifinal masih satu minggu lagi. Mereka masih harus berlatih untuk
bisa lolos ke final. Tidak ada latihan tambahan. Latihan tetap dilakuan tiga
kali dalam seminggu. Pak Debi tidak menginginkan tim asuhannya dibebankan
dengan keharusan untuk menang. Pak Debi hanya ingin anak asuhnya menunjukkan permainan
yang terbaik.
Sejak kejadian pagi itu, terlihat jelas Hima agak jaga jarak pada Kartika.
Ia hanya berbicara seperlunya kepada Kartika. Kartika mengerti mengapa Hima
bisa berubah sikap padanya. Kartika selalu berusaha agar Hima bisa
memaafkannya. Ia terus mendekati Hima. Walaupun setiap Hima ia dekati, Hima
selalu menghindar.
Hari ini Kartika tidak ada jadwal latihan basket. Ia bisa pulang lebih
awal. Ketika ia dan teman-temannya melewati parkiran, pada saat yang sama Dirga
juga akan pulang dengan motor ninjanya.
“Ma, kaki lo sakit, ya?” ucap Kartika tiba-tiba. Dirga tidak
menghiraukannya.
Hima tidak mengerti apa yang diucapkan Kartika. Ia memandang Kartika penuh
tanya. Kartika mengedipkan matanya ke arah Hima. Dan ia pun semakin tidak
mengerti.
“Gimana kalo Dirga anterin pulang?”
“Bener juga, tuh.” tambah Winda.
“Kenapa harus gue? Disini banyak orang. Minta aja bantuan mereka!”
“Kan lo yang paling deket.” ucap Kartika.
“Gue enggak mau.”
“Ih, kok Kakak gitu, sih. Ada cewek yang kakinya kesakitan, Kakak enggak
peduli sama sekali. kakak enggak kasian sama Hima?” ucap Milly.
“Enggak nyangka. Ternyata Kak Dirga kayak gini.” Winda menambahkan.
“Iya. Iya. Lo gue anterin pulang.” Dirga pun menyerah. “Cepetan naik!
Waktu gue bukan cuma untuk anterin lo pulang.”
Hima pun tersenyum. Kini ia mengerti mengapa tiba-tiba Kartika melakukan
hal itu. Hima pun segera naik ke atas motor Dirga dengan perlahan. Dan Dirga
segera melaju.
“Pinter juga kamu, Ika” puji Milly.
Tiba-tiba ponsel Kartika berdering. Sebuah pesan singkat baru saja masuk.
Pesan singkat itu berasal dari Hima.
Aku percaya sama kamu.
Kartika pun tersenyum dan sekarang ia dapat bernapas lega kembali. Tak ada
salah paham antara dia dan Hima lagi. Dan sejak kejadian itu sikap Hima berubah
kembali terhadap Kartika. Ia menjadi ramah kembali terhadap Kartika. Bersenda
gurau bersama lagi. Bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Perjuangan tim basket putri untuk mendapatkan tiket menuju final memang
sangat berat. Lawan mereka adalah SMU Lotus Mareta, musuh bebuyutan dari SMA
Azka Julian. Setiap kali kedua sekolah ini bertanding, SMA Azka Julian selalu yang
mengalami kekalahan. Dari sembilan kali bertanding, SMA Azka Julian belum pernah
menang sekalipun. Namun kali ini SMA Azka Julian membuat sejarah baru. Pada babak
semifinal SMA Azka Julian berhasil mengalahkan SMU Lotus Mareta. Dengan point 62-59.
Sungguh luar biasa. Ini sangat membaenggakan bagi SMA Azka Julian. Tak hanya mereka
berhasil mengalahkan SMU Lotus Mareta, tapi mereka juga berhasil mendapatkan tiket
menuju final.
Di final SMA Azka Julian akan berhadapan dengan SMU Garuda 14. Mereka sudah
empat tahun berturut-turut memenangkan kompetisi basket putri se-Jakarta. Namun
kenyataan itu tak menyurutkan nyali Kartika dan kawan-kawan. Mereka tetap
berharap bisa membawa pulang piala ‘Kompetisi Basket Putri se-Jakarta’.
Ternyata harapan semua siswa-siswi SMA Azka Julian terkabul. Meskipun dari awal
SMU Garuda 14 berhasil unggul, namun SMA Azka Julian berhasil mengejar
ketertinggalan di detik-detik terakhir. Ini semua tak lepas dari doa semua
keluarga besar SMA Azka Julian.
Walaupun selisih point yang begitu dekat, 61-60. Dan dengan selisih satu
point itu, berhasil mengantarkan SMA Azka Julian ke kompetisi nasional.
Pada kompetisi nasional SMA Azka Julian hanya menjadi runner up kedua. Tapi itu
sudah sangat membaenggakan bagi SMA Azka Julian. Belum pernah sekalipun SMA Azka Julian mengikuti ajang bergengsi itu. Pernah beberapa kali tim basket putra
memenangkan kompetisi itu.
Seluruh siswa SMA Azka Julian sangat bangga atas torehan prestasi dari
anak-anak basket, khususnya Kartika. Akhirnya keinginannya terkabul. Ia dapat
mengharumkan nama sekolah dengan prestasinya. Sebuah kebahagiaan yang tak dapat
dilukiskan.
BERSAMBUNG - - - -
Tags:
Kisah