3 tahun untuk selamanya [Part 7]

 Holiday at Jogja

Setelah pertandingan usai, semua pemain SMA Azka Julian masuk ke ruang ganti. Sambil beberapa pemain melepas penat dan dahaga Pak Debi memberi selamat kepada seluruh pemain atas kemenangan hari ini. Pak Debi juga memberi sedikit komentar akan pertandingan tadi. “Bapak sangat puas akan permainan kalian. Permainan kalian semakin bagus di setiap pertandingan. Dan ini adalah permaninan kalian yang paling baik yang pernah Bapak lihat. Terus pertahankan, tingkatkan lagi kekompakannya. Terima kasih atas perjuangan kalian hari ini.”
“Iya, Pak.” jawab seluruh pemain serentak. Kemudian Pak Debi keluar dari ruang ganti. Sebelum keluar Pak Debi memanggil Dirga untuk sedikit berbincang tentang pertandingan hari ini.
“Lo liat Dirga pas pertandingan tadi, enggak?” tanya Fathan pada Evan saat mereka sampai di basecamp mereka.
Evan sedikit meneliti wajah Fathan dengan heran. “Lo sakit?”
“Eh, ini anak. Gue tanya apa, jawabnya apa,”
“Lo beneran sakit. Tadi kan Dirga maen bareng sama kita. Dirga yang segede pohon kelapa, Lo enggak liat?”
“Bukan itu maksud gue,” Fathan meninggikan satu oktaf nada suaranya. “Lo enggak liat gerak-gerik Dirga yang aneh?”
“Aneh apanya?” Evan semakin heran. “Perasaan Dirga biasa-biasa, kok. Dimana-mana maen basket kan gitu. Malah dia banyak cetak poin dari biasanya. Lo beneran sakit, Than.”
“Maksud gue,” Fathan mulai menjelaskan sejelas-jelasnya pada Evan dengan berusaha menahan marah. “Sebelum pertandingan, Dirga selalu curi-curi pandang liatin Kartika.”
“Oh, itu maksud lo,” Evan mengingat-ngingat sejenak. “Gue enggak perhatiin, tuh.”
“Ok. Enggak penting lo liat atau enggak. Tapi menurut gue, Dirga mulai suka sama Kartika.”
Evan luar biasanya kagetnya. Sampai-sampai air yang diminumnya muncrat, karna di saat yang bersamaan ketika Fathan mengucapkan hal itu, Evan sedang minum. “Uhuk… huk,” Evan masih memasang wajah terkejut. “Lo enggak salah ngomong?”
“Itu kan menurut gue. Selain bukti yang tadi, akhir-akhir ini juga mereka kan lagi deket.”
“Tapi kan Lo enggak bisa ambil kesimpulan kayak gitu.” Evan mulai meredam kagetnya dan serius menanggapi Fathan. “Banyak cewek yang suka Dirga, kenapa harus Kartika? Cewek yang gue denger sih enggak pinter, galak, enggak cantik, dan jauh banget kalo dibandingin sama cewek yang ngantri pengen dapetin Dirga.”
“Kartika enggak jelak-jelek amat, kok. Tinggal didandanin dikit, pasti lebih cantik dari cewek-cewek itu. Lo liat kan waktu Kartika dateng ke pesta ulang tahunnya Dirga? Gue akui dia memang cantik, dengan dandanan sederhananya.”
“Gue akui juga, saat itu dia cantik. Tapi hal itu hanya sementara. Cewek tomboy gitu, mana mau sering-sering dandan?”
“Kalo gitu kita buktiin,” tantang Fathan.
“Buktiin apa?”
“Lo ikuti aja semua yang gue suruh.” Evan pun mengangguk, namun ia masih belum mengerti apa yang akan dibuktikan oleh Fathan. Tak lama kemudian Dirga datang. Fathan pun memulai aksinya.
“Van, Lo tahu cewek yang namanya Kartika, enggak?” kata Fathan sambil mengedipkan matanya. Mendengar nama Kartika disebut, Dirga sedikit menguping pembicaraan Fathan dan Evan.
“Gue tahu.”
“Menurut lo dia gimana?” kata Fathan lagi.
“Lumayan cantik. Kalo dipoles dikit, enggak jauh dari mantan-mantan gue, deh.”
“Menurut lo. Gue cocok enggak sama Kartika?,”
“Lo sama Kartika?”
“Jangan samakan Kartika dengan mantan-mantan lo,” Dirga ambil bicara. “Dia cewek baik-baik.”
“Biasanya lo anteng-anteng aja kalo gue nyari cewek baru.”
“Kartika terlalu polos jika Lo jadikan cewek lo yang ke sekian.”
“Lo suka sama Kartika?” tanya Evan tiba-tiba.
“Gue enggak ngerti maksud lo.”
“Lo enggak pernah seperhatian ini sama cewek manapun,” Fathan membenarkan ucapan Evan. “Tapi sama Kartika lo beda. Gue bisa liat dari tatapan lo sama dia.”
“Gue yang tahu perasaan gue sendiri,” Dirga sedikit meninggikan suaranya. “Dan gue enggak ada perasaan apa-apa sama Kartika.” Dirga pun segera mengemasi barangnya dan pergi.
“Kalo gitu, gue enggak perlu merasa bersalah sama lo kalo gue bisa dapetin Kartika.” ucap Fathan. Langkah Dirga terhenti dia ambang pintu.
Fathan enggak penah main-main dengan ucapannya. Kalo ia sampai benar-benar menjadikan Kartika pacarnya? Hah, mikir apa gue? Dirga pun segera bergegas pergi.
“Benar kan yang gue bilang?” kata Fathan setelah Dirga pergi cukup jauh.
“Benar apanya? Orangnya aja bilang kagak.”
“Evan,” Fathan mulai geram menghadapi temannya yang satu ini. “Udah berapa lama sih kita temenan?”
“Hhmm…” Evan mengingat-ngingat. “Bentar, bentar. Gue tahu. Eu… berapa lama, ya?”
“Kita udah 13 tahun temenan.”
“Lama juga, ya. Terus apa hubungannya?”
“So, lo tahu kan gimana sifat-sifat sahabat lo?”
“Tahu,” jawab Evan singkat.
“Dan lo juga tahu kan gimana sifatnya Dirga?”
“Dan gue makin enggak ngerti apa yang lo bicarain.”
“Ngomong sama lo selalu bikin gue darah tinggi,” Fathan memalingkan wajahnya dan mengemasi semua barangnya.
“Dan intinya?”
“Ikuti aturan main gue!” Fathan pun pergi. Sementara Evan masih belum mengerti apa yang Fathan maksudkan.

***

Pagi-pagi sekali Kartika dibangunkan oleh handphone-nya yang berdering. Padahal ia baru saja bermimpi menjadi sorang pemain basket profesional. Wajahnya sering muncul di media cetak maupun elektronik. Dan kini ia sedang diwawancarai karna timnya telah memenangkan kompetisi basket se-dunia. Dan mimpi yang sangat sulit dijumpai itupun sirna karna bunyi handphone yang tepat di telinganya.
“Aduh…” Kartika merengut. “Siapa sih yang telepon pagi-pagi? Ganggu aja!”
Dengan malas Kartika bangun dan mengangkat handphone-nya. Kebetulan mulai hari ini sampai empat hari kedepan SMA Azka Julian diliburkan karna ada hari nasional yang kejepit. Niatnya hari ini ia mau bangun siang. Gara-gara ada telepon enggak ada kerjaan itu, ia terpaksa harus membatalkan niatnya.
“Hallo… Ini siapa?” sapanya dengan mata yang masih terpejam. “Ha…”
“Kal, ada kabar buruk,”
“Kabar buruk?” tanyanya heran, walau masih tidak peduli.
“Dirga kecelakaan.”
“Hah?” Kartika terperanjat dari tidurnya. Bagai baru saja disambar petir. Kartika terkejut luar biasa. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi. Mendadak bibirnya diam seribu bahasa.
“Gue di depan rumah lo sekarang. Kalo lo masih mau ketemu Dirga untuk terakhir kalinya, cepetan keluar! Kita pergi sekarang!”
“Ta… tapi,” Orang misterius itupun menutup teleponnya.
Kini tinggal Kartika yang kebingungan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Semua rasa campur aduk. Kemudian ia pergi mengambil jaketnya, lalu ia bergegas keluar kamar dengan handphone yang masih di tangannya. Tanpa ia sadari, ia masih memakai baju tidur.
Kakaknya yang sedang membuat sarapan, heran melihat sikap adiknya. Biasanya pagi di hari libur Kartika belum bangun. Dan tidak pernah pergi keluar tanpa sarapan dan masih memakai baju tidur, perginya pun dengan lari-lari. Sungguh aneh!
“Ika, kamu kenapa?” tanya Kakaknya. Kartika tidak menjawab. Adnan pun semakin heran. Kemudian ia kejar Kartika. Sampai di pintu gerbang, ternyata Kartika sudah pergi dengan mobil sedan merah menyala.
“Dia kenapa?” Adnan semakin bingung. Kemudian ia menghubungi ponsel Kartika. Tak ada jawaban. Tak lama kemudian Kartika membalasnya dengan pesan singkat yang cukup mengurangi kekhawatiran Adnan.

Aku pergi ke rumah temen. Ada temen aku yang kecelakaan. Kakak enggak usah khawatirin aku.

Sampailah mobil yang dikemudikan Evan di halaman rumah Dirga. Turun dari mobil Evan, Kartika langsung berlari ke depan pintu rumah Dirga. Dengan tidak sabar ia ketuk pintu rumah Dirga dengan keras. Dengan hati yang masih diliputi rasa khawatir, Kartika mondar-mandir tak keruan di depan pintu.
Sampai pintu besar itu dibuka oleh seorang pembantu, ia segera berlari masuk ke dalam tanpa dipersilahkan sebelumnya. Pembantu itu sendiri heran, meskipun Kartika sering datang ke rumah majikannya itu, tapi belum pernah Kartika datang dengan tergesa-gesa seperti. Kemudian ia menatap pada Evan, Evan hanya mengangguk dan tersenyum.
“Silahkan masuk, Mas!”
Kartika masih terburu-buru berlari menaiki tangga. Evan hanya tersenyum geli sambil menyakukan kedua tangannya melihat kelakuan Kartika.
Tanpa pikir panjang, Kartika segera membuka pintu kamar Dirga. Dan apa yang didapatinya… Dirga sedang berganti pakaian. Kartika segera membalikkan tubuhnya sambil menutup mata. “Gur enggak liat apa-apa,” Kemudian ia keluar dari kamar Dirga dengan wajah memerah.
“Kenapa keluar lagi?” tanya Evan.
“Aku enggak liat apa-apa.” jawab Kartika setengah tak sadar.
“Maksud lo?” tanya Evan jadi heran.
Ting…
Kartika mencium sesuatu yang aneh. Kemudian ia memandang sinis pada Evan dan memukul Evan secara tiba-tiba.
“Kak Evan bohong, ya?”
“Bohong apa?”—pura-pura enggak tahu.
“Jujur sama aku!” Kartika mulai marah pada Evan. “Punya rencana apa Kakak bohongin aku?”
Belum sempat Evan menjawab, Dirga sudah keluar kamar—tentunya sudah memakai pakaian. Nampaknya Kartika akan kena marah.
“Lo enggak pernah diajarin tata krama?”
Kartika hanya tertunduk. “Maaf.”
“Lo punya tangan kan buat ketuk pintu kamar orang?”
“Aku kan udah minta maaf,” Kartika jadi nyolot. “Tapi kalo mau salahin orang, salahin Kak Evan. Dia yang buat aku kayak gini.”
Dirga menatap tajam pada Evan. “Ngomong apa lo sama ini anak?”
“Gue enggak ngomong apa-apa,”
“Bohong,” sanggah Kartika. “Kak Evan bilang lo kecelakaan. Gue kira benaran, gue udah khawatir. Bangun tidur langsung kesini. Ternyata gue cuma dikerjain.”
“Lo khawatir sama gue sampe segitunya?”
Nah, lho! Apa yang harus ia jawab? Ia sendiri jadi bingung. Kalau dipikir-pikir, kenapa juga ia bisa sekhawatir ini pada Dirga?
“Gu.....gue” Kartika mencoba mencari alasan. “Gue cuma khawatir sama Chika dan Bu Sinta aja. Takutnya mereka kenapa-kenapa lo kecelakaan.”
“Bener?” Dirga mendekatkan wajahnya ke wajah Kartika. “ Kok gugup, sih?”
“Gu....gue enggak bohong.”
“Lo sendiri ngapain ke rumah gue?” tanya Dirga pada Evan.
“Gue sama Fathan mau ngajak lo liburan. Bentar lagi dia juga dateng.”
“Dan buat apa lo bawa ini anak?” Matanya menunjukkan pada Kartika.
“Liburan juga,”
“Liburan?” Seperti ada bom yang meledak dalam kepalanya mendengar ucapan Evan. “Liburan apa? Sejak kapan aku setuju diajak liburan bareng kalian? Tapi kalo gini caranya, kalian bukan ngajak aku liburan tapi niat culik aku.”
“Culik lo?” Dirga menyerngitkan dahi. “Apa yang bisa diharapkan dari lo? Cantik kagak. Dijual juga… paling cuma buat nombokin uang makan. Minta tebusan? Apa yang mau diminta? Penjahat manapun akan rugi kalo culik lo.”
“Ya udah. Gue pulang aja.” Kartika hendak pulang, namun dihalangi oleh Evan.
“Lo enggak bisa pergi gitu aja, dong.”
“Kenapa enggak?”
“Lo apa-apaan sih, Van? Biarin aja dia pulang. Enggak penting juga, kan?”
“Kata Pak Bos juga aku enggak penting. Jadi buat apa masih disini?”
“Jangan gitu lah, Ga.” Evan menghampiri Dirga. “Tiap liburan kan lo selalu enggak ada temen? Sementara gue dan Fathan asyik pacaran. Apa lo enggak bosen? Kalo Kartika ikut lo jadi punya temen. Kalian kan akur banget.”
“Akur dari Hongkong?” sanggah Kartika lagi. “Aku tetep enggak mau ikut.”
“Lo ada di rumah gue. Ikuti semua aturan gue. Kita pergi liburan.” Evan pun tersenyum. Rencananya dan Fathan berjalan sempurna.
Sebelum pergi, Dirga menyuruh Kartika untuk mandi. Karna tidak mungkin pergi liburan tanpa mandi dan dandanan kucel seperti itu. Awalnya Kartika menolak. Mana pernah sih ia mandi di rumah orang? Namun semakin Kartika menolak, Dirga semakin memaksanya. Akhirnya Kartika pun mau tidak mau menyetujuinya.
Tak lama kemudian Fathan pun datang.
Di dalam mobil yang dikemudikan Dirga, Kartika masih murung.
“Apa sesuatu yang lo mau harus dipaksakan seperti ini?” tanya Kartika tiba-tiba.
“Dari kecil gue selalu mendapatkan apapun yang gue mau. Bagaimanapun caranya.”
“Tapi itukan namanya egois,”
“Hanya dengan egois, kita bisa mendapatkan yang kita mau.”
Kartika hanya mengangguk-nggaguk saja. Walau hati masih kesal kepada Dirga. Tapi ia sadar, sejak kecil Dirga sudah dibesarkan di lingkungan keluarga yang berada, jadi wajar kalau ia selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan. Tidak seperti dirinya, kalau ingin sesuatu yang diinginkan ia harus rela mengorkankan celengannya.
Kadang hidup ini enggak adil, pikir Kartika. Kenapa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan segalanya? Sedangkan orang miskin harus berusaha sekuat tenaga hanya untuk sesuap nasi. Tidak hanya itu, orang kaya juga sering menjadikan orang-orang miskin sebagai korban untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Misalnya saja, beberapa wakil rakyat ada yang korupsi uang rakyat, sangat jelas itu berpengaruh sekali pada rakyat. Kesejahteraan rakyat jadi tak terpenuhi.
Duh, kok aku jadi mikir ini, sih? Kartika mengeleng-geleng kepalanya. “Astaga!” ucap Kartika tiba-tiba.
“Kenapa?” tanya Dirga ketus tapi peduli.
“Gue belum kasih tahu Kakak gue”
“Telepon aja. Susah amat.”
“Emangnya kita mau liburan kemana?”
“Jogja,”
“Kenapa enggak sekalian lo culik gue ke Mars?”
“Tadinya sih mau, cuma tiket roketnya belum ada.”
Tak perlu tanggapi orang sombong ini. “Terus gue harus bilang apa sama Kak Adnan?”
“Pergi liburan ke Jogja bareng gue,”
“Enggak bisa gitu, dong. Kak Adnan pasti enggak akan kasih izin kalo gue pergi jauh bareng cowok.”
“Disana udah ada pacar-pacarnya Evan dan Fathan.”
“Gue kan enggak kenal mereka,”
“Bilang aja, pergi liburan ke Jogja bareng temen-temen SMP.”
Ide Dirga bagus juga. Cukup untuk membuat hati Kak Adnan tenang. Tapi itu kan bohong? Jujur saja, Kartika tidak terbiasa bohong pada Kakaknya itu. Tapi mau gimana lagi? Ia sudah setengah jalan. Dengan terpaksa ia pun memakai alasan bohong itu.
Hatinya agak tenang setelah menghubungi Kakaknya, walau sedikit merasa bersalah.
Tiba-tiba mobil Dirga, Evan, dan Fathan menepi di depan sebuah mall yang masih tutup. Namun di depannya sudah berdiri seorang berjas rapi menanti kedatangan Dirga dan teman-temannya.
“Selamat pagi, Tuan Muda!” sapanya, kemudian ia mengangguk hormat pada Dirga. Kemudian Dirga dan Kartika dipersilahkan masuk. Sampai disana hanya ada belasan pelayan, Si Pria berjas itu, Dirga dan juga Kartika. Tak ada satu pun pengunjung yang datang.
Mall gede gini kok enggak ada pengunjungnya, sih? Atau mungkin bukanya kepagian? pikir Kartika.
Dirga langsung menarik Kartika ke toko pakaian wanita. Ia pun memilihkan pakian-pakaian yang cocok untuk Kartika. Cukup untuk pakaian yang akan dibawa Kartika ke Jogja. Dirga membiarkan Kartika memilih sendiri pakaian dalam dan untuk polesan akhir, Dirga memakaikan Kartika topi dan kacamata.
Selesai mendandani Kartika, semua pergi makan di tempat yang sudah dipesan Evan sebelumnya. Makanan yang disajikan adalah makanan breakfast. Semua memang belum sempat sarapan.
Banyak hidangan yang disediakan di atas meja. Kartika yang terkenal rakus, makannya paling banyak. Sampai-sampai membuat ngeri yang melihatnya. Meskipun tak semua makanan ia jejalkan pada lambungnya, tapi itu sudah cukup membuatnya kekenyangan.
Rencana Evan dan Fathan memang dibuat begitu matang. Jauh-jauh hari mereka sudah memesan tiket pesawat menuju Jogja. Lama perjalanan pun dapat dipersingkat.
Jogja, I’m coming!
Karna bangun kepagian di hari libur, Kartika pun tertidur dalam pesawat. Juga malam kemarinnya ia tak bisa tidur. Mungkin tanda-tanda akan terjadi suatu yang buruk hari ini. Ditambah makan yang banyak, membuatnya mengantuk berat.
Sampailah di bandara Adi Sutjipto. Selesai pengecekan seluruh dokumen kedatangan dan seluruh barang bawaan, semua bergegas menuju parkiran. Ternyata disana sudah ada dua orang wanita cantik berdiri di depan tiga buah mobil menyambut kedatangan Dirga dan teman-temannya.

***

Tiga buah mobil itu segera melaju menuju Monumen Jogja Kembali. Puas berfoto-foto disana, perjalanan dilajutkan ke Museum Keraton Yogyakarta. Banyak sekali benda-benda kuno dan bersejarah khas kota Jogja. Ada juga beberapa foto keluarga kerajaan dan susunan keluarga.
Ketika Kartika tengah asyik melihat-lihat susunan keluarga kesultanan, Dirga menghampirinya dan sedikit mengagetkannya.

“Asyik bener liat foto-fotonya,” ucap Dirga sambil mencolek kuping Kartika.
“Ngagetin aja!”
 “Bangunannya keren, ya?” ucap Dirga lagi. “Kalo dibandingan hotel-hotel bintang lima di Jakarta, masih lebih keren keraton ini. Ya, meskipun corak dan bentuknya jadul.”
“Ya, jelas keren, lah. Namanya juga bangunan bekas kerajaan. Bangunan jaman dulu kan lebih bagus dari sekarang.”
“Dulu…” Dirga mulai bercerita. “Waktu gue dan keluarga pertama kali datang ke Jogja dan mengunjungi museum ini, gue pernah minta bokap gue buat beliin keraton ini untuk gue.”
“Lo gila? Masak mau beli keraton? Ini kan milik pemerintah.”



 Namanya juga pikiran anak kecil.” Dirga mulai beraca-kaca. “Bangunan ini keren banget, pikir gue saat itu. Gue mau jadiin ini rumah gue bersama istri dan anak-anak gue.”
“Kenapa nangis?” Kartika memberikan saputangannya pada Dirga.
“Enggak usah.” Dirga menolaknya dan mengucek matanya dengan punggung tangan. “Tiap inget kejadian itu, selalu bikin gue sedih. Itu adalah kali terakhir gue liburan sama keluarga gue.”
“Kenapa gitu?”
“Waktu di hotel, Papa tiba-tiba kena serangan jantung,” Dirga curhat. “Dan nyawanya tak dapat ditolong. Dan sejak saat itu gue bener-bener kehilangan bokap gue. Dia adalah orang pertama yang gue sayang. Meskipun dia selalu sibuk dengan kejaannya, tapi dia selalu luangkan waktu buat gue. Di saat yang bersamaan nyokap gue juga ninggalin gue dan Chika.”
“Dan sejak saat itu juga lo marah sama Mama lo?”
“Siapa yang enggak akan marah ketika baru aja kehilangan, lalu ditinggalkan gitu aja?”
“Mungkin saat itu, gue akan melakukan hal yang sama. Gue butuh waktu untuk menerima itu semua. Bahkan gue kehilangan kedua orang tua gue untuk selama-lamanya di saat yang sama. Butuh waktu satu tahun lebih gue dapat menerima itu semua. Tapi Kak Adnan selalu ada buat support gue, dan gue pun dapat menerima kenyataan.”
“Di saat terpuruk lo masih mempunyai Kakak lo. Gue?”
“Lo punya Chika yang selalu sayang sama lo,”
“Gue butuh yang lebih dari itu,”
“Dari Mama lo?”
Dirga terdiam. Dalam hatinya, ia membenarkan perkataan Kartika. Saat Papanya meninggal, ia sangat butuh dukungan dan kasih sayang ibunya. Namun hal itu sangat bertolak belakang dengan kenyataanya. Dari detik itu sampai sekarang, ia merasa belum pernah mendapatkan kasih sayang ibunya. Dan tanpa sentuhan kasih sayang itu, kini hatinya telah membatu.
“Andai lo mau sedikit meluangkan waktu untuk bicara dengan Mama lo, dan sedikit membuka hati, lo pasti akan mendapatkan kasih sayang itu.”
“Terlambat,”
“Enggak pernah ada kata terlambat untuk mendapatkan yang kita inginkan.”
“Gue udah enggak butuh nyokap gue lagi.”
“Tapi…” kata-kata Kartika terpotong ketika Evan datang.
“Pulang, yuk!” ajak Evan.
Kartika pun mengangguk. Ia mengikuti langkah Dirga dan Evan yang sudah jalan duluan. Padahal ia masih ingin berlama-lama dengan Dirga. Ia masih ingin bicara panjang lebar dengan Dirga. Kalau begini kan, pembicaraan mereka jadi buntu.
Sebelum ke penginapan, semua mampir di Malioboro untuk makan. Disana ada sebuah restaurant yang cukup terkenal dan mewah yang menyajikan makanan khas Jogja. Makanan yang disajikan kali ini pun lebih banyak dari yang tadi pagi. Dan meskipun sarapan tadi pagi belum dikeluarkan, Kartika masih mampu menjejalkan banyak makanan di lambungnya.
Baiknya gadis ABG seperti dia memikirkan tentang berat badan. ABG zaman sekarang kan, gemuk sedikit sudah diet ketat. Namun berbeda dengan Kartika, dia sama sekali tidak pernah memperhatikan penampilannya. Dan tidak pernah mau peduli apa kata orang. Tapi sebanyak apapun dia makan, dia tidak pernah menunjukkan perbahan besar pada berat badannya.
Selesai makan di restahurant yang ternyata milik Pamannya Fathan. Semua pergi ke sebuah villa megah, jauh dari keramaian kota Jogja dan sangat nyaman milik keluarga Fathan.
“Disini ada enam kamar dan pas untuk kita,” urai Fathan. “Tiga kamar diatas, sisanya dibawah. Cewek-cewek tidur diatas aja.”
Ketika Kartika sedang bersusah payah menuntun kopernya menaiki tangga. Sejak kapan sih Kartika pergi-pergian pakai koper? Biasanya sih cuma pakai tas jinjing. Nah ini, sekalinya pake koper, jadi repot sendiri. Mana yang bikin ia repot, malah sibuk sendiri. Dirga nyebelin! gerutunya. Tiba-tiba pacar-pacar Evan dan Fathan mengagetkannya dari belakang.
“Lo ceweknya Dirga?” tanya salah seorang dari mereka, Sonia.
“Kakak nanya sama aku?” tanya Kartika balik.
“Gue nanya langit-langit,” jawabya ketus. “Ya, nanya sama lo, lah.”
“Aku… bukan ceweknya Dirga,” Kartika mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Baguslah,” ucap yang satunya lagi, Cathy. “Lagipula mana mau Dirga sama cewek model dia. Kita aja ditolak mentah-mentah.” Mereka pun pergi dan masih memperbincangkan Dirga.
“Pacar Dirga?” Kartika mulai membayangkan ketika ia dan Dirga ‘sayang-sayangan’. “Ih… Jangan sampe, deh!” Ia pun melanjutkan susah payahnya menaikkan kopernya tersebut.
Kartika kedapatan kamar paling pojokdan kecil. Karna kopernya itu, ia jadi tidak sempat memilih-milih kamar. Ia pun mendapatkan sisa dari pilihan pacar-pacar Evan dan Fathan. Tak apalah, yang penting dia dapat kamar.
Hari mulai malam. Matahari sudah terbenam di ufuk barat. Kartika sudah merapikan seluruh barang bawaanya. Baru saja ia merebahkan diri di kasur—melepas penat seharian—tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Ika, lo udah tidur?” sapanya ramah. Ini pasti bukan Dirga, pikir Kartika. Mana pernah Dirga seramah ini?
“Belum,” Kartika perlahan membuka pintu. Dihadapannya sudah ada Fathan. “Ada apa, Kak?”
“Kita jalan, yuk!” ajak Fathan.
“Ini kan udah malem?” Kartika melihat jam tangannya. “Udah jam 21:00.”
“Kalo di Jogja, jam segini masih sore,”
“Enggak, ah. Aku enggak akan ikut. Aku cape jalan seharian.”
“Kalo lo enggak ikut, lo akan sendiri di rumah ini.”
“Kalo aku sendiri emangnya kenapa gitu?”
“Villa ini agak angker,” ucap Fathan sedikit berbisik.
Mendengar ucapan Fathan, Kartika sedikit takut. Bulu kunuknya pun mendadak berdiri. Ia jadi inget waktu dikerjai oleh Gina cs. “Masak sih, Kak?”
“Kalo lo enggak percaya, nanti malem jam 24:00, akan keluar makhluk gaib dari dalem kolam. Balkon lo kan pas banget langsung ke kolam.” ucapan Fathan semakin membuat Kartika takut.
“Kakak jangan buat aku takut, deh.”
“Aku serius.”
“Emangnya kalian mau pulang jam berapa?”
“Malem banget, deh! Kalo lo enggak ikut, lo bakalan terus diganggu sama makhluk gaib itu sampai kita pulang nanti.”
“Ya udah, deh,” Kartika pun menyerah. Takut juga kalau harus tinggal berdua bareng makhluk gaib. “Aku ganti baju dulu, ya!”
“Ok. Kita tunggu di bawah. Cepetan, ya!”
Sedetik kemudian Kartika muncul di ambang pintu. “Kak,” Fathan membalikkan tubuhnya. “Emang dia keluarnya tiap hari?”
Kartika memang mudah sekali dibohongi. Tapi ini adalah sebuah keuntungan bagi Fathan, namun lama-kelamaan keberuntungan ini berubah menjadi rasa kesal. “Iya,”
“Kakak pernah liat?” tanya Kartika lagi.
“Udah tiga kali.”
“Gimana rupanya?” Kartika semakin semangat menanyai Fathan.
“Jelek banget,” ucap Fathan semakin ketus. “Udah. Sekarang lo pergi ganti baju! Yang lain udah nunggu di bawah.” ucap Fathan sambil mendorong Kartika masuk kamarnya.
Tibalah Kartika di sebuah tempat yang sangat asing baginya. Tempatnya penuh kelap-kelip lampu remang-remang. Musiknya yang begitu keras membuat seisi pengunjung berbicara sambil berteriak satu sama lain. Tempat apa sih ini, pikir Kartika.
Sesampainya di ambang pintu, Kartika agak menolak untuk masuk. Tempat ini terlalu aneh untuknya. Namun Fathan menariknya ke kursi panjang yang di depannya sudah tersedia beberapa botol minuman keras.
Evan menuangkan wine itu pada enam gelas. Semua mengangkat gelas yang terisi wine itu dan mengatakan ‘Cheers’. Dan hanya Kartika yang tidak melakukan hal itu.
“Ika, kok enggak diminum?” tanya Evan.
“I… itu minuman keras, ya?” jawab Kartika sedkit risih.
“Kadar alkoholnya rendah, kok.”
“Enggak ah. Makasih.”
“Udahlah. Kalo enggak mau, enggak usah dipaksa,” ucap Dirga.
“Turun, yuk!” ajak Chaty. Semua pun beranjak dari tempat duduknya, kecuali Kartika.
“Aku juga enggak ikutan, deh.”
“Kalo gitu, lo enggak boleh kemana-mana. Kalo ada apa-apa, panggil aja kita disana,” sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang sedang menari tak keruan diiringi musik yang memekakan telinga. Kartika hanya menggangguk.
Lama menunggu, Kartika mulai merasa bosan dan haus. Kemudian ia pergi ke tempat pemesanan minum. Dan memesan air putih.
“Disini tidak disediakan air putih.”
“Kalo maksud Mbak, mau minuman tanpa alkohol. Kami menyediakan soft drink.”
“Soft… drink?”—boleh juga sih, “tapi enggak jadi deh, Mas. Makasih.”
Bartender itu pun mengangguk dan melayani orang di sebelah Kartika. Tiba-tiba datang seorang laki-laki berpenampilan rapi dan nampak ramah. Tinggi, cukup tampan, dan terlihat beberapa tahun lebih tua dari Kartika. Ia duduk di sebelah Kartika.
“Hai!” sapanya ramah. “Aku Raka. Boleh tahu nama kamu?”
Awalnya Kartika agak takut. Ia memperhatikan laki-laki itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setiap kali bertemu orang asing, ia sekalu ingat ucapan Kakaknya, “Jangan mudah bergaul sama orang asing.”
“Apa muka aku tampang orang jahat?” Wajah dan penampilannya sih tidak menampakkan tampang orang jahat. “Jadi, boleh tahu nama kamu?”
Kartika mengulurkan tangan dan menjabat tangan Raka. “Aku Kartika.”
“Nama kamu bagus,”
“Makasih.”
“Lo kesini sendiri?”
“Ah, enggak. Temen-temen aku lagi disana,” sambil menunjuk kerumunan yang ditunjukkan Fathan. Kartika yang masih kehausan, nampak gelisah dan memandangi setiap sudut diskotik itu. Semoga saja ada segelas air putih.
“Kamu kenapa?”
“Aku agak haus. Tapi disini enggak ada air putih.”
“Kamu enggak suka minum?”
Kartika mengangguk malu-malu.
“Baru pertama kesini, ya?”
“Iya,” jawabnya agak malu-malu,
“Ini aku bawa air putih,” Raka menyodorkannya ke arah Kartika.
Kartika tidak segera mengambilnya, ia malah memandangi wajah Raka. Dapatkah ia menaruh kepercayaan pada Raka? Wajahnya sih sama sekali tidak mencurigakan. Lagipula rasa haus yang Kartika rasakan tak dapat ditahan lagi. Perlahan ia pun mengambil botol dari tangan Raka. Walau masih ragu, Kartika meminum air tersebut.
“Makasih,” ucap Kartika sambil mengembalikan botol itu pada Raka.
“Buat kamu aja,”
Beberapa menit kemudian Kartika mulai merasakan pusing hebat. Seakan-akan semua benda yang ada di hadapannya mengeliinginya. Wajah Raka pun mendadak ada lima.
“Mas, kok jadi pusing gini, ya?”
Nampaknya minuman yang Raka berikan bukanlah air putih biasa, melainkan sejenis minuman keras. Walaupun minuman keras itu berkadar alkohol rendah, namun itu sudah membuat Kartika mabuk.
Ketika Raka hendak menggendong Kartika, Dirga datang dan langsung meninju Raka. Seketika itu juga Raka tersungkur. Kartika pun terlepas dari pegangan Raka dan terjatuh ke sudut ruangan. Kemudian ia segera menghampiri Kartika yang tergeletak setengah tak sadar di atas lantai.
“Ika, sadar! Lo kenapa?”
“Hhmm…” Kartika masih setengah sadar. “Ga, kok lo gantengan, ya?”
Ada yang tidak beres. Mulut Kartika bau alkohol. Raka telah memberi Kartika minuman berakohol. Dirga membenahi posisi Kartika. Kemudian ia kembali mengurusi Raka. Ditariknya kerah baju Raka. Lalu ia meninjunya lagi. Mendengar keributan, semua yang ada di diskotik itu mengerumuni Dirga dan Raka.
“Lo apain cewek gue?” teriak Dirga.
“So… sorry, Ga,” jawab Raka tergagap. “Gue enggak tahu kalo dia cewek lo.”
“Lo apain cewek gue?” teriak Dirga semakin keras. Raka pun kena tinjunya lagi.
“Gue cuma kasih minuman doang,”
Dirga meninjunya lagi. “Lo enggak tahu siapa gue? Lo berani macem-macem sama gue?”
“Gue bener-benar minta maaf,” Dirga tak menggubris kata maaf yang diucapkan Raka. Ia pun tak berhenti melayangkan tinjunya pada wajah Raka. Raka pun tak dapat berkata-kata lagi, ia hampir tak sadarkan diri. Wajahnya sudah babak belur.
Kemudian datanglah Evan dan Fathan yang menghentikan Dirga. “Ga, cukup! Sekarang lo urusin Kartika! Biar anak ini kita yang beresin.”
Dirga lupa kalau masih ada Kartika. Karna emosinya yang meledak itu, ia jadi melupakan Kartika yang lebih membutukannya. Ia pun segera menghampiri Kartika dan menggendongnya.
Ketika Dirga hendak membukakan pintu mobil untuk Kartika, tiba-tiba Kartika memegang bahunya dengan keras. Keduanya saling berhadap-hadapan. Awalnya Dirga terkejut, namun kemudian ia meladeni Kartika yang nampaknya akan bicara ngawur padanya.
“Dirga…” Kartika bicara setengah sadar. “Sumpah, lo adalah orang ternyebelin yang pernah gue temui di dunia ini. Tapi gue enggak menyesal pernah kenal lo. Anehnya lagi, tiap gue sama lo, gue selalu merasa nyaman banget.” Senyum lebar pun menghiasi wajah Dirga. Ia baru tahu, meskipun selama ini mereka selalu adu mulut, tapi Kartika selalu merasa senang di sisinya.
Dan tiba-tiba… Kartika memuntahi baju Dirga. Sontak saja Dirga mendorong Kartika. Kening Kartika pun terbentur kaca mobil dan sedikit lecet.
“Aaaa…” rengek Kartika. Ia pun langsung pingsan.
Dirga yang super bersih dimuntahi Kartika, marahnya bukan main. “Kartika…” teriaknya. Untung saja Kartika dalam keadaan mabuk, Dirga pun sedikit memakluminya.
Dirga menggendong Kartika sampai ke kamarnya. Kemudian ia menidurkannya dengan penuh perhatian. Ketika ia hendak mencium kening Kartika, ia baru sadar ternyata kening Kartika terluka bekas terbentur kaca mobil tadi. Ia pun segera mengambil kotak P3K dan mengobati luka Kartika.
Besok paginya, Kartika bangun dalam keadaan yang masih setengah sadar dan kepala yang cenat-cenut. Ia melihat sekeliling, ini kan kamar aku? Kok aku bisa ada disini? Lalu ia mengingat-ngingat kejadian semalam. Ia diajak ke tempat aneh, duduk-duduk, ketemu Raka, Dirga… dan enggak inget lagi. Apa yang terjadi semalam? Ia masih bingung.
Di tengah kebingungannya itu, Kartika masih mampu mencium aroma bubur yang nampaknya lezat. Di samping bubur itu, ada juga segelas susu hangat, dan sepucuk surat untuknya.

Buburnya buat sarapan lo. Susunya buat menetralkan minuman keras yang lo minum semalam. Meskipun enggak enak, harus lo abisin!

“Dirga?”
 “Tapi apa katanya, semalam aku minum?” Kartika masih bingung. “Apa minuman yang dikasih Mas Raka? Ah, mana mungkin? Mas Raka kan keliatannya baik.” Walau masih bingung, Kartika pun menyantap bubur tersebut. “Enak,”
Selesai makan, Kartika turun ke lantai satu dan bergegas menuju dapur. Dan mencuci bekas makannya sendiri. Meskipun ada beberapa orang pelayan, Kartika tidak mau dilayani layaknya ratu di rumah itu. Selagi ia masih bisa melakukannya sendiri, ia tidak akan menyusahkan orang lain. Badannya pun sudah agak enakan dan tidak pusing lagi.
Ketika Kartika sedang mencuci piring, datanglah Dirga. Kartika menghentikan sejenak mencuci piringnya dan memperhatikan gerak-gerik Dirga. Dirga mengambil sebuah cangkir dan sendok kecil, kemudian ia membuka lemari yang berisi botol-botol berbagai minuman, kopi, gula, dan beberapa sachet minuman seduh. Ia mengambil satu sachet cappucino, dan menyeduhnya dengan air panas dari termos.
Ketika hendak keluar dari dapur, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Kartika. “Ngapain lo liatin gue?”
“Aku cuma mau bilang makasih atas perhatian lo. Makasih lo udah buatin gue bubur sama susu.”
“Sama-sama,” jawabnya ketus. “Lain kali jangan repotin gue lagi! Dan satu hal lagi, jangan gampang percaya sama orang yang baru Lo kenal!”
Muncul lagi deh juteknya. Kartika hanya mengangguk-ngangguk. Ini semua kan berawal dari Dirga juga. Kalau dia tidak mengajak Kartika berlibur, ia tidak perlu repot mengurusi Kartika bila terjadi apa-apa.
Kartika melanjutkan cuci piringnya, namun Dirga masih dia di tempat. Ia malah senyum-senyum sendiri. Kartika jadi ngeri melihatnya. Selesai mencuci piring, Kartika iseng menanyakannya pada Dirga. “Lo kenapa?”
“Gue cuma lagi inget perkataan lo semalem pas mabok,”
Kartika mengingat-ngingat kejadian semalam. Ia sama sekali tidak ingat apa yang dikatakannya pada Dirga. Sekilas dalam ingatannya, ia memang sempat bicara panjang lebar dengan Dirga. Tapi apa yang dibicarakannya?
“Emang semalem gue ngomong apa?”
“Enggak penting juga, sih.” Dirga pun berjalan menuju meja, dan duduk di salah satu kursinya.
Kartika berusaha mengejarnya. Ia harus tahu apa yang ia ucapkan pada Dirga semalam. Bagaimana kalau ia bicara yang aneh-aneh? “Dirga jangan buat gue penasaran. Please, kasih tahu apa?”
“Kan udah gue bilang enggak penting,”
“Tapi penting buat gue,”
“Emang gue peduli?”
“Ga, jangan gitu, dong! Gue mohon, bilang sama gue.”
Dirga menatap tajam pada Kartika dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Kartika. Membuat Kartika jadi salah tingkah. Sambil menahan grogi, Kartika mencoba tidak melihat mata Dirga.
“Liat mata gue!” Dengan terpaksa Kartika melihat mata Dirga. Jantungnya semakin kencang berdetak, dag dig dug tak keruan. “Lo suka sama gue?”
Jantung Kartika seakan sudah berhenti bekerja, tak ada detak jantungnya lagi. Sekujur badannya pun bergetar. Ucapan Dirga bagai petir yang menyambar ubun-ubunnya. Ia tak mengerti mengapa Dirga bisa berpikiran seperti itu. Dan ia sendiri juga bingung, apa yang harus ia jawab.
“Ng… enggak,” jawabnya ragu, dan mendadak gagap.
“Jujur?” Semakin membuat Kartika tak keruan. Kini sekujur tubuhnya sudah dibanjiri keringat dingin.
“Gu....gue enggak suka sama lo,” Kartika mencoba mengurangi groginya. “Jangan GR lo! Walaupun di dunia ini cowok cuma lo, lebih baik gue enggak nikah-nikah selamanya.”
“Bener?”
“Udahlah,” Kartika mendorong tubuh Dirga. “Omongan lo makin ngaco.” Ia pun pergi dengan tergesa-gesa menuju kamarnya. Sekujur tubuhnya masih gemetar dan berkeringat dingin.
“Lo enggak mau tahu tentang kejadian semalem?” tanya Dirga saat Kartika masih di tangga.
Kartika menghentikan langkahnya. “Enggak.”
“Yakin?” tanya Dirga lagi.
“Yakin,” Kartika pun setengah berlari menuju kamarnya. Meskipun ia masih penasaran, apa yang ia katakan pada Dirga semalam. Tapi yang penting sekarang, ia harus menstabilkan seluruh kerja anggota badannya.
Tak lama kemudian Evan menghampiri Dirga dan menyeruput cappucino milik Dirga yang sudah mulai mendingin.
“Lo apain Kartika?” tanyanya kemudian.
“Enggak. Dia enggak gue apa-apain.”
“Terus kenapa dia lari ketakutan gitu?”
“Abis liat setan kali,” tebak Dirga. Tapi ia tahu sendiri mengapa Kartika begitu. Kartika jadi salah tingkah karna pertanyaannya tadi.
“Setannya Lo,”
Kalau seperti biasa, setiap kali diejek atau disindir Evan mapun Fathan, Dirga selalu marah atau jadi ketus, kali ini ia berbeda. Ia malah jadi senyum-senyum sendiri lagi. Jadi buat Evan merinding.
“Wah, kalian berdua kesambet! Ihh…” Evan pun pergi.

***

Pikiran Kartika masih tak keruan. Badannya pun masih gemetar. Walau ia sudah cuci kepalanya dengan sampo dan mencuci sekujur tubuhnya dengan sabun. Kini badannya terasa lemas. Selesai mengganti baju dan mengeringkan rambutnya, ia merebahkan diri dai atas tempat tidurnya.
Belum lima menit ia terlelap, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terjadi lagi. Kenapa sih orang hobby banget ganggu yang mau tidur? Dengan malas Kartika beranjak dan membukakan pintu.
“Kak Evan?” Dilihatnya Evan sedang bersandar pada dinding sambil melipat tangannya. “Ada apa, Kak?”
“Gimana keadaan lo? Udah baikan?”
“Lumayan,”
“Kalo gitu… lo mau ikut jalan, enggak?”
“Ke tempat yang kemaren? Enggak, deh. Aku di rumah aja.”
“Bukan,” sanggah Evan. “Kita mau ke pantai. Ikut, ya?” Kartika masih menimbang-nimbang. “Ikut aja, biar badan lo jadi lebih fresh.”
“Ya udah, aku siap-siap dulu, ya!”
“Ok. Kita tunggu di bawah, ya!”
Tujuan hari ini adalah khusus pantai yang ada di Jogja. Tujuan pertama adalah Pantai Baron dan Kukup. Perjalanan dari villa Dirga menuju Pantai Baron dan Kukup cukup memakan waktu. Meskipun akhir pekan, namun jalan tidak begitu macet.
Sampailah di pantai yang menjadi salah satu daya tarik kota Jogja. Banyak wisatawan yang datang untuk menikmati indahnya pantai pada siang hari ini, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Matahari yang cukup menyengat pada hari ini. Banyak diantara wisatawan asing yang berjemur di pinggir pantai. Berjalan di atas pasir putih yang lembut tanpa alas kaki sungguh mengasikkan. Perjalanan dipimpin oleh Dirga. Kartika yang ada di belakangnya hanya diam saja sambil lirik kanan lirik kiri memperhatikan aktivitas semua orang di pantai pada hari itu. Selain yang berjemur, ada juga yang berjualan, berenang, berselancar, dan banyak anak yang membuat istana pasir. Evan dan Fathan malah asyik pacaran dengan Chaty dan Sonia.
Lama Kartika dan Dirga berjalan, tanpa mereka sadari, keduanya telah ditinggal Evan dan Fathan.
“Ga,” Kartika menepuk-nepuk bahu Dirga. Ia yang pertama kali menyadari telah ditinggal berdua.
“Apa?” Dirga menghentikan langkahnya, namun pandangannya masih lurus ke depan.
“Kak Fathan sama kak Evan enggak ada,”
Dirga membalikkan tubuhnya 180°. Dan ia tidak mendapati kedua sahabatnya berada di belakangnya. Ia pun melanjutkan langkahnya.

“Kok lo diem aja?”
“Terus?”
“Ya, kita nyari, dong! Gimana kalo mereka diculik?”
“Mereka udah gede, Kartika . Mereka juga bisa jaga diri sendiri. Paling juga lagi pacaran,” Mereka pun melanjutkan langkahnya.
Tak ada yang mau membuka pembicaraan. Kartika juga tidak mengoceh. Lama-lama bosan juga. Dirga pun memulai perbincangan. “Cape enggak, jalan terus?”
“Sedikit,”
“Mau enggak sewa sepeda?” tawar Dirga.
Kartika pun mengangguk. Ia juga cudah cukup lelah berjalan. Sewa sepeda boleh juga. Sekalian irit tenaga plus irit waktu.
Mereka menggunakan sepeda sewaan menyusuri jalan beraspal di sepanjang garis pantai. Sungguh romantis bersepeda di jalan yang cukup sepi kendaraan dengan pemandangan ke laut lepas.
Lelah bersepeda cukup jauh dari pantai semula, mereka menepi. Jalan beraspal itu beberapa meter lebih tinggi dari laut dan berpondasi pada batu karang yang setiap hari di terjang ombak. Pantai dan jalan dibatasi dengan pagar beton setinggi satu meter yang kuat.
Kartika merentangkan tangannya, memejamkan matanya, dan membiarkan rambutnya yang terurai tertiup angin pantai. Perlahan ia membuka matanya, sungguh indah memandang indahnya lautan lepas.
Ia jadi ingat terakhir kali ia pergi liburan bersama keluarganya. Ketika itu sedang liburan hari raya, keluarganya memilih berlibur ke pantai Pangandaran. Kebahagian menyelimuti keluarga Kartika yang saat itu masih utuh.
Sampai pada saat kebahagian itu harus sirna, saat kedua orang tua Kartika kecelakaan pesawat menuju Medan. Kedua orang tua Kartika pada saat itu harus pergi untuk mengurusi pekerjaan mereka yang selalu pergi-pergi ke luar kota. Adnan dan Kartika dititipkan pada Mang Yayan—adik ibunya Kartika—yang berada di Ciamis. Pesawat yang ditumpangi kedua orang tua Kartika jatuh di Selat Sunda. Dan sampai sekarang, bangkai pesawatnya tidak dapat ditemukan. Seluruh penumpang beserta piLot dan pramugarinya pun jasadnya tak dapat ditemukan. Kartika hanya bisa berharap ada keajaiban, bahwa pada suatu saat nanti orang tuanya datang ke rumahnya dalam keadaan sehat wal’afiat, atau setidaknya jasad mereka bisa ditemukan.
Sejak saat itu Adnan dan Kartika tinggal dengan Mang Yayan. Beliau tidak mempunyai anak-istri. Ia memilih hidup melajang selamanya sejak cintanya ditolak Sang Ayah Mertua. Mang Yayan pun mencari kesibukan sendiri dengan menjadi nelayan. Dengan keuleutannya itu, ia telah menjadi salah satu saudagar besar ikan di Ciamis.
Dua tahun yang lalu Tuhan mengambil nyawanya karna diabetesnya yang sudah akut. Bandar ikannya pun diwariskan pada Adnan. Namun belum juga sebulan bandar ikan itu sudah hampir bangkrut karna Adnan tidak mampu mengeLolanya dengan baik. Bandar ikan itupun ia jual lalu pindah ke Jakarta. Kedua orang tua mereka masih mempunyai rumah yang cukup luas—yang ditinggali Kartika sekarang. Adnan melanjutkan kuliahnya juga Kartika melanjutkan sekolahnya dari warisan peninggalan orang tua mereka. Sebulan tinggal di Jakarta lagi, Adnan diterima sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta.
Setiap kali mengingat masa kecilnya, Kartika selalu menitikkan air mata. Ia pun kembali memejamkan matanya. Muncul satu persatu orang yang sangat ia sayangi yang telah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta.
Dirga yang dari tadi memperhatikan Kartika, jadi merinding sendiri.
“Ika,” Dirga memegang lembut bahu Kartika. “Lo baik-baik aja, kan?”
“Hah?” Kartika segera menghapus air matanya.
“Kenapa nangis?”
“Gue enggak nangis, kok.”
“Jangan bohong! Mata lo berair,”
“Gue cuma lagi kangen sama Mama Papa gue”
Lalu Dirga memeluk Kartika. Awalnya Kartika sedikit menolak, namun Dirga memeluknya erat. Kartika pun membalas pelukan Dirga.
“Kalo mau nangis, enggak perlu ditahan.” ucap Dirga lembut—tumben. “Enggak perlu merasa bersalah atau malu. Lo boleh pake bahu gue buat nangis.”
Dirga mengerti apa yang sekarang sedang Kartika alami. Karna ia pernah mengalami hal itu pada saat Papanya meninggal dulu. Saat itu tak ada seorang pun yang mau membantunya meringankan kesedihannya. Ia tahu bangaimana perasaan Kartika sekarang ini. Dan kini ia teringat lagi pada Papanya. Hampir saja ia menitikkan air mata mengingat hal itu.
Tangis Kartika pun tak terbendung lagi. Semua tangis kesedihan yang selama ini ia pendam, terluapkan saat itu juga. Ia menangis sesegukkan di bahu Dirga. Beberapa menit kemudian, Kartika sudah selesai meluapkan semua kesedihannya. Dirga melepaskan pelukannya.
“Lebih enakan, kan?”
Kartika mengangguk dan menghapus air matanya.
“Kalo gitu lo siap dong, buat balapan sepeda sampai sana?” Dirga menunjuk ke arah jajaran pedagang yang menjajakan dagangan mereka dekat pantai selepas pagar beton. Sekitar 500 m dari tempat mereka berada sekarang.
Kartika menarik napas panjang dan menghembuskannya. Lalu ia mengangguk. Kedua segera menaiki sepeda masing-masing.
“Yang kalah dihukum,”
“Biar gue yang itung,” tawar Kartika.
Giliran Dirga yang mengangguk.
“Satu…” Kartika memberi aba-aba. “Dua…” Keduanya mulai bersiap-siap. “Tiga,” kata Kartika sambil menendang ban depan sepeda Dirga. Ia pun melesat lebih dahulu meninggalkan Dirga yang terjatuh tertimpa sepedanya.
“Aghh…” teriak Dirga. Ia pun segera bangun dan mengejar Kartika yang sudah cukup jauh darinya.
Kartika yang lebih dulu sampai finish. Walau sudah sekuat tenaga Dirga mengejar Kartika, namun tetap Kartika yang memenangkan balapan. Beberapa saat kemudian Dirga pun sampai.
“Yee…” teriak Kartika kegirangan. “Gue menang.”
“Enggak sah,” sanggah Dirga.
“Kenapa gitu?”
“Lo kan udah curang,”
“Lo kan enggak bilang, enggak boleh curang. Lo tetep harus dihukum.”
“Enggak bisa gitu, dong. Pokoknya Lo yang dihukum karna lo udah curang.”
“Ya bisa, dong. Lo kan cuma kasih peraturan, yang kalah harus dihukum. Lo kan kalah, jadi harus dihukum. Salah lo sendiri kasih peraturan cuma itu doang?”
“Sekali enggak, tetep enggak,”
“’Gue selalu konsisten sama ucapan yang pernah keluar dari mulut gue’, itu kan yang pernah lo bilang sama gue?”
“Oke,” Dirga mengalah. Salahnya sendiri bilang seperti itu. “Lo mau kasih gue hukuman apa?”
“Sambil gue mikir, kita minum dulu, ya?” ajak Kartika. “Gue haus, nih. Lo juga, kan?” Kemudian ia mengoes sepedanya menuju warung minuman beberapa meter di depan mereka. Dirga mengikutinya dari belakang. Sambil berpikir hukuman apa yang akan ia terima, mudah-mudahan enggak yang aneh-aneh.
Kartika mencari tempat duduk untuknya dan Dirga. Ada beberapa kursi yang kosong dan sebagian sudah ditempati beberapa pengunjung. Kartika memilih tempat duduk yang paling ujung, yang bisa langsung memandang ke pantai. Tak lama kemudian Dirga datang dengan dua gelas minuman dingin.
“Makasih,”
Dirga tak menjawab, kemudian ia duduk dan meneguk minumannya.
“Gue udah tahu hukuman yang pantes buat lo,”
“Apa?” Dirga masih kesal atas kekalahannya.
Kartika menunjuk ke arah atas menyerong ke kanan sedikit. Tepat menunjuk ke arah buah kelapa yang menggantung pada pohonnya. Kartika menatap Dirga dengan tatapan memohon tapi manja.
Dirga memandangnya heran. “Maksud lo?”
“Gue mau minum air kelapa,”
“Lo mau gue manjat, buat metik kelapa itu?”
Kartika mengangguk kuat.
“Disini banyak gitu, orang yang jualan air kelapa muda. Kenapa harus susah-susah manjat? Gue bisa beliin 100 buah kelapa buat Lo. Gue enggak mau. Lo panjat aja sendiri.”
“Kalo beli bukan hukuman namanya. Kalo beli gue juga bisa.”
Dirga tak menjawab. Ia ingat kata-katanya sendiri, selalu konsisten dengan semua ucapannya. Ia pun bergegas menuju penjaga warung tempatnya membeli minum sekaligus pemilik pohon kelapa yang ditunjuk Kartika. Setelah bernegosiasi beberapa menit, Dirga memberikan beberapa lembar rupiah kepada orang tersebut. Penjaga warung itupun sementara digantikan oleh anaknya.
Sampailah di pohon kelapa yang dimaksud. Dirga mulai bersiap-siap untu naik. Ada beberapa percakapan sebelumnya. Kemudian si pemilik pohon itu menunjuk ke salah satu buah kelapa, yang nampaknya buah kelapa tersebut yang harus dipetik Dirga.
Dari jauh Kartika berteriak, “Dirga… lo yang harus manjat, ya!”
“Pacarnya ya, Mas?” tanya si pemilik pohon kelapa.
Dirga hanya diam. Kemudian ia mulai memanjat. Sampai diatas Dirga langsung memutar-mutar buah kelapa yang dimaksud, dalam hitungan detik buah kelapa itu sudah jatuh—mahir juga, ya! Perlahan Dirga pun mulai turun.
Setelah Dirga turun, ia berjalan mengikuti si pemilik pohon yang sudah berjalan beberapa meter darinya. Si pemilik pohon itu langsung memapas buah kelapa yang dipetik Dirga, lalu memberikan sebuah sedotan dan payung kecil sebagai penghias pada luang kecil yang ia congkel pada buah kelapa tersebut sebelumnya. Kemudian dibeikan kepada Dirga.
Dirga berjalan ke arah Kartika. Kartika yang dari tadi menyaksikan serta beberapa orang disekitarnya tersenyum geli melihat kelakuan Dirga.
“Ini, Tuan Putri!” Dirga menyimpan buah kelapa tersebut di hadapan Kartika.
“Makasih,” ucapnya sambil tersenyum manja. Kemudian ia meminumnya. “Dimana-mana kalo langsung dipetik dari pohonnya, segernya beda. Enak banget!”
Dirga yang masih kesal hanya diam menanggapi ocehan Kartika.
“Mau coba?” tawar Kartika sambil menyodorkannya kepada Dirga. Dirga kekeh untuk diam.
“Jangan jaim gitu, dong! Enak, kok,” tawar Kartika lagi.
Penasaran juga sama rasanya. Meskipun sudah puluhan kali ia minum air kelapa muda, tapi gimana rasanya kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon, ya? Apalagi ini ia sendiri yang petik. Perlahan ia pun mengambilnya, dan menyeruputnya. Enak!
Kemudian ia mengambil alih kelapa muda itu dari tangan Kartika dan menuruputnya sekali lagi. Wah, kejadian lagi! Kartika tidak bisa tinggal diam melihat kelapa muda miliknya diambil. Meskipun itu dipetik Dirga, namun tetap saja kepemilikannya tetap sah punya Kartika. Sudah dua kali ia mengalah haknya diambil begitu saja. Dan ia tidak mau hal itu terulang untuk ketiga kalinya.
Kartika berusaha sekuat tenaga untuk meraih kelapa mudanya. Dirga yang sudah beranjak dari tempat duduknya Kartika kejar sampai dapat. Ketika Dirga sudah tidak berlari lagi, Kartika sekuat tenaga meraih kelapa mudanya. Dirga pun semakin meninggikan kedudukan kelapa mudanya. Semakin sulit untuk Kartika raih.
“Balikin kelapa muda gue!” teriak Kartika. Ia mendadak jadi ganas.
“Buat gue aja, ya!”
“Enggak mau itu punya gue,”
“Ini enak, Ika. Sayang kalo gue lewatin. Ini kan yang metik gue?”
“Enggak mau. Itu punya gue. Balikin!” teriaknya semakin kencang.
“Ika malu diliat orang.” Ternyata dari tadi banyak mata yang memperhatikan tingkah konyol mereka. Ada yang berpendapat enggak ada kerjaan. Ada yang menganggapanya sebagi hiburan karna kapan dan dimana lagi bisa liat hiburan gratis dan jarang ini. Ada juga yang tidak peduli, dan sibuk dengan kerjaannya sendiri.
“Enggak peduli. Gue cuma mau kelapa muda gue.”
Akhirnya Dirga memberikan juga kelapa muda Kartika. Tapi ketika dilihat isinya, sudah tidak ada setetes air pun. Untuk ketiga kalinya ia kalah berebut dari Dirga. Mengapa selalu ia yang mengalah?
“Dirga…” geram Kartika. Ia menjatuhkan buah kelapanya. Untung tidak kena kaki Dirga, karna jatuhnya hanya beberapa sentimeter dari kaki Dirga. Lalu ia pergi dengan muka cemberut.
Dirga yang merasa bersalah mengejar Kartika dan menahan langkah. Berusaha meminta maaf pada Kartika. Namun Kartika tidak mengubrisnya. Ia tetap melipat wajahnya dan terus berjalan.
“Ika, maafin gue, ya!”
Kartika tetap diam seribu bahasa.
“Jangan marah terus, dong! Please, maafin gue!”
“Gue udah bosen maafin lo,”
“Jangan gitu, dong! Tuhan aja Maha Pemaaf, masak lo enggak mau maafin gue?”
“Jangan bawa-bawa Tuhan! Lo udah sering bikin aku kesel. Baru aja lo bikin aku seneng, sedetik kemudian lo jadi ngeselin lagi. Apa bikin aku kesel udah jadi hobby lo?”
“Bukan gitu…” kata-kata Dirga terpotong.
“Mau bilang ‘Abisnya enak, gue suka’, hah?”
“Ya, kan aku udah minta maaf. Kalo gitu… gue petikin lagi, mau?”
“Udah enggak mood,”
“Kalo gitu lo mau apa?”
Jawaban atas pertanyaan Dirga, Kartika hanya mendorong Dirga sampai terjatuh. Lalu ia pun pergi. Namun langkahnya terhenti ketika ia tidak mendengar Dirga berteiak-teriak minta maaf. Ketika ia melihat ke belakang, Dirga sudah tidak ada disana. Hah, Dirga mana?
Kartika memandang sekelilingnya. Namun tetap saja Dirga tak ada pada pandangannya. Jangan-jangan Dirga meninggalkannya, terka Kartika. Bagaimana ia bisa pulang? Di Jogja ia tidak punya kenalan siapapun. Ia tak tahu jalan pulang.
Tengok kanan, tengok kiri ia tetap mencari Dirga. Namun Dirga tak kunjung ditemukan. Dan tiba-tiba… Dirga sudah ada di hadapannya secara mengejutkan.
“Nyariin gue, ya?”
“Enggak,” jawab Kartika marah, menutupi keterkejutannya.
“Maafin gue, ya!” Dirga menunjukkan sebuah es krim di hadapan Kartika.
Kartika ingin tersenyum melihat tingkah Dirga untuk dimaafkannya. Namun ia berusaha menahannya dan tetap memasang wajah cemberut.
“Ambil, ya!” Dirga memasang wajah memelas. “Kalo Lo ambil, berarti lo maafin gue,”
Kartika masih diam. Rayuan Dirga ternyata belum mempan.
“Gue janji deh, enggak akan ngerebut es krim lo. Soalnya gue juga punya,” Dirga menunjukkan es krimnya. Ekspresi wajahnya bikin Kartika ketawa. “Nah, gitu dong! Marahnya udahan. Kan kalo ketawa keliatan cantiknya.”
 Kartika kembali sinis.
“Masih mau tawaran es krimnya?”
Kartika pun mengambilnya juga. Itu artinya Kartika sudah memaafkan Dirga. Kartika pun tidak melipat wajahnya lagi.
Keduanya pun kembali ke tempat parkir sepeda mereka sambil makan es krim masing-masing. Tiba-tiba Dirga jadi jahil, ia mencolek eskrimnya sendiri dan mengoleskannya pada wajah Kartika. Lalu bergegas segera pergi, sebelum Kartika ngamuk lagi.
“Dirga…” teriak Kartika. Hampir saja es krim di tangannya jagi peluru untuk nimpuk Dirga.
Dirga mengajak Kartika untuk mendaki batu karang yang ada di Pantai Kukup. Dulu ketika ia berlibur dengan keluarganya ke Jogja, ia sempat diajak Papanya ke tempat tersebut. Ketika itu ia dan Papanya yang sangat menikmati keindahan laut dari atas batu karang tersebut. Hal yang sampai ini masih tersimpan dalam memorinya dan akan selalu tersimpan sampai kapanpun. Dan sekarang ia mau menunjukkan keindahan tempat itu pada Kartika.
Letak batu karang dengan Lokasi wisata pantai tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai di tempat itu dengan sepeda. Untuk sampai ke atas, harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak pelru menghabiskan banyak waktu, hanya sekitar 10 menit. Belum banyak orang yang mengunjungi tempat itu.
Sampailah di puncak batu karang tersebut. Apa yang dikatakan Dirga memang benar adanya. Pemandangan Pantai Kukup dari ketinggian belasan meter sungguh menakjubkan. Meskipun sejak tadi Kartika memandang ke arah laut dari berbagai titik, ia selalu bergumam, “Sungguh menakjubkan!” dan di tempat inilah pemandangan laut yang paling indah. Ia juga dapat melihat ke segala penjuru pantai. Dan melihat semua aktivitas turis-turis di pantai. Benar-benar tak ada tandingannya.
“Keren banget!”
“Tempat ini masih seindah dulu.”
“Kenapa lo baru kasih tahu gue tempat sekeren ini?”
“Kenapa gue baru kasih tahu lo? Karna biar sekalian kita liat sunset,”
Kartika meneliti wajah Dirga. Lalu ia tersenyum sendiri.
“Ayo duduk!”
“Oh, iya,” Kartika kembali memandang ke arah pantai. Keduanya pun duduk dan menikmati indahnya salah satu cipataan Tuhan itu.
“Lo sering kesini?” tanya Kartika menyelidik.
“Setiap kali ke Jogja, gue pasti nyempetin buat kesini.”
“Bareng Kak Evan sama Kak Fathan?”
“Enggak. Gue kesini selalu sendiri,” Dirga melirik ke arah Kartika. Ia sadar telah membuat Kartika keGRan. “Gue ajak lo ke sini cuma buat minta maaf aja soal kejadian tadi,”
Kartika agak cemberut. “Gue udah maafin, kok.”
“Bentar lagi mataharinya terbenam,” ucap Dirga.
“Kita hitung mundur!” ucap Kartika.
“Lima…” ucap mereka berbarengan. “Empat… tiga... dua… satu,” Namun matahari belum terbenam.
“Lo ngitungnya kecepetan,”
“Enak aja,” Dirga tak mau kalah. “Lo yang ngitung duluan.”
“Ya udah, kita itung lagi,”
“Lima…” ucap mereka serempak lagi. “Empat… tiga…” Sang Surya pun terbenam. Dan malam mulai menampakkan gelapnya. Aktivitas di bibir pantai pun sudah mulai berkurang. Tidak banyak wisatawan yang masih berada di pantai.
“Indah banget,” kata Kartika terkagum-kagum.
“Ayo kita pulang!” ajak Dirga. Keduanya pun beranjak dan pulang.
Sampai di rumah, ternyata Evan, Fathan, Chaty, dan Sonia sudah hendak pergi. Mereka bepapasan dengan Kartika dan Dirga di ruang tengah.
“Yang abis pacaran baru pulang,” sindir Evan.
“Maksud Kak Evan apa? Kita enggak pacaran, kok. Kakak sendiri kemana? Ilang tiba-tiba.”
“Kita enggak kemana-mana, dari tadi kita ngikutin kalian. Kaliannya aja yang ilang tiba-tiba.”
“Sekarang Lo pada mau kemana?” tanya Dirga.
“Mau ke diskotiknya Mas Tommy,” jawab Fathan. “Kalian mau ikut?”
“Enggak, ah. Gue di rumah aja,” jawab Kartika.
“Gue cape. Kalian pergi aja.”
“Gatel-gatel ya, abis manjat pohon kelapa,” ucap Fathan.
Hah? Mengapa mereka bisa tahu? Kartika dan Dirga kaget mendengar ucapan Fathan. Apakah mereka tahu semua yang Kartika dan Dirga seharian?
“Lo sekongkol ngerjain gue, Ika?” Dirga jadi marah pada Kartika.
“Enggak, kok. Gue juga heran, kenapa mereka bisa tahu.”
“Ah… Lo ngerjain gue, Ika,” geram Dirga kesal.
“Sumpah… gue juga enggak tahu,”
“Gue enggak percaya,” Kartika langsung berlari menuju kamarnya. Dirga segera mengerjarnya. Sementara yang lain hanya saling pandang dengan tatapan heran melihat kelakukan Kartika dan Dirga. Lalu mereka pun memutuskan untuk pergi.
“Awas aja kalo lo beneran sampe ngerjain gue!” ancam Dirga. “Gue enggak akan kasih ampun,”
Ketika di tangga, Dirga berhasil menarik tangan Kartika. “Kena juga lo,”
“Dirga. Sumpah gue enggak tahu apa-apa.” Kartika mengangkat kedua jemarinya membentuk huruf V.
“Bohong Lo!
“Beneran. Aku enggak tahu,” Kartika meringis kesakitan. “Lepasin tangan gue! Sakit.”
“Enggak,”
“Berdua di rumah, jangan ngelakuin yang macem-macem, ya!” pesan Evan di ambang pintu.
“Sialan Lo!” Dirga melemparkan sepatunya ke arah pintu. Namun Evan segera menutup pintu, sebelum sepatu Dirga membuat kepalanya pecah.
Saat Dirga lengah, Kartika langsung melepaskan diri dan segera berlari ke kamarnya. Sampai di kamar Kartika langsung mengunci diri di kamar. Sekarang ia sudah dapat bernapas lega.
“Ika, buka!” teriak Dirga dari luar.
“Enggak mau,”
“Cepet buka pintunya!”
“Enggak mau,” Kartika makin kekeh.
Lelah Dirga berteiak-teriak di depan kamar Kartika. Ia pun bergegas menuju kamarnya dengan hati yang masih diliputi kekesalan. Tidak ada gunanya menghabisakan energi teriak-teriak di depan kamar Kartika, toh tidak akan membukaknya. Ia akan menunggu ketika Kartika lengah.

***

Kartika masih belum mengantuk. Walau seharian sudah berlelah-lelah dan bersenang-senang dengan Dirga, sampai jam segini ia belum ingin tidur.
Kemudian ia membuka pintu kaca yang menghubungkan kamarnya pada balkon kamarnya. Malam ini angin begitu menusuk. Rasa dingin masih sangat terasa, walau ia sudah memakai sweeternya. Tapi ia tidak mempedulikan angin yang tak berhenti mengibaskan rambutnya yang terurai.
Tangannya sengaja ia pangkukan pada pagar balkon. Wajahnya berseri-seri. Membayangkan indahnya hari yang baru saja ia lewati. Kenangan yang Dirga berikan tadi siang sungguh membekas pada dirinya.
Hari ini berlalu begitu cepat. Padahal hari seperti ini jarang sekali ia temui. Jarang sekali ia seceria hari ini. Ia berharap tidak pernah ada hari esok. Ia ingin selamanya seperti hari ini. Bersenang-senang hanya berdua dengan Dirga. Dan tidak pernah mengenal kata letih.
Tiba-tiba ponsel berdering. Ia segera menghampiri ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Ternyata itu telepon masuk dari Hima.
“Hallo, Ma!” sapanya agak gagap. “Ada apa?”
“Gue… cuma lagi kangen aja sama lo. Gimana keadaan lo?”
“Baik, kok.”
“Kata Kakak lo, lo lagi ke Jogja, ya?”
“Oh, iya.” Kartika agak heran kenapa Hima tiba-tiba menelepon. Bagaimana kalo Hima sampai tahu ia pergi bersama Dirga? Pasti Hima akan sangat marah padanya. “Bareng temen-temen SMP,”—tidak mungkin ia bilang pergi bersama Dirga.
“Oh… Padahal tadi siang gue ke rumah lo. Gue, Milly sama Winda mau ajak lo ke Puncak.”
“Ada acara apa ke Puncak?”
“Kan hari ini ulang tahun gue. Lo lupa?”
“Ah…” Kartika sangat malu dan merasa bersalah karena lupa pada hari ulang tahun sahabatnya sendiri. “Maaf. Gue bener-bener lupa.”
“Iya. Enggak apa-apa, kok.” Hima menjadi sedikit diam.
“Hima? Lo marah? Gue bener-bener minta maaf.” Kartika semakin merasa bersalah. “Selamat ulang tahun, ya!”
“Iya. Makasih, ya!”
“Tenang, deh. Nanti gue beliin hadiah buat lo dari Jogja.”
“Gue pegang janji lo, ya!”
“Iya, gue janji.”
“Udah dulu, ya!” Hima mengakhiri pembicaraan. “Pestanya udah dimulai, nih!”
“Salam aja buat Milly sama Winda.”
“Ok. Lo have fun ya, sama liburannya!”
“Ok. Bye.” Setelah menutup telepon, rasa bersalah pada Hima masih menyelimuti dirinya. Bodohnya ia karna lupa pada ulang tahun sahabatnya sendiri.
Ia menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Lalu ia memukulkan ponselnya pada kepalanya sendiri. Dan uring-uringan tidak keruan. Namun tiba-tiba ia mulai merasa lapar. Dari tadi siang perutnya memang belum terisi makanan berat apapun. Ia pun segera bergegas menuju dapur.
Ketika di tangga, ia mendengar suara berisik tapi pelan dari arah dapur. Jangan-jangan… itu hantu yang diceritakan Fathan. Bulu kuduknya mulai merinding. Walau rasa takut merayap ke sekujur tubuhnya, namun ia memaksakan diri untuk melihat apa yang dilakukan ‘hantu’ itu di dapur.
Dan yang ia dapati di dapur bukanlan sesosok hantu maupun sejenisnya, melainkan Dirga yang sedang kebingungan di depan kompor. Nampaknya Dirga ingin memasak, namun ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Lo lagi ngapain, Ga?” Kartika menghampiri Dirga.
Dirga sedikit terkejut melihat Kartika yang muncul tiba-tiba. “Gue lagi masak,”
“Tapi yang gue liat, lo malah berantakin dapur.”
“Gue kan baru mau mulai,” Dirga mencoba mencari alasan untuk menutupi kebohongannya yang sok bisa masak. “Lo sendiri ngapain disini?”
“Aku juga mau masak,”
“Ya udah, Lo aja yang masak.”
“Enggak apa-apa, kok. Lo aja duluan.”
“Gue bilang Lo aja yang masak. Sekalian masakin buat gue.” Dirga pun berjalan menuju meja makan dan duduk di salah satu kursinya.
“Bilang aja enggak bisa masak,” gerutu Kartika pelan.
“Ngomong apa lo?”
“Lo mau dimasakin apa?” jawab Kartika tergagap.
“Terserah. Pokoknya yang paling cepet, gue udah laper.”
“Nasi goreng mau?”
“Gue bilang terserah,”
Kartika mulai unjuk kebolehannya. Memanaskan minyak goreng di atas wajan dengan api sedang. Memotong-motong bahan pelengkap lainnya, seperti wortel, daun bawang, sosis dan cabai. Setelah minyak goreng panas, Kartika memasukan telur, diaduk-aduk sebentar, lalu ia memasukkan bahan pelengkap yang ia potong tadi. Setelah bahan-bahan itu masak, Kartika memasukkan nasi putih sebanyak dua porsi. Lalu ia mencampur semua bahan. Dan untuk tahap akhir ia memasukkan sedikit garam dan kecap manis. Ia kembali mencampur sampai semua nasi putih itu menjadi coklat. Dan nasi gorengnya ia sajikan dalam dua piring.
Kartika memang tidak terlalu pandai memasak. Hanya beberapa masakan kecil dan mudah yang bisa ia masak. Semua pelajaran memasaknya ia dapat dari Adnan maupun Arini. Dan mudah-mudahan Dirga tidak mencela hasil masakannya.
Kartika menyodorkan satu piring kepada Dirga dan satunya lagi ia simpan di depan kursinya. Lalu ia kembali ke dapur untuk mengambil dua gelas air putih untuknya dan Dirga.
“Lo enggak masukin racun, kan?” tanya Dirga sambil menatap aneh ke arah nasi goreng buatan Kartika.
“Kalo mau, silahkan lo makan! Kalo enggak, tahan aja lapernya.” Kartika pun mulai menyantap hidangan di hadapannya. Begitu lahap. Membuat Dirga tidak was-was lagi untuk ikut menyantapnya. Sampai tak tersisa sebutir nasi pun di piringnya.
“Lo enggak mati kan abis makan nasi goreng gue?” sindir Kartika sambil mencuci piring bekas makannya dan Dirga.
“Terpaksa aja gue makan, meskipun enggak enak. Orang enggak ada sesuatu yang bisa dimakan selain nasi goreng lo.”
“Ada enggak sih, kata-kata lo yang nyenengin hati gue?” ucap Kartika dengan nada meninggi. “Bilang makasih, kek!”
“Makasih,” jawab Dirga ketus.
“Sama-sama,” balas Kartika lebih ketus.
Ketika Dirga hendak beranjak ke kamarnya, ia menghentikan langkahnya dan menghampiri Kartika yang masih di dapur. Ia menarik tangan Kartika dan membalikkan tubuh mungil Kartika sehingga bertatapan dengannya.
“Aw… sakit!” rintih Kartika. “Lepasin!” Dirga semakin menguatkan pengangannya.
“Jujur sama gue!” Dirga mendekatkan wajahnya pada wajah Kartika. Ia menatap tajam kedua mata Kartika. Kartika sendiri agak risih dan takut dengan apa yang Dirga lakukan sekarang. Bangaimana kalau Dirga sampai macam-macam padanya? Hanya tinggal ia dan Dirga yang ada di rumah ini. Siapa yang akan menolongnya kalau Dirga tiba-tiba… ? Tidak. Itu tidak boleh terjadi.
“Apa lo sekongkol sama Evan dan Fathan buat ngerjain gue tadi siang?”
Ternyata itu yang Dirga mau. Kartika sedikit lega. “Sumpah, Ga! Aku juga enggak tahu kenapa mereka bisa tahu lo manjat pohon kelapa tadi siang.”
“Lo enggak bohong, kan?”
“Beneran, Ga.”
Dirga melepaskan genggamannnya. Pergelangan tangan Kartika merah. Ia pun melemaskan tangannya sampai tak terasa sakit lagi. Tangan besi, gerutu Kartika.
“Terus mereka tahu darimana?” Dirga menatap wajah Kartika.
“Gue juga enggak tahu,”
Dirga masih mondar-mandir kebingungan. Alisnya naik-turun.
“Udahlah, Ga. Lupain aja! Mungkin mereka enggak sengaja liat. Lagipula kalo terus diungkit-ungkit, enggak ada gunanya juga.”
“Gue udah enggak mikirin itu, kok.”
“Terus lo lagi ngapain mondar-mandir gitu?”
“Enggak.” Dirga pun bergegas menuju kamarnya. Kartika bengong heran menatap Dirga, kemudian ia melanjutkan cuci piringnya. Ketika ia berada di tangga menuju kamarnya, ia mendengar pintu kamar Dirga terbuka. Karna penasaran, ia menoleh ke belakang. Dirga sedang berdiri santai pada anak tangga pertama.
“Kenapa lagi?” tanya Kartika.
“Selamat tidur!”—Wah, Dirga kesurupan jin apa, nih?—“Mimpi indah, ya!” Dirga pun kembali ke kamarnya.
“Selamat malam juga!” balas Kartika sedikit heran pada tingkah Dirga.

***

Jadwal hari ini adalah pergi berenang ke Water Park di daerah Kaliurang. Di tempat tersebut ada salah satu tempat wisata milik keluarga Evan. Khusus untuk hari ini tempat wisata Water Park tersebut tidak dibuka untuk umum. Evan sudah menjadwalkan tempat tersebut hanya untuk liburan teman-temannya.
Setibanya disana, telah tersedia meja panjang berisi macam-macam jenis makanan dan minuman yang berwarna-warni di pinggir kolam. Ada juga DJ yang memutar sebuah musik disco. Membuat pendengar ingin mengoyang pinggul ke kanan dan ke kiri.
Semua telah bersiap-siap untuk berenang. Setelah berganti pakaian dan melakukan sedikit pemanasan, satu per satu dari mereka mulai masuk ke dalam kolam berenang. Menikmati beberapa wahana water boom. Sungguh mengasyikkan. Semua tertawa lepas.
Setelah berlelah-lelah berada di air, Kartika beranjak dan menutupi sebagian tubuhnya yang mulai kedinginan dengan handuk. Cukup untuk menghangatkan tubuhnya, perutnya mulai keroncongan. Ia berjalan menuju meja penuh makanan di pinggir kolam.
Sesaat ia hanya terkesima melihat begitu banyak makanan yang ada. Sampai ia pusing untuk menyantap yang mana dulu. Lalu matanya tertuju pada kue brownies. Ia langsung menjejalkan tiga potong kue tersebut. Sepertinya itu adalah satu-satunya kue brownies yang tersisa di dunia ini.
“Uhuk… uhuk…” Kue yang dimakannya berhamburan keluar dari mulutnya. Ia jadi tersiksa sendiri. Matanya berkaca-kaca. Pipinya memerah.
Kemudian datang Evan menepuk-nepuk punggungnya. Kartika pun dapat memuntahkan kue yang dimakannya ke balik semak-semak. Evan pun memberikan segelas minuman pada Kartika.
“Makanya kalo makan pelan-pelan aja,” ejek Evan. “Enggak perlu takut kehabisan. Tinggal minta dikirim lagi dari cateringnya, Lo bisa makan 100 kue brownies.”
Kartika menunduk. Dalam hati ia mengumpat diri sendiri. Betapa malunya ia. Pipinya semakin memerah.
Kemudian Evan memberi Kartika segelas jus jeruk dan mengajaknya duduk di tepi kolam. Membenamkan sebagian kakinya ke dalam air.
“Makasih ya, Kak.” kata Kartika.
“Sama-sama,” jawab Evan. “Lain kali jangan rakus lagi, ya!”
“Aku enggak rakus,” sanggah Kartika. “Aku cuma lagi laper aja.”
Hening sesaat. “Mel,” kata Evan. Kartika menatap wajah Evan penuh tanya. “Menurut Lo, Dirga itu orangnnya gimana?”
“Nyebelin.” Satu kata, namun bermakna.
“Selain itu?” tanya Evan lagi.
Kartika melihat ke arah Dirga yang masih asyik bermain. “Kadang baik, kadang… ya itu nyebelin. Mungkin ganteng, jutek, sombong… tapi sangat membutuhkan kasih sayang.”
“Lo suka sama Dirga?”
Kartika terkejut mendengar ucapan Evan. “Ah, Kakak ada-ada aja,” jawab Kartika terdengar ragu dan jadi salah tingkah. “Mana mungkin aku suka sama cowok kayak gitu.”
“Apa karna ada temen lo yang suka sama Dirga?”
Darimana Evan tahu kalau Hima suka sama Dirga? “Enggak,” sanggah Kartika lagi. “Lagipula aku mau fokus aja dulu sama sekolah.”
“Dirga tenggelam.” teriak Evan pelan.
Kartika langsung mencari-cari Dirga. Ia sudah gelisah tak keruan. Namun orang yang dikawatirkan ternyata tidak apa-apa. Dan Evan pun sudah tidak duduk di sampingnnya. Lagi-lagi Kartika berhasil dibohongi. Apa maksudnya dia bohong kali ini?
            Sudah cukup lama mereka bermain-main di dalam air. Bermain volly air, berenang, dan bermain wahana permainan yang ada. Mereka semua pun beranjak, memakain piyama berenang masing-masing dan bergegas mandi.
Usai mandi mereka semua menyantap makanan yang tersedia di meja panjang pinggir kolam. Menari-nari ringan diiringi musik Sang DJ dan membiarkan panas matahari menghangatkan tubuh mereka.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan-jalan menyusuri hutan rekreasi. Udaranya sungguh sejuk, udaranya sangat dingin menusuk, di kanan dan kiri jalan berjajar pohon-pohon yang menjulang tinggi dan rindang.
Kartika melihat sisi kanan dan kirinya begitu indah. Jarang sekali matanya memandang tumbuh-tumbuhan yang rindang seperti ini. Tapi lama-lama bosan juga kalau objek pengelihatannya itu-itu saja.
Dilihatnya ke depan, Dirga sedang asyik mengabadikan perjalanan dengan kameranya. Saat Dirga membalas tatapan Kartika. Kartika jadi salting sendiri. Ia pun pura-pura melihat ke arah lain—sok asyik memperhatikan pohon-pohon di sekitarnya.
Melihat ke belakang, Evan dan Chaty sedang asyik pacaran begitu juga dengan Fathan dan Sonia. Bikin iri. Hati kecil Kartika sih ingin seperti cewek-cewek lain, ingin punya pacar. Namun karena sikapnya yang terlalu cuek, jarang sekali ada cowok yang mau dekat dengannya. Huh! Nasib, nasib.
Kartika ditinggal berdua lagi dengan Dirga. Dirga pun mengajak Kartika berkeliling Malioboro. Dirga sengaja menyewa delman seharian sebagai kendaraan mengelilingi Malioboro.
Dirga mengajak Kartika ke sebuah tempat pembuatan batik tulis. Disana Kartika dan Dirga diperlihatkan cara membuat batik. Dari mulai membuat pola, melukisnya dengan lilin cair, mewarnai kain batik dengan pewarna tekstil, sampai penjemuran.
Kartika dan Dirga mencoba untuk melukiskan lilin cair dengan canting pada kain yang sudah dibuat pola. Sungguh sangat susah sekali. Ketika melihat yang sudah ahli melakukannya memang terlihat sangat mudah. Namun dalam praktiknya, sangat menguras kesabaran. Kartika dan Dirga harus sabar dan teliti saat mengoreskan ujung canting pada permukaan kain. Salah sedikit saja akibatnya bisa fatal.
Kesabaran Kartika dan Dirga sudah terkuras habis. Mereka pun meninggalkan pekerjaan mereka yang belum beres seperempatnya pun. Pekerjaan mereka pun dilanjutkan oleh pembatik ahli disana.
Puas melihat-lihat proses membatik, kini mereka sedang melihat-lihat kain batik yang sudah jadi. Semuanya begitu bagus. Warnanya cerah-cerah, penuangan lilin cairnya rapi, dan pola-polanya indah.
Dirga tertarik pada sebuah kain batik yang dipasang di pojok toko. Kain batik bemotif bunga-bunga berwarna merah terang. Sangat cocok bila ia jadikan sebagai oleh-oleh untuk Mamanya. Tak jauh dari batik itu ada juga satu kain batik yang tak kalah indah berwarna biru langit. Dari warna dan motifnya, ini cocok Dirga berikan pada Chika. Dirga memutukan untuk membeli dua kain batik itu.
Ketika hendak membayarnya di kasir, Dirga melihat Kartika sedang berdiri terkagum-kagum di depan sebuah kain batik.
“Lo lagi ngapain?” Tiba-tiba Dirga datang dan membuyarkan lamunannya.
“Lagi liat-liat aja.” jawab Kartika agak cemberut.
“Kenapa enggak beli?”
“Gue kan pergi kesini karna dipaksa dan tanpa persiapan. Mana sempet bawa uang lebih,”
“Lo bisa minta beliin sama gue, kan?”
“Gue udah utang banyak sama lo. Aku enggak mau nambah lagi. Ntar bunganya nambah lagi.”
“Emang tampang gue kayak rentenir? Lo kesini kan karna gue. Jadi semua yang Lo mau tinggal bilang aja sama gue.”
Kartika terdiam.
“Jadi enggak belinya? Lo juga harus beliin oleh-oleh buat Kakak dan temen-temen Lo, kan?”
“Beneran enggak apa-apa?”
“Limit gue enggak akan abis cuma buat beliin oleh-oleh buat temen-temen Lo.”
“Lo lagi kerasukan jin apa sih, jadi baik gini sama gue?”
“Udah bagus gue bayarin semua belanjaan Lo, masih sempet nyela gue. Kalo lo enggak bisa baik-baikin gue, seeenggaknya lo enggak perlu nyela gue.”
“Ya, maaf.” Kartika jadi malu sendiri. “Tapi makasih, ya!”
Keluar dari toko batik, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sepanjang Jl. Malioboro. Pergi nonton wayang orang. Berbelanja baju khas Kota Jogja. Tak lupa juga membeli pernak-perniknya, seperti gelang, kalung, cincin, kacamata, tas, topi, dan lainnya. Dan terakhir makan gudeg di alun-alun kota.
Hari yang cukup memelahkan, namun semua itu terbalaskan dengan semua hiburan, belanjaan, dan makanan yang telah mereka dapatkan.
“Makasih ya, buat semuanya!” ucap Kartika saat perjalanan pulang kembali ke villa.
“Udahlah bilang makasihnya,” balas Dirga. “Gue bosen dengernya.”
“Gue kan orangnya bukan yang enggak tahu terimakasih.”
“Ya gue tahu.”
“Lo kenapa, sih?” Kartika agak nyolot. “Kadang baik, kadang nyebelin. Bikin orang bingung tahu?”
“Apa peduli loo? Hidup, hidup gue.”

***

Untuk malam terakhir di kota khas batik ini, Dirga dkk mengadakan acara camping di halaman belakang villa. Dua tenda didirikan di depan sebuah api unggun. Cuaca juga sepertinya sangat mendukung karna tidak ada tanda-tanda akan datangnya hujan.
Hari sudah cukup larut. Malam ini begitu banyak bintang yang menghiasi lagi, bertebaran tak beraturan di sekitar bulan.
Semua masih belum mengantuk. Mereka duduk mengelilingi api unggun sambil membakar jagung. Agar suasana lebih asyik Fathan mengeluarkan gitarnya dan menyanyikan sebuah lagu dari Nadya Fatira - Kata Hati

sore senja di sudut jogja
terucap doa kau tahu isi hati ini
dan bila itu tak terungkap
tetap ku nikmati rasa jatuh cinta sendiri
tak mampu ku ungkap segalanya

izinkan ku renungkan segala rasa
biarkan kata hati bicara
dan bila kita tercipta untuk bersama
biarkan kata hati yang tunjukkan

mungkin nanti akan ku sesali
hari ini ku diam dan tak lakukan
tak mampu ku ungkap segalanya

izinkan ku renungkan segala rasa
biarkan kata hati bicara
dan bila kita tercipta untuk bersama
biarkan kata hati yang tunjukkan
biarkan kata hati yang tunjukkan
biarkan kata hati yang tunjukkan

izinkan ku renungkan segala rasa
biarkan kata hati bicara
dan bila kita tercipta untuk bersama
biarkan kata hati yang tunjukkan

(izinkan ku renungkan segala rasa)
biarkan kata hati yang tunjukkan
(dan bila kita tercipta untuk bersama)
biarkan kata hati yang tunjukkan

izinkan ku renungkan segala rasa
biarkan kata hati bicara
dan bila kita tercipta untuk bersama
biarkan kata hati yang tunjukkan

Lalu dilanjutkan dengan bernyanyi bersama dan berjoget ringan dengan iringan musik yang diputar dari sebuah pemutar musik. Kartika hanya diam saja sambil menghangatkan diri di depan api unggun. Sesekali ia tertawa melihat tingkah laku teman-temannya yang joget tak keruan.
Kartika sangat terhanyut oleh lagu yang dibawakan Fathan. Begitu menyentuh sampai ke dalam lubuk hatinya. Tanpa ia sadari ujung matanya mencari Dirga. Saat Dirga membalas tatapannya ia jadi salting. Jagung bakarnya sudah habis. Semua sudah kembali ke tendanya masing-masing, termasuk Kartika.
Semua mulai terlelap dalam mimpi masing-masing. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik saling bersahutan memecah keheningang malam. Api unggun semakin mengecil, membuat dingin semakin menusuk.

***

Keesokan paginya semua sudah selesai berkemas untuk pulang. Koper-koper sudah dimasukkan kedalam bagasi dan siap untuk diantar ke bandara. Tapi sebelum itu, masih ada satu tempat lagi yang harus mereka kunjungi, Candi Borobudur.
ebuah tempat wisata yang harus dikunjungi ketika kita berlibur ke Jogja. Salah satu tempat wisata yang sangat menjual dan menarik di kota Jogja. Walau jaraknya memang tidak terlalu dekat dari kota Jogja itu sendiri.
Berkeliling mengitari kompleks Candi Borobudur cukup melelahkan. Ditemani oleh seorang pemandu wisata di tempat itu Dirga cs. diperkenalkan tentang Candi Borobudur. Lalu dilanjutkan dengan foto-foto. Mereka pun kembali ke Jakarta pada pukul 11:00.





Bersambung . . . .


Kopi dan Kue

Belajar dari buaian hingga ke liang lahat---

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama