Holiday at Jogja
Setelah
pertandingan usai, semua pemain SMA Azka Julian masuk ke ruang ganti. Sambil
beberapa pemain melepas penat dan dahaga Pak Debi memberi selamat kepada
seluruh pemain atas kemenangan hari ini. Pak Debi juga memberi sedikit komentar
akan pertandingan tadi. “Bapak sangat puas akan permainan kalian. Permainan
kalian semakin bagus di setiap pertandingan. Dan ini adalah permaninan kalian
yang paling baik yang pernah Bapak lihat. Terus pertahankan, tingkatkan lagi
kekompakannya. Terima kasih atas perjuangan kalian hari ini.”
“Iya, Pak.” jawab
seluruh pemain serentak. Kemudian Pak Debi keluar dari ruang ganti. Sebelum
keluar Pak Debi memanggil Dirga untuk sedikit berbincang tentang pertandingan
hari ini.
“Lo liat Dirga pas
pertandingan tadi, enggak?” tanya Fathan pada Evan saat mereka sampai di
basecamp mereka.
Evan sedikit
meneliti wajah Fathan dengan heran. “Lo sakit?”
“Eh, ini anak. Gue
tanya apa, jawabnya apa,”
“Lo beneran sakit.
Tadi kan Dirga maen bareng sama kita. Dirga yang segede pohon kelapa, Lo enggak
liat?”
“Bukan itu maksud
gue,” Fathan meninggikan satu oktaf nada suaranya. “Lo enggak liat gerak-gerik
Dirga yang aneh?”
“Aneh apanya?”
Evan semakin heran. “Perasaan Dirga biasa-biasa, kok. Dimana-mana maen basket
kan gitu. Malah dia banyak cetak poin dari biasanya. Lo beneran sakit, Than.”
“Maksud gue,”
Fathan mulai menjelaskan sejelas-jelasnya pada Evan dengan berusaha menahan
marah. “Sebelum pertandingan, Dirga selalu curi-curi pandang liatin Kartika.”
“Oh, itu maksud
lo,” Evan mengingat-ngingat sejenak. “Gue enggak perhatiin, tuh.”
“Ok. Enggak
penting lo liat atau enggak. Tapi menurut gue, Dirga mulai suka sama Kartika.”
Evan luar biasanya
kagetnya. Sampai-sampai air yang diminumnya muncrat, karna di saat yang
bersamaan ketika Fathan mengucapkan hal itu, Evan sedang minum. “Uhuk… huk,”
Evan masih memasang wajah terkejut. “Lo enggak salah ngomong?”
“Itu kan menurut
gue. Selain bukti yang tadi, akhir-akhir ini juga mereka kan lagi deket.”
“Tapi kan Lo
enggak bisa ambil kesimpulan kayak gitu.” Evan mulai meredam kagetnya dan
serius menanggapi Fathan. “Banyak cewek yang suka Dirga, kenapa harus Kartika?
Cewek yang gue denger sih enggak pinter, galak, enggak cantik, dan jauh banget
kalo dibandingin sama cewek yang ngantri pengen dapetin Dirga.”
“Kartika enggak
jelak-jelek amat, kok. Tinggal didandanin dikit, pasti lebih cantik dari
cewek-cewek itu. Lo liat kan waktu Kartika dateng ke pesta ulang tahunnya
Dirga? Gue akui dia memang cantik, dengan dandanan sederhananya.”
“Gue akui juga,
saat itu dia cantik. Tapi hal itu hanya sementara. Cewek tomboy gitu, mana mau
sering-sering dandan?”
“Kalo gitu kita
buktiin,” tantang Fathan.
“Lo ikuti aja
semua yang gue suruh.” Evan pun mengangguk, namun ia masih belum mengerti apa
yang akan dibuktikan oleh Fathan. Tak lama kemudian Dirga datang. Fathan pun
memulai aksinya.
“Van, Lo tahu
cewek yang namanya Kartika, enggak?” kata Fathan sambil mengedipkan matanya.
Mendengar nama Kartika disebut, Dirga sedikit menguping pembicaraan Fathan dan
Evan.
“Gue tahu.”
“Menurut lo dia
gimana?” kata Fathan lagi.
“Lumayan cantik.
Kalo dipoles dikit, enggak jauh dari mantan-mantan gue, deh.”
“Menurut lo. Gue
cocok enggak sama Kartika?,”
“Lo sama Kartika?”
“Jangan samakan
Kartika dengan mantan-mantan lo,” Dirga ambil bicara. “Dia cewek baik-baik.”
“Biasanya lo
anteng-anteng aja kalo gue nyari cewek baru.”
“Kartika terlalu
polos jika Lo jadikan cewek lo yang ke sekian.”
“Lo suka sama
Kartika?” tanya Evan tiba-tiba.
“Gue enggak ngerti
maksud lo.”
“Lo enggak pernah
seperhatian ini sama cewek manapun,” Fathan membenarkan ucapan Evan. “Tapi sama
Kartika lo beda. Gue bisa liat dari tatapan lo sama dia.”
“Gue yang tahu
perasaan gue sendiri,” Dirga sedikit meninggikan suaranya. “Dan gue enggak ada
perasaan apa-apa sama Kartika.” Dirga pun segera mengemasi barangnya dan pergi.
“Kalo gitu, gue
enggak perlu merasa bersalah sama lo kalo gue bisa dapetin Kartika.” ucap
Fathan. Langkah Dirga terhenti dia ambang pintu.
Fathan enggak
penah main-main dengan ucapannya. Kalo ia sampai benar-benar menjadikan Kartika
pacarnya? Hah, mikir apa gue? Dirga pun segera bergegas pergi.
“Benar kan yang
gue bilang?” kata Fathan setelah Dirga pergi cukup jauh.
“Benar apanya?
Orangnya aja bilang kagak.”
“Evan,” Fathan
mulai geram menghadapi temannya yang satu ini. “Udah berapa lama sih kita
temenan?”
“Hhmm…” Evan
mengingat-ngingat. “Bentar, bentar. Gue tahu. Eu… berapa lama, ya?”
“Kita udah 13
tahun temenan.”
“Lama juga, ya.
Terus apa hubungannya?”
“So, lo tahu kan
gimana sifat-sifat sahabat lo?”
“Tahu,” jawab Evan
singkat.
“Dan lo juga tahu
kan gimana sifatnya Dirga?”
“Dan gue makin
enggak ngerti apa yang lo bicarain.”
“Ngomong sama lo
selalu bikin gue darah tinggi,” Fathan memalingkan wajahnya dan mengemasi semua
barangnya.
“Dan intinya?”
“Ikuti aturan main
gue!” Fathan pun pergi. Sementara Evan masih belum mengerti apa yang Fathan
maksudkan.
***
Pagi-pagi sekali
Kartika dibangunkan oleh handphone-nya yang berdering. Padahal ia baru saja
bermimpi menjadi sorang pemain basket profesional. Wajahnya sering muncul di
media cetak maupun elektronik. Dan kini ia sedang diwawancarai karna timnya
telah memenangkan kompetisi basket se-dunia. Dan mimpi yang sangat sulit
dijumpai itupun sirna karna bunyi handphone yang tepat di telinganya.
“Aduh…” Kartika
merengut. “Siapa sih yang telepon pagi-pagi? Ganggu aja!”
Dengan malas
Kartika bangun dan mengangkat handphone-nya. Kebetulan mulai hari ini sampai
empat hari kedepan SMA Azka Julian diliburkan karna ada hari nasional yang
kejepit. Niatnya hari ini ia mau bangun siang. Gara-gara ada telepon enggak ada
kerjaan itu, ia terpaksa harus membatalkan niatnya.
“Hallo… Ini
siapa?” sapanya dengan mata yang masih terpejam. “Ha…”
“Kal, ada kabar
buruk,”
“Kabar buruk?”
tanyanya heran, walau masih tidak peduli.
“Dirga
kecelakaan.”
“Hah?” Kartika
terperanjat dari tidurnya. Bagai baru saja disambar petir. Kartika terkejut
luar biasa. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi. Mendadak bibirnya diam seribu
bahasa.
“Gue di depan
rumah lo sekarang. Kalo lo masih mau ketemu Dirga untuk terakhir kalinya,
cepetan keluar! Kita pergi sekarang!”
“Ta… tapi,” Orang
misterius itupun menutup teleponnya.
Kini tinggal
Kartika yang kebingungan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Semua rasa
campur aduk. Kemudian ia pergi mengambil jaketnya, lalu ia bergegas keluar
kamar dengan handphone yang masih di tangannya. Tanpa ia sadari, ia masih
memakai baju tidur.
Kakaknya yang
sedang membuat sarapan, heran melihat sikap adiknya. Biasanya pagi di hari
libur Kartika belum bangun. Dan tidak pernah pergi keluar tanpa sarapan dan
masih memakai baju tidur, perginya pun dengan lari-lari. Sungguh aneh!
“Ika, kamu
kenapa?” tanya Kakaknya. Kartika tidak menjawab. Adnan pun semakin heran.
Kemudian ia kejar Kartika. Sampai di pintu gerbang, ternyata Kartika sudah
pergi dengan mobil sedan merah menyala.
“Dia kenapa?”
Adnan semakin bingung. Kemudian ia menghubungi ponsel Kartika. Tak ada jawaban.
Tak lama kemudian Kartika membalasnya dengan pesan singkat yang cukup
mengurangi kekhawatiran Adnan.
Aku pergi ke rumah
temen. Ada temen aku yang kecelakaan. Kakak enggak usah khawatirin aku.
Sampailah mobil
yang dikemudikan Evan di halaman rumah Dirga. Turun dari mobil Evan, Kartika
langsung berlari ke depan pintu rumah Dirga. Dengan tidak sabar ia ketuk pintu
rumah Dirga dengan keras. Dengan hati yang masih diliputi rasa khawatir,
Kartika mondar-mandir tak keruan di depan pintu.
Sampai pintu besar
itu dibuka oleh seorang pembantu, ia segera berlari masuk ke dalam tanpa
dipersilahkan sebelumnya. Pembantu itu sendiri heran, meskipun Kartika sering
datang ke rumah majikannya itu, tapi belum pernah Kartika datang dengan
tergesa-gesa seperti. Kemudian ia menatap pada Evan, Evan hanya mengangguk dan
tersenyum.
“Silahkan masuk,
Mas!”
Kartika masih
terburu-buru berlari menaiki tangga. Evan hanya tersenyum geli sambil
menyakukan kedua tangannya melihat kelakuan Kartika.
Tanpa pikir
panjang, Kartika segera membuka pintu kamar Dirga. Dan apa yang didapatinya…
Dirga sedang berganti pakaian. Kartika segera membalikkan tubuhnya sambil
menutup mata. “Gur enggak liat apa-apa,” Kemudian ia keluar dari kamar Dirga
dengan wajah memerah.
“Kenapa keluar
lagi?” tanya Evan.
“Aku enggak liat
apa-apa.” jawab Kartika setengah tak sadar.
“Maksud lo?” tanya
Evan jadi heran.
Ting…
Kartika mencium
sesuatu yang aneh. Kemudian ia memandang sinis pada Evan dan memukul Evan
secara tiba-tiba.
“Kak Evan bohong,
ya?”
“Bohong
apa?”—pura-pura enggak tahu.
“Jujur sama aku!”
Kartika mulai marah pada Evan. “Punya rencana apa Kakak bohongin aku?”
Belum sempat Evan
menjawab, Dirga sudah keluar kamar—tentunya sudah memakai pakaian. Nampaknya
Kartika akan kena marah.
“Lo enggak pernah
diajarin tata krama?”
Kartika hanya
tertunduk. “Maaf.”
“Lo punya tangan
kan buat ketuk pintu kamar orang?”
“Aku kan udah
minta maaf,” Kartika jadi nyolot. “Tapi kalo mau salahin orang, salahin Kak
Evan. Dia yang buat aku kayak gini.”
Dirga menatap
tajam pada Evan. “Ngomong apa lo sama ini anak?”
“Gue enggak
ngomong apa-apa,”
“Bohong,” sanggah
Kartika. “Kak Evan bilang lo kecelakaan. Gue kira benaran, gue udah khawatir.
Bangun tidur langsung kesini. Ternyata gue cuma dikerjain.”
“Lo khawatir sama
gue sampe segitunya?”
Nah, lho! Apa yang
harus ia jawab? Ia sendiri jadi bingung. Kalau dipikir-pikir, kenapa juga ia
bisa sekhawatir ini pada Dirga?
“Gu.....gue”
Kartika mencoba mencari alasan. “Gue cuma khawatir sama Chika dan Bu Sinta aja.
Takutnya mereka kenapa-kenapa lo kecelakaan.”
“Bener?” Dirga
mendekatkan wajahnya ke wajah Kartika. “ Kok gugup, sih?”
“Gu....gue enggak
bohong.”
“Lo sendiri
ngapain ke rumah gue?” tanya Dirga pada Evan.
“Gue sama Fathan
mau ngajak lo liburan. Bentar lagi dia juga dateng.”
“Dan buat apa lo
bawa ini anak?” Matanya menunjukkan pada Kartika.
“Liburan juga,”
“Liburan?” Seperti
ada bom yang meledak dalam kepalanya mendengar ucapan Evan. “Liburan apa? Sejak
kapan aku setuju diajak liburan bareng kalian? Tapi kalo gini caranya, kalian
bukan ngajak aku liburan tapi niat culik aku.”
“Culik lo?” Dirga
menyerngitkan dahi. “Apa yang bisa diharapkan dari lo? Cantik kagak. Dijual
juga… paling cuma buat nombokin uang makan. Minta tebusan? Apa yang mau
diminta? Penjahat manapun akan rugi kalo culik lo.”
“Ya udah. Gue
pulang aja.” Kartika hendak pulang, namun dihalangi oleh Evan.
“Lo enggak bisa
pergi gitu aja, dong.”
“Kenapa enggak?”
“Lo apa-apaan sih,
Van? Biarin aja dia pulang. Enggak penting juga, kan?”
“Kata Pak Bos juga
aku enggak penting. Jadi buat apa masih disini?”
“Jangan gitu lah,
Ga.” Evan menghampiri Dirga. “Tiap liburan kan lo selalu enggak ada temen?
Sementara gue dan Fathan asyik pacaran. Apa lo enggak bosen? Kalo Kartika ikut
lo jadi punya temen. Kalian kan akur banget.”
“Akur dari
Hongkong?” sanggah Kartika lagi. “Aku tetep enggak mau ikut.”
“Lo ada di rumah
gue. Ikuti semua aturan gue. Kita pergi liburan.” Evan pun tersenyum.
Rencananya dan Fathan berjalan sempurna.
Sebelum pergi,
Dirga menyuruh Kartika untuk mandi. Karna tidak mungkin pergi liburan tanpa
mandi dan dandanan kucel seperti itu. Awalnya Kartika menolak. Mana pernah sih
ia mandi di rumah orang? Namun semakin Kartika menolak, Dirga semakin
memaksanya. Akhirnya Kartika pun mau tidak mau menyetujuinya.
Tak lama kemudian
Fathan pun datang.
Di dalam mobil
yang dikemudikan Dirga, Kartika masih murung.
“Apa sesuatu yang
lo mau harus dipaksakan seperti ini?” tanya Kartika tiba-tiba.
“Dari kecil gue
selalu mendapatkan apapun yang gue mau. Bagaimanapun caranya.”
“Tapi itukan
namanya egois,”
“Hanya dengan
egois, kita bisa mendapatkan yang kita mau.”
Kartika hanya
mengangguk-nggaguk saja. Walau hati masih kesal kepada Dirga. Tapi ia sadar,
sejak kecil Dirga sudah dibesarkan di lingkungan keluarga yang berada, jadi
wajar kalau ia selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan. Tidak seperti
dirinya, kalau ingin sesuatu yang diinginkan ia harus rela mengorkankan
celengannya.
Kadang hidup ini
enggak adil, pikir Kartika. Kenapa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan
segalanya? Sedangkan orang miskin harus berusaha sekuat tenaga hanya untuk
sesuap nasi. Tidak hanya itu, orang kaya juga sering menjadikan orang-orang
miskin sebagai korban untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Misalnya saja,
beberapa wakil rakyat ada yang korupsi uang rakyat, sangat jelas itu
berpengaruh sekali pada rakyat. Kesejahteraan rakyat jadi tak terpenuhi.
Duh, kok aku jadi
mikir ini, sih? Kartika mengeleng-geleng kepalanya. “Astaga!” ucap Kartika
tiba-tiba.
“Kenapa?” tanya
Dirga ketus tapi peduli.
“Gue belum kasih
tahu Kakak gue”
“Telepon aja.
Susah amat.”
“Emangnya kita mau
liburan kemana?”
“Jogja,”
“Kenapa enggak
sekalian lo culik gue ke Mars?”
“Tadinya sih mau,
cuma tiket roketnya belum ada.”
Tak perlu tanggapi
orang sombong ini. “Terus gue harus bilang apa sama Kak Adnan?”
“Pergi liburan ke
Jogja bareng gue,”
“Enggak bisa gitu,
dong. Kak Adnan pasti enggak akan kasih izin kalo gue pergi jauh bareng cowok.”
“Disana udah ada
pacar-pacarnya Evan dan Fathan.”
“Gue kan enggak
kenal mereka,”
“Bilang aja, pergi
liburan ke Jogja bareng temen-temen SMP.”
Ide Dirga bagus
juga. Cukup untuk membuat hati Kak Adnan tenang. Tapi itu kan bohong? Jujur
saja, Kartika tidak terbiasa bohong pada Kakaknya itu. Tapi mau gimana lagi? Ia
sudah setengah jalan. Dengan terpaksa ia pun memakai alasan bohong itu.
Hatinya agak
tenang setelah menghubungi Kakaknya, walau sedikit merasa bersalah.
Tiba-tiba mobil
Dirga, Evan, dan Fathan menepi di depan sebuah mall yang masih tutup. Namun di
depannya sudah berdiri seorang berjas rapi menanti kedatangan Dirga dan
teman-temannya.
“Selamat pagi,
Tuan Muda!” sapanya, kemudian ia mengangguk hormat pada Dirga. Kemudian Dirga
dan Kartika dipersilahkan masuk. Sampai disana hanya ada belasan pelayan, Si
Pria berjas itu, Dirga dan juga Kartika. Tak ada satu pun pengunjung yang
datang.
Mall gede gini kok
enggak ada pengunjungnya, sih? Atau mungkin bukanya kepagian? pikir Kartika.
Dirga langsung
menarik Kartika ke toko pakaian wanita. Ia pun memilihkan pakian-pakaian yang
cocok untuk Kartika. Cukup untuk pakaian yang akan dibawa Kartika ke Jogja.
Dirga membiarkan Kartika memilih sendiri pakaian dalam dan untuk polesan akhir,
Dirga memakaikan Kartika topi dan kacamata.
Selesai mendandani
Kartika, semua pergi makan di tempat yang sudah dipesan Evan sebelumnya.
Makanan yang disajikan adalah makanan breakfast. Semua memang belum sempat
sarapan.
Banyak hidangan
yang disediakan di atas meja. Kartika yang terkenal rakus, makannya paling
banyak. Sampai-sampai membuat ngeri yang melihatnya. Meskipun tak semua makanan
ia jejalkan pada lambungnya, tapi itu sudah cukup membuatnya kekenyangan.
Rencana Evan dan
Fathan memang dibuat begitu matang. Jauh-jauh hari mereka sudah memesan tiket
pesawat menuju Jogja. Lama perjalanan pun dapat dipersingkat.
Jogja, I’m coming!
Karna bangun
kepagian di hari libur, Kartika pun tertidur dalam pesawat. Juga malam
kemarinnya ia tak bisa tidur. Mungkin tanda-tanda akan terjadi suatu yang buruk
hari ini. Ditambah makan yang banyak, membuatnya mengantuk berat.
Sampailah di
bandara Adi Sutjipto. Selesai pengecekan seluruh dokumen kedatangan dan seluruh
barang bawaan, semua bergegas menuju parkiran. Ternyata disana sudah ada dua
orang wanita cantik berdiri di depan tiga buah mobil menyambut kedatangan Dirga
dan teman-temannya.
***
Tiga buah mobil
itu segera melaju menuju Monumen Jogja Kembali. Puas berfoto-foto disana,
perjalanan dilajutkan ke Museum Keraton Yogyakarta. Banyak sekali benda-benda
kuno dan bersejarah khas kota Jogja. Ada juga beberapa foto keluarga kerajaan
dan susunan keluarga.
Ketika Kartika
tengah asyik melihat-lihat susunan keluarga kesultanan, Dirga menghampirinya
dan sedikit mengagetkannya.
“Asyik bener liat
foto-fotonya,” ucap Dirga sambil mencolek kuping Kartika.
“Ngagetin aja!”
“Bangunannya
keren, ya?” ucap Dirga lagi. “Kalo dibandingan hotel-hotel bintang lima di
Jakarta, masih lebih keren keraton ini. Ya, meskipun corak dan bentuknya
jadul.”
“Ya, jelas keren,
lah. Namanya juga bangunan bekas kerajaan. Bangunan jaman dulu kan lebih bagus
dari sekarang.”
“Dulu…” Dirga
mulai bercerita. “Waktu gue dan keluarga pertama kali datang ke Jogja dan
mengunjungi museum ini, gue pernah minta bokap gue buat beliin keraton ini
untuk gue.”
“Lo gila? Masak
mau beli keraton? Ini kan milik pemerintah.”
Namanya juga pikiran anak kecil.” Dirga mulai beraca-kaca. “Bangunan ini keren banget, pikir gue saat itu. Gue mau jadiin ini rumah gue bersama istri dan anak-anak gue.”
Namanya juga pikiran anak kecil.” Dirga mulai beraca-kaca. “Bangunan ini keren banget, pikir gue saat itu. Gue mau jadiin ini rumah gue bersama istri dan anak-anak gue.”
“Kenapa nangis?”
Kartika memberikan saputangannya pada Dirga.
“Enggak usah.”
Dirga menolaknya dan mengucek matanya dengan punggung tangan. “Tiap inget
kejadian itu, selalu bikin gue sedih. Itu adalah kali terakhir gue liburan sama
keluarga gue.”
“Kenapa gitu?”
“Waktu di hotel,
Papa tiba-tiba kena serangan jantung,” Dirga curhat. “Dan nyawanya tak dapat
ditolong. Dan sejak saat itu gue bener-bener kehilangan bokap gue. Dia adalah
orang pertama yang gue sayang. Meskipun dia selalu sibuk dengan kejaannya, tapi
dia selalu luangkan waktu buat gue. Di saat yang bersamaan nyokap gue juga
ninggalin gue dan Chika.”
“Dan sejak saat
itu juga lo marah sama Mama lo?”
“Siapa yang enggak
akan marah ketika baru aja kehilangan, lalu ditinggalkan gitu aja?”
“Mungkin saat itu,
gue akan melakukan hal yang sama. Gue butuh waktu untuk menerima itu semua.
Bahkan gue kehilangan kedua orang tua gue untuk selama-lamanya di saat yang
sama. Butuh waktu satu tahun lebih gue dapat menerima itu semua. Tapi Kak Adnan
selalu ada buat support gue, dan gue pun dapat menerima kenyataan.”
“Di saat terpuruk
lo masih mempunyai Kakak lo. Gue?”
“Lo punya Chika
yang selalu sayang sama lo,”
“Gue butuh yang
lebih dari itu,”
“Dari Mama lo?”
Dirga terdiam.
Dalam hatinya, ia membenarkan perkataan Kartika. Saat Papanya meninggal, ia
sangat butuh dukungan dan kasih sayang ibunya. Namun hal itu sangat bertolak
belakang dengan kenyataanya. Dari detik itu sampai sekarang, ia merasa belum
pernah mendapatkan kasih sayang ibunya. Dan tanpa sentuhan kasih sayang itu,
kini hatinya telah membatu.
“Andai lo mau
sedikit meluangkan waktu untuk bicara dengan Mama lo, dan sedikit membuka hati,
lo pasti akan mendapatkan kasih sayang itu.”
“Terlambat,”
“Enggak pernah ada
kata terlambat untuk mendapatkan yang kita inginkan.”
“Gue udah enggak
butuh nyokap gue lagi.”
“Tapi…” kata-kata
Kartika terpotong ketika Evan datang.
“Pulang, yuk!”
ajak Evan.
Kartika pun
mengangguk. Ia mengikuti langkah Dirga dan Evan yang sudah jalan duluan.
Padahal ia masih ingin berlama-lama dengan Dirga. Ia masih ingin bicara panjang
lebar dengan Dirga. Kalau begini kan, pembicaraan mereka jadi buntu.
Sebelum ke
penginapan, semua mampir di Malioboro untuk makan. Disana ada sebuah restaurant
yang cukup terkenal dan mewah yang menyajikan makanan khas Jogja. Makanan yang
disajikan kali ini pun lebih banyak dari yang tadi pagi. Dan meskipun sarapan
tadi pagi belum dikeluarkan, Kartika masih mampu menjejalkan banyak makanan di
lambungnya.
Baiknya gadis ABG
seperti dia memikirkan tentang berat badan. ABG zaman sekarang kan, gemuk
sedikit sudah diet ketat. Namun berbeda dengan Kartika, dia sama sekali tidak
pernah memperhatikan penampilannya. Dan tidak pernah mau peduli apa kata orang.
Tapi sebanyak apapun dia makan, dia tidak pernah menunjukkan perbahan besar
pada berat badannya.
Selesai makan di
restahurant yang ternyata milik Pamannya Fathan. Semua pergi ke sebuah villa
megah, jauh dari keramaian kota Jogja dan sangat nyaman milik keluarga Fathan.
“Disini ada enam
kamar dan pas untuk kita,” urai Fathan. “Tiga kamar diatas, sisanya dibawah.
Cewek-cewek tidur diatas aja.”
Ketika Kartika
sedang bersusah payah menuntun kopernya menaiki tangga. Sejak kapan sih Kartika
pergi-pergian pakai koper? Biasanya sih cuma pakai tas jinjing. Nah ini,
sekalinya pake koper, jadi repot sendiri. Mana yang bikin ia repot, malah sibuk
sendiri. Dirga nyebelin! gerutunya. Tiba-tiba pacar-pacar Evan dan Fathan
mengagetkannya dari belakang.
“Lo ceweknya
Dirga?” tanya salah seorang dari mereka, Sonia.
“Kakak nanya sama
aku?” tanya Kartika balik.
“Gue nanya
langit-langit,” jawabya ketus. “Ya, nanya sama lo, lah.”
“Aku… bukan
ceweknya Dirga,” Kartika mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Baguslah,” ucap
yang satunya lagi, Cathy. “Lagipula mana mau Dirga sama cewek model dia. Kita
aja ditolak mentah-mentah.” Mereka pun pergi dan masih memperbincangkan Dirga.
“Pacar Dirga?”
Kartika mulai membayangkan ketika ia dan Dirga ‘sayang-sayangan’. “Ih… Jangan
sampe, deh!” Ia pun melanjutkan susah payahnya menaikkan kopernya tersebut.
Kartika kedapatan
kamar paling pojokdan kecil. Karna kopernya itu, ia jadi tidak sempat
memilih-milih kamar. Ia pun mendapatkan sisa dari pilihan pacar-pacar Evan dan
Fathan. Tak apalah, yang penting dia dapat kamar.
Hari mulai malam.
Matahari sudah terbenam di ufuk barat. Kartika sudah merapikan seluruh barang
bawaanya. Baru saja ia merebahkan diri di kasur—melepas penat
seharian—tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Ika, lo udah
tidur?” sapanya ramah. Ini pasti bukan Dirga, pikir Kartika. Mana pernah Dirga
seramah ini?
“Belum,” Kartika
perlahan membuka pintu. Dihadapannya sudah ada Fathan. “Ada apa, Kak?”
“Kita jalan, yuk!”
ajak Fathan.
“Ini kan udah
malem?” Kartika melihat jam tangannya. “Udah jam 21:00.”
“Kalo di Jogja,
jam segini masih sore,”
“Enggak, ah. Aku
enggak akan ikut. Aku cape jalan seharian.”
“Kalo lo enggak
ikut, lo akan sendiri di rumah ini.”
“Kalo aku sendiri
emangnya kenapa gitu?”
“Villa ini agak
angker,” ucap Fathan sedikit berbisik.
Mendengar ucapan
Fathan, Kartika sedikit takut. Bulu kunuknya pun mendadak berdiri. Ia jadi
inget waktu dikerjai oleh Gina cs. “Masak sih, Kak?”
“Kalo lo enggak
percaya, nanti malem jam 24:00, akan keluar makhluk gaib dari dalem kolam.
Balkon lo kan pas banget langsung ke kolam.” ucapan Fathan semakin membuat
Kartika takut.
“Kakak jangan buat
aku takut, deh.”
“Aku serius.”
“Emangnya kalian
mau pulang jam berapa?”
“Malem banget,
deh! Kalo lo enggak ikut, lo bakalan terus diganggu sama makhluk gaib itu
sampai kita pulang nanti.”
“Ya udah, deh,” Kartika
pun menyerah. Takut juga kalau harus tinggal berdua bareng makhluk gaib. “Aku
ganti baju dulu, ya!”
“Ok. Kita tunggu
di bawah. Cepetan, ya!”
Sedetik kemudian
Kartika muncul di ambang pintu. “Kak,” Fathan membalikkan tubuhnya. “Emang dia
keluarnya tiap hari?”
Kartika memang
mudah sekali dibohongi. Tapi ini adalah sebuah keuntungan bagi Fathan, namun
lama-kelamaan keberuntungan ini berubah menjadi rasa kesal. “Iya,”
“Kakak pernah
liat?” tanya Kartika lagi.
“Udah tiga kali.”
“Gimana rupanya?”
Kartika semakin semangat menanyai Fathan.
“Jelek banget,”
ucap Fathan semakin ketus. “Udah. Sekarang lo pergi ganti baju! Yang lain udah
nunggu di bawah.” ucap Fathan sambil mendorong Kartika masuk kamarnya.
Tibalah Kartika di
sebuah tempat yang sangat asing baginya. Tempatnya penuh kelap-kelip lampu
remang-remang. Musiknya yang begitu keras membuat seisi pengunjung berbicara
sambil berteriak satu sama lain. Tempat apa sih ini, pikir Kartika.
Sesampainya di
ambang pintu, Kartika agak menolak untuk masuk. Tempat ini terlalu aneh
untuknya. Namun Fathan menariknya ke kursi panjang yang di depannya sudah
tersedia beberapa botol minuman keras.
Evan menuangkan
wine itu pada enam gelas. Semua mengangkat gelas yang terisi wine itu dan
mengatakan ‘Cheers’. Dan hanya Kartika yang tidak melakukan hal itu.
“Ika, kok enggak
diminum?” tanya Evan.
“I… itu minuman
keras, ya?” jawab Kartika sedkit risih.
“Kadar alkoholnya
rendah, kok.”
“Enggak ah.
Makasih.”
“Udahlah. Kalo
enggak mau, enggak usah dipaksa,” ucap Dirga.
“Turun, yuk!” ajak
Chaty. Semua pun beranjak dari tempat duduknya, kecuali Kartika.
“Aku juga enggak
ikutan, deh.”
“Kalo gitu, lo
enggak boleh kemana-mana. Kalo ada apa-apa, panggil aja kita disana,” sambil
menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang sedang menari tak keruan diiringi
musik yang memekakan telinga. Kartika hanya menggangguk.
Lama menunggu,
Kartika mulai merasa bosan dan haus. Kemudian ia pergi ke tempat pemesanan
minum. Dan memesan air putih.
“Disini tidak
disediakan air putih.”
“Kalo maksud Mbak,
mau minuman tanpa alkohol. Kami menyediakan soft drink.”
“Soft…
drink?”—boleh juga sih, “tapi enggak jadi deh, Mas. Makasih.”
Bartender itu pun
mengangguk dan melayani orang di sebelah Kartika. Tiba-tiba datang seorang
laki-laki berpenampilan rapi dan nampak ramah. Tinggi, cukup tampan, dan
terlihat beberapa tahun lebih tua dari Kartika. Ia duduk di sebelah Kartika.
“Hai!” sapanya
ramah. “Aku Raka. Boleh tahu nama kamu?”
Awalnya Kartika
agak takut. Ia memperhatikan laki-laki itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Setiap kali bertemu orang asing, ia sekalu ingat ucapan Kakaknya, “Jangan mudah
bergaul sama orang asing.”
“Apa muka aku
tampang orang jahat?” Wajah dan penampilannya sih tidak menampakkan tampang
orang jahat. “Jadi, boleh tahu nama kamu?”
Kartika mengulurkan
tangan dan menjabat tangan Raka. “Aku Kartika.”
“Nama kamu bagus,”
“Makasih.”
“Lo kesini
sendiri?”
“Ah, enggak.
Temen-temen aku lagi disana,” sambil menunjuk kerumunan yang ditunjukkan
Fathan. Kartika yang masih kehausan, nampak gelisah dan memandangi setiap sudut
diskotik itu. Semoga saja ada segelas air putih.
“Kamu kenapa?”
“Aku agak haus.
Tapi disini enggak ada air putih.”
“Kamu enggak suka
minum?”
Kartika mengangguk
malu-malu.
“Baru pertama
kesini, ya?”
“Iya,” jawabnya
agak malu-malu,
“Ini aku bawa air
putih,” Raka menyodorkannya ke arah Kartika.
Kartika tidak
segera mengambilnya, ia malah memandangi wajah Raka. Dapatkah ia menaruh
kepercayaan pada Raka? Wajahnya sih sama sekali tidak mencurigakan. Lagipula
rasa haus yang Kartika rasakan tak dapat ditahan lagi. Perlahan ia pun
mengambil botol dari tangan Raka. Walau masih ragu, Kartika meminum air
tersebut.
“Makasih,” ucap
Kartika sambil mengembalikan botol itu pada Raka.
“Buat kamu aja,”
Beberapa menit
kemudian Kartika mulai merasakan pusing hebat. Seakan-akan semua benda yang ada
di hadapannya mengeliinginya. Wajah Raka pun mendadak ada lima.
“Mas, kok jadi
pusing gini, ya?”
Nampaknya minuman
yang Raka berikan bukanlah air putih biasa, melainkan sejenis minuman keras.
Walaupun minuman keras itu berkadar alkohol rendah, namun itu sudah membuat
Kartika mabuk.
Ketika Raka hendak
menggendong Kartika, Dirga datang dan langsung meninju Raka. Seketika itu juga
Raka tersungkur. Kartika pun terlepas dari pegangan Raka dan terjatuh ke sudut
ruangan. Kemudian ia segera menghampiri Kartika yang tergeletak setengah tak
sadar di atas lantai.
“Ika, sadar! Lo
kenapa?”
“Hhmm…” Kartika
masih setengah sadar. “Ga, kok lo gantengan, ya?”
Ada yang tidak
beres. Mulut Kartika bau alkohol. Raka telah memberi Kartika minuman berakohol.
Dirga membenahi posisi Kartika. Kemudian ia kembali mengurusi Raka. Ditariknya
kerah baju Raka. Lalu ia meninjunya lagi. Mendengar keributan, semua yang ada
di diskotik itu mengerumuni Dirga dan Raka.
“Lo apain cewek
gue?” teriak Dirga.
“So… sorry, Ga,”
jawab Raka tergagap. “Gue enggak tahu kalo dia cewek lo.”
“Lo apain cewek
gue?” teriak Dirga semakin keras. Raka pun kena tinjunya lagi.
“Gue cuma kasih
minuman doang,”
Dirga meninjunya
lagi. “Lo enggak tahu siapa gue? Lo berani macem-macem sama gue?”
“Gue bener-benar
minta maaf,” Dirga tak menggubris kata maaf yang diucapkan Raka. Ia pun tak
berhenti melayangkan tinjunya pada wajah Raka. Raka pun tak dapat berkata-kata
lagi, ia hampir tak sadarkan diri. Wajahnya sudah babak belur.
Kemudian datanglah
Evan dan Fathan yang menghentikan Dirga. “Ga, cukup! Sekarang lo urusin
Kartika! Biar anak ini kita yang beresin.”
Dirga lupa kalau
masih ada Kartika. Karna emosinya yang meledak itu, ia jadi melupakan Kartika
yang lebih membutukannya. Ia pun segera menghampiri Kartika dan menggendongnya.
Ketika Dirga
hendak membukakan pintu mobil untuk Kartika, tiba-tiba Kartika memegang bahunya
dengan keras. Keduanya saling berhadap-hadapan. Awalnya Dirga terkejut, namun
kemudian ia meladeni Kartika yang nampaknya akan bicara ngawur padanya.
“Dirga…” Kartika
bicara setengah sadar. “Sumpah, lo adalah orang ternyebelin yang pernah gue
temui di dunia ini. Tapi gue enggak menyesal pernah kenal lo. Anehnya lagi,
tiap gue sama lo, gue selalu merasa nyaman banget.” Senyum lebar pun menghiasi
wajah Dirga. Ia baru tahu, meskipun selama ini mereka selalu adu mulut, tapi
Kartika selalu merasa senang di sisinya.
Dan tiba-tiba…
Kartika memuntahi baju Dirga. Sontak saja Dirga mendorong Kartika. Kening
Kartika pun terbentur kaca mobil dan sedikit lecet.
“Aaaa…” rengek
Kartika. Ia pun langsung pingsan.
Dirga yang super
bersih dimuntahi Kartika, marahnya bukan main. “Kartika…” teriaknya. Untung
saja Kartika dalam keadaan mabuk, Dirga pun sedikit memakluminya.
Dirga menggendong
Kartika sampai ke kamarnya. Kemudian ia menidurkannya dengan penuh perhatian.
Ketika ia hendak mencium kening Kartika, ia baru sadar ternyata kening Kartika
terluka bekas terbentur kaca mobil tadi. Ia pun segera mengambil kotak P3K dan
mengobati luka Kartika.
Besok paginya,
Kartika bangun dalam keadaan yang masih setengah sadar dan kepala yang
cenat-cenut. Ia melihat sekeliling, ini kan kamar aku? Kok aku bisa ada disini?
Lalu ia mengingat-ngingat kejadian semalam. Ia diajak ke tempat aneh,
duduk-duduk, ketemu Raka, Dirga… dan enggak inget lagi. Apa yang terjadi
semalam? Ia masih bingung.
Di tengah
kebingungannya itu, Kartika masih mampu mencium aroma bubur yang nampaknya
lezat. Di samping bubur itu, ada juga segelas susu hangat, dan sepucuk surat
untuknya.
Buburnya buat
sarapan lo. Susunya buat menetralkan minuman keras yang lo minum semalam.
Meskipun enggak enak, harus lo abisin!
“Dirga?”
“Tapi apa
katanya, semalam aku minum?” Kartika masih bingung. “Apa minuman yang dikasih
Mas Raka? Ah, mana mungkin? Mas Raka kan keliatannya baik.” Walau masih
bingung, Kartika pun menyantap bubur tersebut. “Enak,”
Selesai makan,
Kartika turun ke lantai satu dan bergegas menuju dapur. Dan mencuci bekas
makannya sendiri. Meskipun ada beberapa orang pelayan, Kartika tidak mau
dilayani layaknya ratu di rumah itu. Selagi ia masih bisa melakukannya sendiri,
ia tidak akan menyusahkan orang lain. Badannya pun sudah agak enakan dan tidak
pusing lagi.
Ketika Kartika
sedang mencuci piring, datanglah Dirga. Kartika menghentikan sejenak mencuci
piringnya dan memperhatikan gerak-gerik Dirga. Dirga mengambil sebuah cangkir
dan sendok kecil, kemudian ia membuka lemari yang berisi botol-botol berbagai
minuman, kopi, gula, dan beberapa sachet minuman seduh. Ia mengambil satu
sachet cappucino, dan menyeduhnya dengan air panas dari termos.
Ketika hendak
keluar dari dapur, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Kartika.
“Ngapain lo liatin gue?”
“Aku cuma mau
bilang makasih atas perhatian lo. Makasih lo udah buatin gue bubur sama susu.”
“Sama-sama,”
jawabnya ketus. “Lain kali jangan repotin gue lagi! Dan satu hal lagi, jangan
gampang percaya sama orang yang baru Lo kenal!”
Muncul lagi deh
juteknya. Kartika hanya mengangguk-ngangguk. Ini semua kan berawal dari Dirga
juga. Kalau dia tidak mengajak Kartika berlibur, ia tidak perlu repot mengurusi
Kartika bila terjadi apa-apa.
Kartika
melanjutkan cuci piringnya, namun Dirga masih dia di tempat. Ia malah
senyum-senyum sendiri. Kartika jadi ngeri melihatnya. Selesai mencuci piring,
Kartika iseng menanyakannya pada Dirga. “Lo kenapa?”
“Gue cuma lagi
inget perkataan lo semalem pas mabok,”
Kartika
mengingat-ngingat kejadian semalam. Ia sama sekali tidak ingat apa yang
dikatakannya pada Dirga. Sekilas dalam ingatannya, ia memang sempat bicara
panjang lebar dengan Dirga. Tapi apa yang dibicarakannya?
“Emang semalem gue
ngomong apa?”
“Enggak penting
juga, sih.” Dirga pun berjalan menuju meja, dan duduk di salah satu kursinya.
Kartika berusaha
mengejarnya. Ia harus tahu apa yang ia ucapkan pada Dirga semalam. Bagaimana
kalau ia bicara yang aneh-aneh? “Dirga jangan buat gue penasaran. Please, kasih
tahu apa?”
“Kan udah gue
bilang enggak penting,”
“Tapi penting buat
gue,”
“Emang gue
peduli?”
“Ga, jangan gitu,
dong! Gue mohon, bilang sama gue.”
Dirga menatap tajam
pada Kartika dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Kartika. Membuat Kartika
jadi salah tingkah. Sambil menahan grogi, Kartika mencoba tidak melihat mata
Dirga.
“Liat mata gue!”
Dengan terpaksa Kartika melihat mata Dirga. Jantungnya semakin kencang berdetak,
dag dig dug tak keruan. “Lo suka sama gue?”
Jantung Kartika
seakan sudah berhenti bekerja, tak ada detak jantungnya lagi. Sekujur badannya
pun bergetar. Ucapan Dirga bagai petir yang menyambar ubun-ubunnya. Ia tak
mengerti mengapa Dirga bisa berpikiran seperti itu. Dan ia sendiri juga
bingung, apa yang harus ia jawab.
“Ng… enggak,”
jawabnya ragu, dan mendadak gagap.
“Jujur?” Semakin
membuat Kartika tak keruan. Kini sekujur tubuhnya sudah dibanjiri keringat
dingin.
“Gu....gue enggak
suka sama lo,” Kartika mencoba mengurangi groginya. “Jangan GR lo! Walaupun di
dunia ini cowok cuma lo, lebih baik gue enggak nikah-nikah selamanya.”
“Bener?”
“Udahlah,” Kartika
mendorong tubuh Dirga. “Omongan lo makin ngaco.” Ia pun pergi dengan
tergesa-gesa menuju kamarnya. Sekujur tubuhnya masih gemetar dan berkeringat
dingin.
“Lo enggak mau
tahu tentang kejadian semalem?” tanya Dirga saat Kartika masih di tangga.
Kartika
menghentikan langkahnya. “Enggak.”
“Yakin?” tanya
Dirga lagi.
“Yakin,” Kartika
pun setengah berlari menuju kamarnya. Meskipun ia masih penasaran, apa yang ia
katakan pada Dirga semalam. Tapi yang penting sekarang, ia harus menstabilkan
seluruh kerja anggota badannya.
Tak lama kemudian
Evan menghampiri Dirga dan menyeruput cappucino milik Dirga yang sudah mulai
mendingin.
“Lo apain
Kartika?” tanyanya kemudian.
“Enggak. Dia
enggak gue apa-apain.”
“Terus kenapa dia
lari ketakutan gitu?”
“Abis liat setan
kali,” tebak Dirga. Tapi ia tahu sendiri mengapa Kartika begitu. Kartika jadi
salah tingkah karna pertanyaannya tadi.
“Setannya Lo,”
Kalau seperti
biasa, setiap kali diejek atau disindir Evan mapun Fathan, Dirga selalu marah
atau jadi ketus, kali ini ia berbeda. Ia malah jadi senyum-senyum sendiri lagi.
Jadi buat Evan merinding.
“Wah, kalian
berdua kesambet! Ihh…” Evan pun pergi.
***
Pikiran Kartika
masih tak keruan. Badannya pun masih gemetar. Walau ia sudah cuci kepalanya
dengan sampo dan mencuci sekujur tubuhnya dengan sabun. Kini badannya terasa
lemas. Selesai mengganti baju dan mengeringkan rambutnya, ia merebahkan diri
dai atas tempat tidurnya.
Belum lima menit
ia terlelap, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terjadi lagi. Kenapa sih orang
hobby banget ganggu yang mau tidur? Dengan malas Kartika beranjak dan
membukakan pintu.
“Kak Evan?”
Dilihatnya Evan sedang bersandar pada dinding sambil melipat tangannya. “Ada
apa, Kak?”
“Gimana keadaan
lo? Udah baikan?”
“Lumayan,”
“Kalo gitu… lo mau
ikut jalan, enggak?”
“Ke tempat yang
kemaren? Enggak, deh. Aku di rumah aja.”
“Bukan,” sanggah
Evan. “Kita mau ke pantai. Ikut, ya?” Kartika masih menimbang-nimbang. “Ikut
aja, biar badan lo jadi lebih fresh.”
“Ya udah, aku
siap-siap dulu, ya!”
“Ok. Kita tunggu
di bawah, ya!”
Tujuan hari ini
adalah khusus pantai yang ada di Jogja. Tujuan pertama adalah Pantai Baron dan
Kukup. Perjalanan dari villa Dirga menuju Pantai Baron dan Kukup cukup memakan
waktu. Meskipun akhir pekan, namun jalan tidak begitu macet.
Sampailah di
pantai yang menjadi salah satu daya tarik kota Jogja. Banyak wisatawan yang
datang untuk menikmati indahnya pantai pada siang hari ini, baik wisatawan
domestik maupun mancanegara.
Matahari yang
cukup menyengat pada hari ini. Banyak diantara wisatawan asing yang berjemur di
pinggir pantai. Berjalan di atas pasir putih yang lembut tanpa alas kaki
sungguh mengasikkan. Perjalanan dipimpin oleh Dirga. Kartika yang ada di
belakangnya hanya diam saja sambil lirik kanan lirik kiri memperhatikan
aktivitas semua orang di pantai pada hari itu. Selain yang berjemur, ada juga
yang berjualan, berenang, berselancar, dan banyak anak yang membuat istana
pasir. Evan dan Fathan malah asyik pacaran dengan Chaty dan Sonia.
Lama Kartika dan
Dirga berjalan, tanpa mereka sadari, keduanya telah ditinggal Evan dan Fathan.
“Ga,” Kartika
menepuk-nepuk bahu Dirga. Ia yang pertama kali menyadari telah ditinggal
berdua.
“Apa?” Dirga
menghentikan langkahnya, namun pandangannya masih lurus ke depan.
“Kak Fathan sama
kak Evan enggak ada,”
Dirga membalikkan
tubuhnya 180°. Dan ia tidak mendapati kedua sahabatnya berada di belakangnya.
Ia pun melanjutkan langkahnya.
“Kok lo diem aja?”
“Terus?”
“Ya, kita nyari,
dong! Gimana kalo mereka diculik?”
“Mereka udah gede,
Kartika . Mereka juga bisa jaga diri sendiri. Paling juga lagi pacaran,” Mereka
pun melanjutkan langkahnya.
Tak ada yang mau membuka
pembicaraan. Kartika juga tidak mengoceh. Lama-lama bosan juga. Dirga pun
memulai perbincangan. “Cape enggak, jalan terus?”
“Sedikit,”
“Mau enggak sewa
sepeda?” tawar Dirga.
Kartika pun
mengangguk. Ia juga cudah cukup lelah berjalan. Sewa sepeda boleh juga.
Sekalian irit tenaga plus irit waktu.
Mereka menggunakan
sepeda sewaan menyusuri jalan beraspal di sepanjang garis pantai. Sungguh
romantis bersepeda di jalan yang cukup sepi kendaraan dengan pemandangan ke
laut lepas.
Lelah bersepeda
cukup jauh dari pantai semula, mereka menepi. Jalan beraspal itu beberapa meter
lebih tinggi dari laut dan berpondasi pada batu karang yang setiap hari di
terjang ombak. Pantai dan jalan dibatasi dengan pagar beton setinggi satu meter
yang kuat.
Kartika
merentangkan tangannya, memejamkan matanya, dan membiarkan rambutnya yang
terurai tertiup angin pantai. Perlahan ia membuka matanya, sungguh indah
memandang indahnya lautan lepas.
Ia jadi ingat
terakhir kali ia pergi liburan bersama keluarganya. Ketika itu sedang liburan
hari raya, keluarganya memilih berlibur ke pantai Pangandaran. Kebahagian
menyelimuti keluarga Kartika yang saat itu masih utuh.
Sampai pada saat
kebahagian itu harus sirna, saat kedua orang tua Kartika kecelakaan pesawat
menuju Medan. Kedua orang tua Kartika pada saat itu harus pergi untuk mengurusi
pekerjaan mereka yang selalu pergi-pergi ke luar kota. Adnan dan Kartika
dititipkan pada Mang Yayan—adik ibunya Kartika—yang berada di Ciamis. Pesawat
yang ditumpangi kedua orang tua Kartika jatuh di Selat Sunda. Dan sampai
sekarang, bangkai pesawatnya tidak dapat ditemukan. Seluruh penumpang beserta
piLot dan pramugarinya pun jasadnya tak dapat ditemukan. Kartika hanya bisa
berharap ada keajaiban, bahwa pada suatu saat nanti orang tuanya datang ke
rumahnya dalam keadaan sehat wal’afiat, atau setidaknya jasad mereka bisa
ditemukan.
Sejak saat itu
Adnan dan Kartika tinggal dengan Mang Yayan. Beliau tidak mempunyai anak-istri.
Ia memilih hidup melajang selamanya sejak cintanya ditolak Sang Ayah Mertua.
Mang Yayan pun mencari kesibukan sendiri dengan menjadi nelayan. Dengan
keuleutannya itu, ia telah menjadi salah satu saudagar besar ikan di Ciamis.
Dua tahun yang
lalu Tuhan mengambil nyawanya karna diabetesnya yang sudah akut. Bandar ikannya
pun diwariskan pada Adnan. Namun belum juga sebulan bandar ikan itu sudah
hampir bangkrut karna Adnan tidak mampu mengeLolanya dengan baik. Bandar ikan
itupun ia jual lalu pindah ke Jakarta. Kedua orang tua mereka masih mempunyai
rumah yang cukup luas—yang ditinggali Kartika sekarang. Adnan melanjutkan
kuliahnya juga Kartika melanjutkan sekolahnya dari warisan peninggalan orang
tua mereka. Sebulan tinggal di Jakarta lagi, Adnan diterima sebagai karyawan di
salah satu perusahaan swasta.
Setiap kali
mengingat masa kecilnya, Kartika selalu menitikkan air mata. Ia pun kembali
memejamkan matanya. Muncul satu persatu orang yang sangat ia sayangi yang telah
lebih dulu dipanggil Sang Pencipta.
Dirga yang dari
tadi memperhatikan Kartika, jadi merinding sendiri.
“Ika,” Dirga
memegang lembut bahu Kartika. “Lo baik-baik aja, kan?”
“Hah?” Kartika
segera menghapus air matanya.
“Kenapa nangis?”
“Gue enggak
nangis, kok.”
“Jangan bohong!
Mata lo berair,”
“Gue cuma lagi
kangen sama Mama Papa gue”
Lalu Dirga memeluk
Kartika. Awalnya Kartika sedikit menolak, namun Dirga memeluknya erat. Kartika
pun membalas pelukan Dirga.
“Kalo mau nangis,
enggak perlu ditahan.” ucap Dirga lembut—tumben. “Enggak perlu merasa bersalah
atau malu. Lo boleh pake bahu gue buat nangis.”
Dirga mengerti apa
yang sekarang sedang Kartika alami. Karna ia pernah mengalami hal itu pada saat
Papanya meninggal dulu. Saat itu tak ada seorang pun yang mau membantunya
meringankan kesedihannya. Ia tahu bangaimana perasaan Kartika sekarang ini. Dan
kini ia teringat lagi pada Papanya. Hampir saja ia menitikkan air mata
mengingat hal itu.
Tangis Kartika pun
tak terbendung lagi. Semua tangis kesedihan yang selama ini ia pendam,
terluapkan saat itu juga. Ia menangis sesegukkan di bahu Dirga. Beberapa menit
kemudian, Kartika sudah selesai meluapkan semua kesedihannya. Dirga melepaskan
pelukannya.
“Lebih enakan,
kan?”
Kartika mengangguk
dan menghapus air matanya.
“Kalo gitu lo siap
dong, buat balapan sepeda sampai sana?” Dirga menunjuk ke arah jajaran pedagang
yang menjajakan dagangan mereka dekat pantai selepas pagar beton. Sekitar 500 m
dari tempat mereka berada sekarang.
Kartika menarik
napas panjang dan menghembuskannya. Lalu ia mengangguk. Kedua segera menaiki
sepeda masing-masing.
“Yang kalah
dihukum,”
“Biar gue yang
itung,” tawar Kartika.
Giliran Dirga yang
mengangguk.
“Satu…” Kartika
memberi aba-aba. “Dua…” Keduanya mulai bersiap-siap. “Tiga,” kata Kartika
sambil menendang ban depan sepeda Dirga. Ia pun melesat lebih dahulu
meninggalkan Dirga yang terjatuh tertimpa sepedanya.
“Aghh…” teriak
Dirga. Ia pun segera bangun dan mengejar Kartika yang sudah cukup jauh darinya.
Kartika yang lebih
dulu sampai finish. Walau sudah sekuat tenaga Dirga mengejar Kartika, namun
tetap Kartika yang memenangkan balapan. Beberapa saat kemudian Dirga pun sampai.
“Yee…” teriak
Kartika kegirangan. “Gue menang.”
“Enggak sah,”
sanggah Dirga.
“Kenapa gitu?”
“Lo kan udah
curang,”
“Lo kan enggak
bilang, enggak boleh curang. Lo tetep harus dihukum.”
“Enggak bisa gitu,
dong. Pokoknya Lo yang dihukum karna lo udah curang.”
“Ya bisa, dong. Lo
kan cuma kasih peraturan, yang kalah harus dihukum. Lo kan kalah, jadi harus
dihukum. Salah lo sendiri kasih peraturan cuma itu doang?”
“Sekali enggak,
tetep enggak,”
“’Gue selalu
konsisten sama ucapan yang pernah keluar dari mulut gue’, itu kan yang pernah
lo bilang sama gue?”
“Oke,” Dirga
mengalah. Salahnya sendiri bilang seperti itu. “Lo mau kasih gue hukuman apa?”
“Sambil gue mikir,
kita minum dulu, ya?” ajak Kartika. “Gue haus, nih. Lo juga, kan?” Kemudian ia
mengoes sepedanya menuju warung minuman beberapa meter di depan mereka. Dirga
mengikutinya dari belakang. Sambil berpikir hukuman apa yang akan ia terima,
mudah-mudahan enggak yang aneh-aneh.
Kartika mencari
tempat duduk untuknya dan Dirga. Ada beberapa kursi yang kosong dan sebagian
sudah ditempati beberapa pengunjung. Kartika memilih tempat duduk yang paling
ujung, yang bisa langsung memandang ke pantai. Tak lama kemudian Dirga datang
dengan dua gelas minuman dingin.
“Makasih,”
Dirga tak
menjawab, kemudian ia duduk dan meneguk minumannya.
“Gue udah tahu
hukuman yang pantes buat lo,”
“Apa?” Dirga masih
kesal atas kekalahannya.
Kartika menunjuk
ke arah atas menyerong ke kanan sedikit. Tepat menunjuk ke arah buah kelapa
yang menggantung pada pohonnya. Kartika menatap Dirga dengan tatapan memohon
tapi manja.
Dirga memandangnya
heran. “Maksud lo?”
“Gue mau minum air
kelapa,”
“Lo mau gue
manjat, buat metik kelapa itu?”
Kartika mengangguk
kuat.
“Disini banyak
gitu, orang yang jualan air kelapa muda. Kenapa harus susah-susah manjat? Gue
bisa beliin 100 buah kelapa buat Lo. Gue enggak mau. Lo panjat aja sendiri.”
“Kalo beli bukan
hukuman namanya. Kalo beli gue juga bisa.”
Dirga tak
menjawab. Ia ingat kata-katanya sendiri, selalu konsisten dengan semua
ucapannya. Ia pun bergegas menuju penjaga warung tempatnya membeli minum
sekaligus pemilik pohon kelapa yang ditunjuk Kartika. Setelah bernegosiasi
beberapa menit, Dirga memberikan beberapa lembar rupiah kepada orang tersebut.
Penjaga warung itupun sementara digantikan oleh anaknya.
Sampailah di pohon
kelapa yang dimaksud. Dirga mulai bersiap-siap untu naik. Ada beberapa
percakapan sebelumnya. Kemudian si pemilik pohon itu menunjuk ke salah satu
buah kelapa, yang nampaknya buah kelapa tersebut yang harus dipetik Dirga.
Dari jauh Kartika
berteriak, “Dirga… lo yang harus manjat, ya!”
“Pacarnya ya,
Mas?” tanya si pemilik pohon kelapa.
Dirga hanya diam.
Kemudian ia mulai memanjat. Sampai diatas Dirga langsung memutar-mutar buah
kelapa yang dimaksud, dalam hitungan detik buah kelapa itu sudah jatuh—mahir
juga, ya! Perlahan Dirga pun mulai turun.
Setelah Dirga
turun, ia berjalan mengikuti si pemilik pohon yang sudah berjalan beberapa
meter darinya. Si pemilik pohon itu langsung memapas buah kelapa yang dipetik
Dirga, lalu memberikan sebuah sedotan dan payung kecil sebagai penghias pada
luang kecil yang ia congkel pada buah kelapa tersebut sebelumnya. Kemudian
dibeikan kepada Dirga.
Dirga berjalan ke
arah Kartika. Kartika yang dari tadi menyaksikan serta beberapa orang
disekitarnya tersenyum geli melihat kelakuan Dirga.
“Ini, Tuan Putri!”
Dirga menyimpan buah kelapa tersebut di hadapan Kartika.
“Makasih,” ucapnya
sambil tersenyum manja. Kemudian ia meminumnya. “Dimana-mana kalo langsung
dipetik dari pohonnya, segernya beda. Enak banget!”
Dirga yang masih
kesal hanya diam menanggapi ocehan Kartika.
“Mau coba?” tawar
Kartika sambil menyodorkannya kepada Dirga. Dirga kekeh untuk diam.
“Jangan jaim gitu,
dong! Enak, kok,” tawar Kartika lagi.
Penasaran juga
sama rasanya. Meskipun sudah puluhan kali ia minum air kelapa muda, tapi gimana
rasanya kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon, ya? Apalagi ini ia
sendiri yang petik. Perlahan ia pun mengambilnya, dan menyeruputnya. Enak!
Kemudian ia
mengambil alih kelapa muda itu dari tangan Kartika dan menuruputnya sekali
lagi. Wah, kejadian lagi! Kartika tidak bisa tinggal diam melihat kelapa muda
miliknya diambil. Meskipun itu dipetik Dirga, namun tetap saja kepemilikannya
tetap sah punya Kartika. Sudah dua kali ia mengalah haknya diambil begitu saja.
Dan ia tidak mau hal itu terulang untuk ketiga kalinya.
Kartika berusaha
sekuat tenaga untuk meraih kelapa mudanya. Dirga yang sudah beranjak dari
tempat duduknya Kartika kejar sampai dapat. Ketika Dirga sudah tidak berlari
lagi, Kartika sekuat tenaga meraih kelapa mudanya. Dirga pun semakin
meninggikan kedudukan kelapa mudanya. Semakin sulit untuk Kartika raih.
“Balikin kelapa
muda gue!” teriak Kartika. Ia mendadak jadi ganas.
“Buat gue aja,
ya!”
“Enggak mau itu
punya gue,”
“Ini enak, Ika.
Sayang kalo gue lewatin. Ini kan yang metik gue?”
“Enggak mau. Itu
punya gue. Balikin!” teriaknya semakin kencang.
“Ika malu diliat
orang.” Ternyata dari tadi banyak mata yang memperhatikan tingkah konyol
mereka. Ada yang berpendapat enggak ada kerjaan. Ada yang menganggapanya sebagi
hiburan karna kapan dan dimana lagi bisa liat hiburan gratis dan jarang ini.
Ada juga yang tidak peduli, dan sibuk dengan kerjaannya sendiri.
“Enggak peduli.
Gue cuma mau kelapa muda gue.”
Akhirnya Dirga
memberikan juga kelapa muda Kartika. Tapi ketika dilihat isinya, sudah tidak
ada setetes air pun. Untuk ketiga kalinya ia kalah berebut dari Dirga. Mengapa
selalu ia yang mengalah?
“Dirga…” geram
Kartika. Ia menjatuhkan buah kelapanya. Untung tidak kena kaki Dirga, karna
jatuhnya hanya beberapa sentimeter dari kaki Dirga. Lalu ia pergi dengan muka
cemberut.
Dirga yang merasa
bersalah mengejar Kartika dan menahan langkah. Berusaha meminta maaf pada
Kartika. Namun Kartika tidak mengubrisnya. Ia tetap melipat wajahnya dan terus
berjalan.
“Ika, maafin gue,
ya!”
Kartika tetap diam
seribu bahasa.
“Jangan marah
terus, dong! Please, maafin gue!”
“Gue udah bosen
maafin lo,”
“Jangan gitu,
dong! Tuhan aja Maha Pemaaf, masak lo enggak mau maafin gue?”
“Jangan bawa-bawa
Tuhan! Lo udah sering bikin aku kesel. Baru aja lo bikin aku seneng, sedetik
kemudian lo jadi ngeselin lagi. Apa bikin aku kesel udah jadi hobby lo?”
“Bukan gitu…”
kata-kata Dirga terpotong.
“Mau bilang
‘Abisnya enak, gue suka’, hah?”
“Ya, kan aku udah
minta maaf. Kalo gitu… gue petikin lagi, mau?”
“Udah enggak
mood,”
“Kalo gitu lo mau
apa?”
Jawaban atas
pertanyaan Dirga, Kartika hanya mendorong Dirga sampai terjatuh. Lalu ia pun
pergi. Namun langkahnya terhenti ketika ia tidak mendengar Dirga
berteiak-teriak minta maaf. Ketika ia melihat ke belakang, Dirga sudah tidak
ada disana. Hah, Dirga mana?
Kartika memandang
sekelilingnya. Namun tetap saja Dirga tak ada pada pandangannya. Jangan-jangan
Dirga meninggalkannya, terka Kartika. Bagaimana ia bisa pulang? Di Jogja ia
tidak punya kenalan siapapun. Ia tak tahu jalan pulang.
Tengok kanan,
tengok kiri ia tetap mencari Dirga. Namun Dirga tak kunjung ditemukan. Dan
tiba-tiba… Dirga sudah ada di hadapannya secara mengejutkan.
“Nyariin gue, ya?”
“Enggak,” jawab
Kartika marah, menutupi keterkejutannya.
“Maafin gue, ya!”
Dirga menunjukkan sebuah es krim di hadapan Kartika.
Kartika ingin
tersenyum melihat tingkah Dirga untuk dimaafkannya. Namun ia berusaha
menahannya dan tetap memasang wajah cemberut.
“Ambil, ya!” Dirga
memasang wajah memelas. “Kalo Lo ambil, berarti lo maafin gue,”
Kartika masih
diam. Rayuan Dirga ternyata belum mempan.
“Gue janji deh,
enggak akan ngerebut es krim lo. Soalnya gue juga punya,” Dirga menunjukkan es
krimnya. Ekspresi wajahnya bikin Kartika ketawa. “Nah, gitu dong! Marahnya udahan.
Kan kalo ketawa keliatan cantiknya.”
Kartika
kembali sinis.
“Masih mau tawaran
es krimnya?”
Kartika pun
mengambilnya juga. Itu artinya Kartika sudah memaafkan Dirga. Kartika pun tidak
melipat wajahnya lagi.
Keduanya pun
kembali ke tempat parkir sepeda mereka sambil makan es krim masing-masing.
Tiba-tiba Dirga jadi jahil, ia mencolek eskrimnya sendiri dan mengoleskannya
pada wajah Kartika. Lalu bergegas segera pergi, sebelum Kartika ngamuk lagi.
“Dirga…” teriak
Kartika. Hampir saja es krim di tangannya jagi peluru untuk nimpuk Dirga.
Dirga mengajak
Kartika untuk mendaki batu karang yang ada di Pantai Kukup. Dulu ketika ia
berlibur dengan keluarganya ke Jogja, ia sempat diajak Papanya ke tempat
tersebut. Ketika itu ia dan Papanya yang sangat menikmati keindahan laut dari
atas batu karang tersebut. Hal yang sampai ini masih tersimpan dalam memorinya
dan akan selalu tersimpan sampai kapanpun. Dan sekarang ia mau menunjukkan
keindahan tempat itu pada Kartika.
Letak batu karang
dengan Lokasi wisata pantai tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu
beberapa menit untuk sampai di tempat itu dengan sepeda. Untuk sampai ke atas,
harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak pelru menghabiskan banyak waktu,
hanya sekitar 10 menit. Belum banyak orang yang mengunjungi tempat itu.
Sampailah di
puncak batu karang tersebut. Apa yang dikatakan Dirga memang benar adanya.
Pemandangan Pantai Kukup dari ketinggian belasan meter sungguh menakjubkan.
Meskipun sejak tadi Kartika memandang ke arah laut dari berbagai titik, ia selalu
bergumam, “Sungguh menakjubkan!” dan di tempat inilah pemandangan laut yang
paling indah. Ia juga dapat melihat ke segala penjuru pantai. Dan melihat semua
aktivitas turis-turis di pantai. Benar-benar tak ada tandingannya.
“Keren banget!”
“Tempat ini masih
seindah dulu.”
“Kenapa lo baru
kasih tahu gue tempat sekeren ini?”
“Kenapa gue baru
kasih tahu lo? Karna biar sekalian kita liat sunset,”
Kartika meneliti
wajah Dirga. Lalu ia tersenyum sendiri.
“Ayo duduk!”
“Oh, iya,” Kartika
kembali memandang ke arah pantai. Keduanya pun duduk dan menikmati indahnya
salah satu cipataan Tuhan itu.
“Lo sering
kesini?” tanya Kartika menyelidik.
“Setiap kali ke
Jogja, gue pasti nyempetin buat kesini.”
“Bareng Kak Evan
sama Kak Fathan?”
“Enggak. Gue
kesini selalu sendiri,” Dirga melirik ke arah Kartika. Ia sadar telah membuat
Kartika keGRan. “Gue ajak lo ke sini cuma buat minta maaf aja soal kejadian
tadi,”
Kartika agak
cemberut. “Gue udah maafin, kok.”
“Bentar lagi
mataharinya terbenam,” ucap Dirga.
“Kita hitung
mundur!” ucap Kartika.
“Lima…” ucap
mereka berbarengan. “Empat… tiga... dua… satu,” Namun matahari belum terbenam.
“Lo ngitungnya
kecepetan,”
“Enak aja,” Dirga
tak mau kalah. “Lo yang ngitung duluan.”
“Lima…” ucap
mereka serempak lagi. “Empat… tiga…” Sang Surya pun terbenam. Dan malam mulai
menampakkan gelapnya. Aktivitas di bibir pantai pun sudah mulai berkurang.
Tidak banyak wisatawan yang masih berada di pantai.
“Indah banget,”
kata Kartika terkagum-kagum.
“Ayo kita pulang!”
ajak Dirga. Keduanya pun beranjak dan pulang.
Sampai di rumah,
ternyata Evan, Fathan, Chaty, dan Sonia sudah hendak pergi. Mereka bepapasan
dengan Kartika dan Dirga di ruang tengah.
“Yang abis pacaran
baru pulang,” sindir Evan.
“Maksud Kak Evan
apa? Kita enggak pacaran, kok. Kakak sendiri kemana? Ilang tiba-tiba.”
“Kita enggak
kemana-mana, dari tadi kita ngikutin kalian. Kaliannya aja yang ilang
tiba-tiba.”
“Sekarang Lo pada
mau kemana?” tanya Dirga.
“Mau ke
diskotiknya Mas Tommy,” jawab Fathan. “Kalian mau ikut?”
“Enggak, ah. Gue
di rumah aja,” jawab Kartika.
“Gue cape. Kalian
pergi aja.”
“Gatel-gatel ya,
abis manjat pohon kelapa,” ucap Fathan.
Hah? Mengapa
mereka bisa tahu? Kartika dan Dirga kaget mendengar ucapan Fathan. Apakah
mereka tahu semua yang Kartika dan Dirga seharian?
“Lo sekongkol
ngerjain gue, Ika?” Dirga jadi marah pada Kartika.
“Enggak, kok. Gue
juga heran, kenapa mereka bisa tahu.”
“Ah… Lo ngerjain
gue, Ika,” geram Dirga kesal.
“Sumpah… gue juga
enggak tahu,”
“Gue enggak
percaya,” Kartika langsung berlari menuju kamarnya. Dirga segera mengerjarnya.
Sementara yang lain hanya saling pandang dengan tatapan heran melihat kelakukan
Kartika dan Dirga. Lalu mereka pun memutuskan untuk pergi.
“Awas aja kalo lo
beneran sampe ngerjain gue!” ancam Dirga. “Gue enggak akan kasih ampun,”
Ketika di tangga,
Dirga berhasil menarik tangan Kartika. “Kena juga lo,”
“Dirga. Sumpah gue
enggak tahu apa-apa.” Kartika mengangkat kedua jemarinya membentuk huruf V.
“Bohong Lo!
“Beneran. Aku
enggak tahu,” Kartika meringis kesakitan. “Lepasin tangan gue! Sakit.”
“Enggak,”
“Berdua di rumah,
jangan ngelakuin yang macem-macem, ya!” pesan Evan di ambang pintu.
“Sialan Lo!” Dirga
melemparkan sepatunya ke arah pintu. Namun Evan segera menutup pintu, sebelum
sepatu Dirga membuat kepalanya pecah.
Saat Dirga lengah,
Kartika langsung melepaskan diri dan segera berlari ke kamarnya. Sampai di
kamar Kartika langsung mengunci diri di kamar. Sekarang ia sudah dapat bernapas
lega.
“Ika, buka!”
teriak Dirga dari luar.
“Enggak mau,”
“Cepet buka
pintunya!”
“Enggak mau,”
Kartika makin kekeh.
Lelah Dirga
berteiak-teriak di depan kamar Kartika. Ia pun bergegas menuju kamarnya dengan
hati yang masih diliputi kekesalan. Tidak ada gunanya menghabisakan energi
teriak-teriak di depan kamar Kartika, toh tidak akan membukaknya. Ia akan
menunggu ketika Kartika lengah.
***
Kartika masih
belum mengantuk. Walau seharian sudah berlelah-lelah dan bersenang-senang
dengan Dirga, sampai jam segini ia belum ingin tidur.
Kemudian ia
membuka pintu kaca yang menghubungkan kamarnya pada balkon kamarnya. Malam ini
angin begitu menusuk. Rasa dingin masih sangat terasa, walau ia sudah memakai
sweeternya. Tapi ia tidak mempedulikan angin yang tak berhenti mengibaskan
rambutnya yang terurai.
Tangannya sengaja
ia pangkukan pada pagar balkon. Wajahnya berseri-seri. Membayangkan indahnya
hari yang baru saja ia lewati. Kenangan yang Dirga berikan tadi siang sungguh
membekas pada dirinya.
Hari ini berlalu
begitu cepat. Padahal hari seperti ini jarang sekali ia temui. Jarang sekali ia
seceria hari ini. Ia berharap tidak pernah ada hari esok. Ia ingin selamanya
seperti hari ini. Bersenang-senang hanya berdua dengan Dirga. Dan tidak pernah
mengenal kata letih.
Tiba-tiba ponsel
berdering. Ia segera menghampiri ponselnya yang tergeletak di atas kasur.
Ternyata itu telepon masuk dari Hima.
“Hallo, Ma!”
sapanya agak gagap. “Ada apa?”
“Gue… cuma lagi
kangen aja sama lo. Gimana keadaan lo?”
“Baik, kok.”
“Kata Kakak lo, lo
lagi ke Jogja, ya?”
“Oh, iya.” Kartika
agak heran kenapa Hima tiba-tiba menelepon. Bagaimana kalo Hima sampai tahu ia
pergi bersama Dirga? Pasti Hima akan sangat marah padanya. “Bareng temen-temen
SMP,”—tidak mungkin ia bilang pergi bersama Dirga.
“Oh… Padahal tadi
siang gue ke rumah lo. Gue, Milly sama Winda mau ajak lo ke Puncak.”
“Ada acara apa ke
Puncak?”
“Kan hari ini
ulang tahun gue. Lo lupa?”
“Ah…” Kartika
sangat malu dan merasa bersalah karena lupa pada hari ulang tahun sahabatnya
sendiri. “Maaf. Gue bener-bener lupa.”
“Iya. Enggak
apa-apa, kok.” Hima menjadi sedikit diam.
“Hima? Lo marah?
Gue bener-bener minta maaf.” Kartika semakin merasa bersalah. “Selamat ulang
tahun, ya!”
“Iya. Makasih,
ya!”
“Tenang, deh.
Nanti gue beliin hadiah buat lo dari Jogja.”
“Gue pegang janji
lo, ya!”
“Iya, gue janji.”
“Udah dulu, ya!”
Hima mengakhiri pembicaraan. “Pestanya udah dimulai, nih!”
“Salam aja buat
Milly sama Winda.”
“Ok. Lo have fun
ya, sama liburannya!”
“Ok. Bye.” Setelah
menutup telepon, rasa bersalah pada Hima masih menyelimuti dirinya. Bodohnya ia
karna lupa pada ulang tahun sahabatnya sendiri.
Ia menjatuhkan
dirinya ke atas kasur. Lalu ia memukulkan ponselnya pada kepalanya sendiri. Dan
uring-uringan tidak keruan. Namun tiba-tiba ia mulai merasa lapar. Dari tadi
siang perutnya memang belum terisi makanan berat apapun. Ia pun segera bergegas
menuju dapur.
Ketika di tangga,
ia mendengar suara berisik tapi pelan dari arah dapur. Jangan-jangan… itu hantu
yang diceritakan Fathan. Bulu kuduknya mulai merinding. Walau rasa takut
merayap ke sekujur tubuhnya, namun ia memaksakan diri untuk melihat apa yang
dilakukan ‘hantu’ itu di dapur.
Dan yang ia dapati
di dapur bukanlan sesosok hantu maupun sejenisnya, melainkan Dirga yang sedang
kebingungan di depan kompor. Nampaknya Dirga ingin memasak, namun ia tak tahu
apa yang harus ia lakukan.
“Lo lagi ngapain,
Ga?” Kartika menghampiri Dirga.
Dirga sedikit
terkejut melihat Kartika yang muncul tiba-tiba. “Gue lagi masak,”
“Tapi yang gue
liat, lo malah berantakin dapur.”
“Gue kan baru mau
mulai,” Dirga mencoba mencari alasan untuk menutupi kebohongannya yang sok bisa
masak. “Lo sendiri ngapain disini?”
“Aku juga mau
masak,”
“Ya udah, Lo aja
yang masak.”
“Enggak apa-apa,
kok. Lo aja duluan.”
“Gue bilang Lo aja
yang masak. Sekalian masakin buat gue.” Dirga pun berjalan menuju meja makan
dan duduk di salah satu kursinya.
“Bilang aja enggak
bisa masak,” gerutu Kartika pelan.
“Ngomong apa lo?”
“Lo mau dimasakin
apa?” jawab Kartika tergagap.
“Terserah.
Pokoknya yang paling cepet, gue udah laper.”
“Nasi goreng mau?”
“Gue bilang
terserah,”
Kartika mulai
unjuk kebolehannya. Memanaskan minyak goreng di atas wajan dengan api sedang.
Memotong-motong bahan pelengkap lainnya, seperti wortel, daun bawang, sosis dan
cabai. Setelah minyak goreng panas, Kartika memasukan telur, diaduk-aduk sebentar,
lalu ia memasukkan bahan pelengkap yang ia potong tadi. Setelah bahan-bahan itu
masak, Kartika memasukkan nasi putih sebanyak dua porsi. Lalu ia mencampur
semua bahan. Dan untuk tahap akhir ia memasukkan sedikit garam dan kecap manis.
Ia kembali mencampur sampai semua nasi putih itu menjadi coklat. Dan nasi
gorengnya ia sajikan dalam dua piring.
Kartika memang
tidak terlalu pandai memasak. Hanya beberapa masakan kecil dan mudah yang bisa
ia masak. Semua pelajaran memasaknya ia dapat dari Adnan maupun Arini. Dan
mudah-mudahan Dirga tidak mencela hasil masakannya.
Kartika
menyodorkan satu piring kepada Dirga dan satunya lagi ia simpan di depan
kursinya. Lalu ia kembali ke dapur untuk mengambil dua gelas air putih untuknya
dan Dirga.
“Lo enggak masukin
racun, kan?” tanya Dirga sambil menatap aneh ke arah nasi goreng buatan
Kartika.
“Kalo mau,
silahkan lo makan! Kalo enggak, tahan aja lapernya.” Kartika pun mulai
menyantap hidangan di hadapannya. Begitu lahap. Membuat Dirga tidak was-was
lagi untuk ikut menyantapnya. Sampai tak tersisa sebutir nasi pun di piringnya.
“Lo enggak mati
kan abis makan nasi goreng gue?” sindir Kartika sambil mencuci piring bekas
makannya dan Dirga.
“Terpaksa aja gue
makan, meskipun enggak enak. Orang enggak ada sesuatu yang bisa dimakan selain
nasi goreng lo.”
“Ada enggak sih,
kata-kata lo yang nyenengin hati gue?” ucap Kartika dengan nada meninggi.
“Bilang makasih, kek!”
“Makasih,” jawab
Dirga ketus.
“Sama-sama,” balas
Kartika lebih ketus.
Ketika Dirga
hendak beranjak ke kamarnya, ia menghentikan langkahnya dan menghampiri Kartika
yang masih di dapur. Ia menarik tangan Kartika dan membalikkan tubuh mungil
Kartika sehingga bertatapan dengannya.
“Aw… sakit!”
rintih Kartika. “Lepasin!” Dirga semakin menguatkan pengangannya.
“Jujur sama gue!”
Dirga mendekatkan wajahnya pada wajah Kartika. Ia menatap tajam kedua mata
Kartika. Kartika sendiri agak risih dan takut dengan apa yang Dirga lakukan
sekarang. Bangaimana kalau Dirga sampai macam-macam padanya? Hanya tinggal ia
dan Dirga yang ada di rumah ini. Siapa yang akan menolongnya kalau Dirga
tiba-tiba… ? Tidak. Itu tidak boleh terjadi.
“Apa lo sekongkol
sama Evan dan Fathan buat ngerjain gue tadi siang?”
Ternyata itu yang
Dirga mau. Kartika sedikit lega. “Sumpah, Ga! Aku juga enggak tahu kenapa
mereka bisa tahu lo manjat pohon kelapa tadi siang.”
“Lo enggak bohong,
kan?”
“Beneran, Ga.”
Dirga melepaskan
genggamannnya. Pergelangan tangan Kartika merah. Ia pun melemaskan tangannya
sampai tak terasa sakit lagi. Tangan besi, gerutu Kartika.
“Terus mereka tahu
darimana?” Dirga menatap wajah Kartika.
“Gue juga enggak
tahu,”
Dirga masih
mondar-mandir kebingungan. Alisnya naik-turun.
“Udahlah, Ga.
Lupain aja! Mungkin mereka enggak sengaja liat. Lagipula kalo terus
diungkit-ungkit, enggak ada gunanya juga.”
“Gue udah enggak
mikirin itu, kok.”
“Terus lo lagi
ngapain mondar-mandir gitu?”
“Enggak.” Dirga
pun bergegas menuju kamarnya. Kartika bengong heran menatap Dirga, kemudian ia
melanjutkan cuci piringnya. Ketika ia berada di tangga menuju kamarnya, ia
mendengar pintu kamar Dirga terbuka. Karna penasaran, ia menoleh ke belakang.
Dirga sedang berdiri santai pada anak tangga pertama.
“Kenapa lagi?”
tanya Kartika.
“Selamat
tidur!”—Wah, Dirga kesurupan jin apa, nih?—“Mimpi indah, ya!” Dirga pun kembali
ke kamarnya.
“Selamat malam
juga!” balas Kartika sedikit heran pada tingkah Dirga.
***
Jadwal hari ini
adalah pergi berenang ke Water Park di daerah Kaliurang. Di tempat tersebut ada
salah satu tempat wisata milik keluarga Evan. Khusus untuk hari ini tempat
wisata Water Park tersebut tidak dibuka untuk umum. Evan sudah menjadwalkan
tempat tersebut hanya untuk liburan teman-temannya.
Setibanya disana,
telah tersedia meja panjang berisi macam-macam jenis makanan dan minuman yang
berwarna-warni di pinggir kolam. Ada juga DJ yang memutar sebuah musik disco.
Membuat pendengar ingin mengoyang pinggul ke kanan dan ke kiri.
Semua telah
bersiap-siap untuk berenang. Setelah berganti pakaian dan melakukan sedikit
pemanasan, satu per satu dari mereka mulai masuk ke dalam kolam berenang.
Menikmati beberapa wahana water boom. Sungguh mengasyikkan. Semua tertawa
lepas.
Setelah
berlelah-lelah berada di air, Kartika beranjak dan menutupi sebagian tubuhnya
yang mulai kedinginan dengan handuk. Cukup untuk menghangatkan tubuhnya,
perutnya mulai keroncongan. Ia berjalan menuju meja penuh makanan di pinggir
kolam.
Sesaat ia hanya
terkesima melihat begitu banyak makanan yang ada. Sampai ia pusing untuk
menyantap yang mana dulu. Lalu matanya tertuju pada kue brownies. Ia langsung
menjejalkan tiga potong kue tersebut. Sepertinya itu adalah satu-satunya kue
brownies yang tersisa di dunia ini.
“Uhuk… uhuk…” Kue
yang dimakannya berhamburan keluar dari mulutnya. Ia jadi tersiksa sendiri.
Matanya berkaca-kaca. Pipinya memerah.
Kemudian datang
Evan menepuk-nepuk punggungnya. Kartika pun dapat memuntahkan kue yang
dimakannya ke balik semak-semak. Evan pun memberikan segelas minuman pada
Kartika.
“Makanya kalo
makan pelan-pelan aja,” ejek Evan. “Enggak perlu takut kehabisan. Tinggal minta
dikirim lagi dari cateringnya, Lo bisa makan 100 kue brownies.”
Kartika menunduk.
Dalam hati ia mengumpat diri sendiri. Betapa malunya ia. Pipinya semakin
memerah.
Kemudian Evan
memberi Kartika segelas jus jeruk dan mengajaknya duduk di tepi kolam. Membenamkan
sebagian kakinya ke dalam air.
“Makasih ya, Kak.”
kata Kartika.
“Sama-sama,” jawab
Evan. “Lain kali jangan rakus lagi, ya!”
“Aku enggak
rakus,” sanggah Kartika. “Aku cuma lagi laper aja.”
Hening sesaat.
“Mel,” kata Evan. Kartika menatap wajah Evan penuh tanya. “Menurut Lo, Dirga
itu orangnnya gimana?”
“Nyebelin.” Satu
kata, namun bermakna.
“Selain itu?”
tanya Evan lagi.
Kartika melihat ke
arah Dirga yang masih asyik bermain. “Kadang baik, kadang… ya itu nyebelin.
Mungkin ganteng, jutek, sombong… tapi sangat membutuhkan kasih sayang.”
“Lo suka sama
Dirga?”
Kartika terkejut
mendengar ucapan Evan. “Ah, Kakak ada-ada aja,” jawab Kartika terdengar ragu
dan jadi salah tingkah. “Mana mungkin aku suka sama cowok kayak gitu.”
“Apa karna ada
temen lo yang suka sama Dirga?”
Darimana Evan tahu
kalau Hima suka sama Dirga? “Enggak,” sanggah Kartika lagi. “Lagipula aku mau
fokus aja dulu sama sekolah.”
“Dirga tenggelam.”
teriak Evan pelan.
Kartika langsung
mencari-cari Dirga. Ia sudah gelisah tak keruan. Namun orang yang dikawatirkan
ternyata tidak apa-apa. Dan Evan pun sudah tidak duduk di sampingnnya.
Lagi-lagi Kartika berhasil dibohongi. Apa maksudnya dia bohong kali ini?
Sudah cukup lama mereka bermain-main di dalam air. Bermain volly air, berenang,
dan bermain wahana permainan yang ada. Mereka semua pun beranjak, memakain
piyama berenang masing-masing dan bergegas mandi.
Usai mandi mereka
semua menyantap makanan yang tersedia di meja panjang pinggir kolam.
Menari-nari ringan diiringi musik Sang DJ dan membiarkan panas matahari
menghangatkan tubuh mereka.
Perjalanan
dilanjutkan dengan berjalan-jalan menyusuri hutan rekreasi. Udaranya sungguh
sejuk, udaranya sangat dingin menusuk, di kanan dan kiri jalan berjajar
pohon-pohon yang menjulang tinggi dan rindang.
Kartika melihat
sisi kanan dan kirinya begitu indah. Jarang sekali matanya memandang
tumbuh-tumbuhan yang rindang seperti ini. Tapi lama-lama bosan juga kalau objek
pengelihatannya itu-itu saja.
Dilihatnya ke
depan, Dirga sedang asyik mengabadikan perjalanan dengan kameranya. Saat Dirga
membalas tatapan Kartika. Kartika jadi salting sendiri. Ia pun pura-pura
melihat ke arah lain—sok asyik memperhatikan pohon-pohon di sekitarnya.
Melihat ke
belakang, Evan dan Chaty sedang asyik pacaran begitu juga dengan Fathan dan
Sonia. Bikin iri. Hati kecil Kartika sih ingin seperti cewek-cewek lain, ingin
punya pacar. Namun karena sikapnya yang terlalu cuek, jarang sekali ada cowok
yang mau dekat dengannya. Huh! Nasib, nasib.
Kartika ditinggal
berdua lagi dengan Dirga. Dirga pun mengajak Kartika berkeliling Malioboro.
Dirga sengaja menyewa delman seharian sebagai kendaraan mengelilingi Malioboro.
Dirga mengajak
Kartika ke sebuah tempat pembuatan batik tulis. Disana Kartika dan Dirga
diperlihatkan cara membuat batik. Dari mulai membuat pola, melukisnya dengan
lilin cair, mewarnai kain batik dengan pewarna tekstil, sampai penjemuran.
Kartika dan Dirga
mencoba untuk melukiskan lilin cair dengan canting pada kain yang sudah dibuat
pola. Sungguh sangat susah sekali. Ketika melihat yang sudah ahli melakukannya
memang terlihat sangat mudah. Namun dalam praktiknya, sangat menguras
kesabaran. Kartika dan Dirga harus sabar dan teliti saat mengoreskan ujung
canting pada permukaan kain. Salah sedikit saja akibatnya bisa fatal.
Kesabaran Kartika
dan Dirga sudah terkuras habis. Mereka pun meninggalkan pekerjaan mereka yang
belum beres seperempatnya pun. Pekerjaan mereka pun dilanjutkan oleh pembatik
ahli disana.
Puas melihat-lihat
proses membatik, kini mereka sedang melihat-lihat kain batik yang sudah jadi.
Semuanya begitu bagus. Warnanya cerah-cerah, penuangan lilin cairnya rapi, dan
pola-polanya indah.
Dirga tertarik
pada sebuah kain batik yang dipasang di pojok toko. Kain batik bemotif
bunga-bunga berwarna merah terang. Sangat cocok bila ia jadikan sebagai
oleh-oleh untuk Mamanya. Tak jauh dari batik itu ada juga satu kain batik yang
tak kalah indah berwarna biru langit. Dari warna dan motifnya, ini cocok Dirga
berikan pada Chika. Dirga memutukan untuk membeli dua kain batik itu.
Ketika hendak
membayarnya di kasir, Dirga melihat Kartika sedang berdiri terkagum-kagum di
depan sebuah kain batik.
“Lo lagi ngapain?”
Tiba-tiba Dirga datang dan membuyarkan lamunannya.
“Lagi liat-liat
aja.” jawab Kartika agak cemberut.
“Kenapa enggak
beli?”
“Gue kan pergi
kesini karna dipaksa dan tanpa persiapan. Mana sempet bawa uang lebih,”
“Lo bisa minta
beliin sama gue, kan?”
“Gue udah utang
banyak sama lo. Aku enggak mau nambah lagi. Ntar bunganya nambah lagi.”
“Emang tampang gue
kayak rentenir? Lo kesini kan karna gue. Jadi semua yang Lo mau tinggal bilang
aja sama gue.”
Kartika terdiam.
“Beneran enggak
apa-apa?”
“Limit gue enggak
akan abis cuma buat beliin oleh-oleh buat temen-temen Lo.”
“Lo lagi kerasukan
jin apa sih, jadi baik gini sama gue?”
“Udah bagus gue
bayarin semua belanjaan Lo, masih sempet nyela gue. Kalo lo enggak bisa
baik-baikin gue, seeenggaknya lo enggak perlu nyela gue.”
“Ya, maaf.”
Kartika jadi malu sendiri. “Tapi makasih, ya!”
Keluar dari toko
batik, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sepanjang Jl. Malioboro. Pergi
nonton wayang orang. Berbelanja baju khas Kota Jogja. Tak lupa juga membeli
pernak-perniknya, seperti gelang, kalung, cincin, kacamata, tas, topi, dan
lainnya. Dan terakhir makan gudeg di alun-alun kota.
Hari yang cukup
memelahkan, namun semua itu terbalaskan dengan semua hiburan, belanjaan, dan
makanan yang telah mereka dapatkan.
“Makasih ya, buat
semuanya!” ucap Kartika saat perjalanan pulang kembali ke villa.
“Udahlah bilang
makasihnya,” balas Dirga. “Gue bosen dengernya.”
“Gue kan orangnya
bukan yang enggak tahu terimakasih.”
“Ya gue tahu.”
“Lo kenapa, sih?”
Kartika agak nyolot. “Kadang baik, kadang nyebelin. Bikin orang bingung tahu?”
“Apa peduli loo?
Hidup, hidup gue.”
***
Untuk malam
terakhir di kota khas batik ini, Dirga dkk mengadakan acara camping di halaman
belakang villa. Dua tenda didirikan di depan sebuah api unggun. Cuaca juga
sepertinya sangat mendukung karna tidak ada tanda-tanda akan datangnya hujan.
Hari sudah cukup
larut. Malam ini begitu banyak bintang yang menghiasi lagi, bertebaran tak
beraturan di sekitar bulan.
Semua masih belum
mengantuk. Mereka duduk mengelilingi api unggun sambil membakar jagung. Agar
suasana lebih asyik Fathan mengeluarkan gitarnya dan menyanyikan sebuah lagu
dari Nadya Fatira - Kata Hati
sore senja di sudut jogja
terucap doa kau tahu isi hati ini
dan bila itu tak terungkap
tetap ku nikmati rasa jatuh cinta sendiri
tak mampu ku ungkap segalanya
izinkan ku renungkan segala rasa
biarkan kata hati bicara
dan bila kita tercipta untuk bersama
biarkan kata hati yang tunjukkan
mungkin nanti akan ku sesali
hari ini ku diam dan tak lakukan
tak mampu ku ungkap segalanya
izinkan ku renungkan segala rasa
biarkan kata hati bicara
dan bila kita tercipta untuk bersama
biarkan kata hati yang tunjukkan
biarkan kata hati yang tunjukkan
biarkan kata hati yang tunjukkan
izinkan ku renungkan segala rasa
biarkan kata hati bicara
dan bila kita tercipta untuk bersama
biarkan kata hati yang tunjukkan
(izinkan ku renungkan segala rasa)
biarkan kata hati yang tunjukkan
(dan bila kita tercipta untuk bersama)
biarkan kata hati yang tunjukkan
izinkan ku renungkan segala rasa
biarkan kata hati bicara
dan bila kita tercipta untuk bersama
biarkan kata hati yang tunjukkan
Lalu dilanjutkan
dengan bernyanyi bersama dan berjoget ringan dengan iringan musik yang diputar
dari sebuah pemutar musik. Kartika hanya diam saja sambil menghangatkan diri di
depan api unggun. Sesekali ia tertawa melihat tingkah laku teman-temannya yang
joget tak keruan.
Kartika sangat
terhanyut oleh lagu yang dibawakan Fathan. Begitu menyentuh sampai ke dalam
lubuk hatinya. Tanpa ia sadari ujung matanya mencari Dirga. Saat Dirga membalas
tatapannya ia jadi salting. Jagung bakarnya sudah habis. Semua sudah kembali ke
tendanya masing-masing, termasuk Kartika.
Semua mulai
terlelap dalam mimpi masing-masing. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik
saling bersahutan memecah keheningang malam. Api unggun semakin mengecil,
membuat dingin semakin menusuk.
***
Keesokan paginya
semua sudah selesai berkemas untuk pulang. Koper-koper sudah dimasukkan kedalam
bagasi dan siap untuk diantar ke bandara. Tapi sebelum itu, masih ada satu
tempat lagi yang harus mereka kunjungi, Candi Borobudur.
ebuah tempat
wisata yang harus dikunjungi ketika kita berlibur ke Jogja. Salah satu tempat
wisata yang sangat menjual dan menarik di kota Jogja. Walau jaraknya memang
tidak terlalu dekat dari kota Jogja itu sendiri.
Berkeliling
mengitari kompleks Candi Borobudur cukup melelahkan. Ditemani oleh seorang
pemandu wisata di tempat itu Dirga cs. diperkenalkan tentang Candi Borobudur.
Lalu dilanjutkan dengan foto-foto. Mereka pun kembali ke Jakarta pada pukul
11:00.
Bersambung . . . .
Bersambung . . . .
Tags:
Kisah