Chika Meninggal
Chika masuk rumah sakit untuk
kesekian kalinya sejak ia divonis dokter terkena penyakit jantung seperti
Papanya. Ia harus masuk ICU. Keadaanya sangat kritis. Dirga dan Mamanya sangat
khawatir dengan keadaan Chika sekarang. Lama dokter di dalam ruang ICU. Segala
macam alat bantu medis dipasangkan pada tubuh mungil Chika. Kini Chika tengah
berada di antara hidup dan mati.
Lama menunggu, akhirnya dokter
keluar juga dari ruang ICU. Dirga dan Bu Sinta segera menghampiri dokter
tersebut.
“Bagaimana keadaan adik
saya?”
“Alhamdulillah. Ia berhasil
melewati masa kritisnya. Sekarang ia bisa dipindahkan ke ruang rawat.” ucap
dokter kepercayaan keluarga Dirga yang sudah biasa menangani Chika.
“Lakukan yang terbaik untuk
anak saya! Kalau perlu impor saja alat medisnya.”
“Untuk saat ini peralatan yang
ada disini sudah cukup membuat keadaan Chika lebih baik.”
“Boleh kami lihat Chika
sekarang?” tanya Dirga.
“Tentu saja. Tapi harap
tenang. Chika sudah kami beri obat penenang. Jadi untuk malam ini dia akan
tidur dengan nyenyak.”
“Baik, Dok!”
“Saya permisi dahulu! Masih
banyak pasien yang harus saya tangani.”
“Terima kasih banyak, Dok!”
“Sudah kewajiban seorang
dokter.”
Semalaman Dirga tak tidur
menunggui Chika. Mamanya sendiri tak mampu melepas rasa penat. Ia tertidur
lelap di atas sofa yang tak jauh dari tempat tidur Chika. Paginya Bu Sinta
bangun dengan keadaan lebih baik. Sementara ia melihat anak sulungnya, Dirga
terlihat sangat kurang istirahat. Karna semalam begadang menunggui Chika.
Matanya berkantung dan merah.
“Semalaman kamu enggak tidur?”
tanya Bu Sinta.
“Kalo aku tidur, kasian Chika
enggak ada yang nungguin.”
“Tapi kamu juga butuh
istirahat. Hari ini biar Mama aja yang nungguin Chika. Kamu istirahat aja di
rumah. Enggak usah sekolah,” saran Mamanya. “Tolong! Untuk kali ini aja kamu
turuti Mama. Kalo kamu kurang istirahat, kamu akan sakit dan enggak bisa lagi
jagain Chika. Nurut sama Mama, ya?”
Benar juga kata Mamanya.
“Ya udah. Aku pulang! Nanti
sore, aku kesini lagi. Mama juga jaga kesehatan, ya? Kabarin aku kalo ada
apa-apa sama Chika!”
Sejuk rasanya hati Bu Sinta
ketika mendengar bahwa Dirga memperhatikan kesehatannya. Pertama kali seumur
hidup ia mendengar Dirga mengucapkan kalimat tersebut. Rasanya kalimat itu akan
selalu terngiang dalam telinga Bu Sinta. Ia tak akan melupakan hal itu. Dan ia
berharap Dirga akan mengucapkan kata itu kepadanya setiap hari.
“Oh, iya, Sayang!”
Kabar ini pun sampai ke
telinga Kartika. Ia amat terkejut mendengar kabar ini. Aku harus jenguk Chika.
Sepulang sekolah, Kartika segera menuju rumah sakit tempat dimana Chika
dirawat. Tak lupa, di jalan ia membeli makanan untuk Chika.
“Selamat siang, adik Kakak
yang manis!” sapa Kartika ketika memasuki ruang inap Chika.
“Kak Kartika? Kakak kok baru
kesini? Chika kangen banget sama Kakak.”
“Kakak juga kangen banget sama
kamu. Ini ada buah buat kamu! Kakak tahu gimana enggak enaknya makanan di rumah
sakit.”
“Makasih ya, Kak. Jadi
ngerepotin.”
“Enggak apa-apa, kok. Hari ini
kamu enggak ada yang jagain?”
“Ada, kok. Hari ini Mama yang
seharian jagain Chika. Tapi sekarang lagi keluar.”
“Kakak kupasin buahnya, ya?
Kamu mau apa?”
“Apel aja.”
Tak lama kemudian datanglah Bu
Sinta.
“Selamat siang, Bu!”
“Siang! Makasih kamu udah mau
jenguk Chika.”
“Sama-sama, Bu! Ibu keliatan
kurang istirahat dan agak lemes. Biar Kartika aja yang ganti jagain Chika, ya?”
“Enggak usah. Bentar lagi juga
Dirga akan kesini. Saya baru akan pulang setelah Dirga dateng.”
Sekitar tiga puluh menit
kemudian datanglah Dirga. Penampilannya terlihat lebih fresh dari tadi pagi.
“Ika, Ngapain lo disini?”
“Mau ujian. Ya, mau nengok
Chika, lah.”
“Mama masih disini? Kenapa
enggak pulang?”
“Mama nunguin kamu. Sekarang
juga Mama mau pulang.”
“Pulang bareng Kartika, ya?”
usul Dirga.
“Lo ngusir gue?
“Nengok enggak perlu
lama-lama, kan?”
“Chikanya juga enggak
mempermasalahkan. Kenapa lo yang sewot?”
“Sekarang waktunya Chika
istirahat.”
“Bener apa kata Dirga.
Sebaiknya kamu ikut pulang dengan saya. Nanti saya antarkan sampai rumah. Biar
kakak kamu enggak khawatir.”
“Baiklah. Kakak pulang dulu,
ya! Sampai ketemu besok.”
Walau hati kesal dan masih
rindu pada Chika, Kartika memutuskan untuk pulang bersama Bu Sinta. Sesuai
janjinya Bu Sinta mengantarkan Kartika pulang sampai ke depan rumahnya. Namun
tak mampir dahulu. Rasanya Bu Sinta harus cepat-cepat istirahat. Untuk
mengembalikan kebugaran jasmaninya.
Kartika tak lupa akan
janjinya. Keesokan hari ia kembali menjenguk Chika. Ia menolak ketika ketiga
temannya mengajaknya untuk shopping di mall. Menurutnya, menjenguk orang sakit
lebih baik daripada harus menghambur-hamburkan uang dengan percuma di mall.
Namun bukan dengan alasan itu ia menolak. Jika alasan menjenguk Chika, ia takut
menyakiti perasaan Hima. Ia takut Hima salah paham lagi terhadap dirinya.
Mungkin ia takut Hima berpikir bahwa ia bukan bermaksud menjenguk Chika
melainkan mencari perhatian Dirga.
“Maaf, ya! Kali ini gue enggak
bisa ikut. Kakak gue lagi sakit. Dia mau gue temenin. Enggak apa-apa, kan?”
“Iya. Enggak apa-apa, kok.”
jawab Hima.
“Bilangin, kata Winda, cepet
sembuh, ya!”
“Kata Milly, jangan lupa minum
obat!”
“Iya. Sekali lagi maaf, ya!”
Kartika pun pergi tergesa-gesa
meninggalkan ketiga temannya. Maaf. Aku harus bohong sama kalian.
“Bukannya tadi pagi dia
dianterin Kakaknya, ya? Kok jadi tiba-tiba sakit?” ucap Winda.
“Apa dia lagi ngumpetin
sesuatu dari kita?” tambah Milly.
“Udah. Jangan berburuk sangka
sama temen sendiri. Enggak baik.” relai Hima. “Ayo kita cabut! Katanya mau
shopping? Gue dengar lagi ada sale besar-besaran.”
“Masak, sih? Kalo gitu gue mau
belanja banyak.” ucap Milly.
Ketiganya pun segera masuk ke
dalam mobil Milly. Mobilnya pun segera melaju kencang meninggalkan sekolah.
Sesampainya di mall yang biasa mereka datangi. Mereka segera menyerbu toko yang
tengah promosi itu dengan mengadakan sale besar-besaran.
***
Sesampainya Kartika di rumah
sakit. Ia melihat Dirga dengan keadaan cemas mondar-mandir di depan ruang inap
Chika. Sementara Mamanya terduduk lemas di kursi panjang di depan ruang inap
Chika. Wajahnya pun tak kalah cemasnya dari Dirga. Kartika segera menghampiri
keduanya.
“Ada apa ini? Kenapa kalian
berdua keliatan cemas gitu?”
“Chika kritis lagi.” jawab Bu
Sinta.
“Kritis?” ucap Kartika
setengah tak percaya. “Ya udah. Sekarang kita sama-sama berdoa aja biar Chika
bisa melewati masa kritisnya.”
Tak lama kemudian dokter
keluar dari ruang inap Chika. Diperhatikan dari wajahnya, sepertinya dokter
akan memberi tahu kabar buruk.
“Bagaimana keadaan anak saya,
Dok?”
“Ia ingin bertemu dengan
kalian.”
Bu Sinta, Dirga, dan Kartika
pun segera masuk ke dalam ruang inap Chika.
Perlahan Chika melepas tabung
oksigen yang menyulitkannya berbicara.
“Kenapa dibuka, Sayang? Pake
lagi!” ucap Bu Sinta.
“Chika cuma ingin bilang, Mama
sama Kak Dirga baikan, ya? Buat Chika. Buat Papa. Chika sayang sama Mama. Chika
sayang sama Kak Dirga.”
“Iya, Sayang. Kak Dirga dan
Mama akan baikan. Kak Dirga akan turuti semua keinginan kamu. Asal kamu sembuh.
Kamu sembuh buat Kakak. Buat kita semua.”
“Kak Dirga juga harus baikan
sama Kak Kartika. Jangan berantem lagi.”
“Iya. Kakak janji.”
Puas mendengar jawaban Dirga.
Chika pun menutup matanya dan menghembuskan napas terakhirnya. Alat pendeteksi
denyut nadinya pun menunjukkan Chika sudah meninggal. Ia sudah kembali ke Sang
Pencipta menyusul kepergian Papanya.
“Chika? Chika bangun! Chika
bangun! Jangan tinggalin Kakak. Kamu mau liat Kakak baikan sama Mama, kan? Ayo
bangun!” ucap Dirga berkali-kali setengah berteriak. “Dokter, kenapa adik saya
tidak mau membuka matanya?”
“Ikhlaskan kepergiannya, Mas.”
“Anda ini dokter. Kenapa anda
tidak bisa mengembalikan adik saya?”
“Saya hanya seorang manusia
biasa. Saya tidak bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal. Nyawa, hanya
Tuhanlah yang mengetahuinya.”
“Enggak. Ini semua enggak
boleh terjadi. Chika…” teriak Dirga bergema.
Bu Sinta hanya diam terpaku.
Ia masih belum mempercayai, anaknya baru saja pergi untuk selama-lamanya.
Rasanya kakinya sudah tidak mampu lagi menopangnya untuk berdiri. Ia amat
lemas. Kejadian sepuluh tahun yang lalu terjadi kembali. Kini anak bungsunya
yang harus pergi meninggalkannya. Hatinya amat terpukul. Ia tak mampu berkata
lagi. Ia pun segera pergi keluar ruang inap Chika. Dan menangis tak habisnya di
depan ruang inap Chika.
Sementara Kartika hanya diam
terpaku di belakang tubuh Dirga. Tak mampu lagi ia berkata. Sama seperti Bu
Sinta, ia tak bisa mempercayai gadis yang baru ia kenal kurang dari satu bulan
itu meninggal di hadapannya.
Dirga segera menyusul Ibunya.
Diikuti oleh Kartika yang ada di belakangnya.
“Puas anda sekarang? Karna
anda ayah saya meninggal. Dan sekarang karna anda juga adik saya meninggal.
Kenapa anda bunuh semua orang yang sangat saya sayangi? Kenapa anda tidak
membunuh saya juga? Saya benci harus dilahirkan oleh ibu macam anda. Kenapa
anda harus melahirkan saya? Lebih baik saya tidak terlahir ke dunia ini
daripada harus mempunyai ibu seperti anda.”
Hati Bu Sinta semakin teriris.
Baru saja ia kehilangan anak keduanya. Dan sekarang ia harus dibentak oleh anak
sulungnya. Bibirnya kaku. Tak dapat berkata apa-apa lagi. Dan ia pergi setengah
berlari meninggalkan Dirga.
Setelah Bu Sinta pergi,
Kartika menampar Dirga. Namun Dirga hanya diam saja.
“Kenapa lo diem aja? Kenapa lo
enggak marahin gue? Kenapa lo enggak bentak gue juga seperti yang lo lakukan
terhadap nyokap lo? Lo gila, Ga. Dia enggak ngelakuin apa-apa lo bentak sampe
segitunya. Dimana hati lo?”
“Tapi dia udah bunuh bokap dan
adik gue.”
“Itu semua bukan karna nyokap
lo. Ini semua kehendak Tuhan. Enggak ada yang bisa nyalahin apa yang sudah
Tuhan kehendaki. nyokap lo juga sangat terpukul. Dia enggak terima Chika
meninggal. Dia masih shock dengan semua yang baru aja terjadi. Dan lo tambah
lagi sakit hatinya? Lo anak macam apa, Ga? Baru kali ini gue liat ada anak yang
berani bentak ibunya. lo enggak tahu gimana sakitnya dia waktu ngelahirin lo?”
“Tapi gue enggak pernah
menginginkan dilahirkan dari ibu macam dia.”
“Lo enggak pernah tahu
bagaimana sabarnya dia merawat lo sampai sebesar ini?”
“Dan dia enggak pernah
ngerawat gue.”
“Tapi apa lo tahu, Ga? Meskipun
dia enggak pernah selalu ada di samping lo, dia selalu perhatiin lo. Dia selalu
tahu gerak-gerik lo setiap detiknya. Dia tahu apa yang lo lakuan setiap hari.
Dia tahu, gue ajak lo ke Pasar Malem. Dia tahu, lo ngajarin gue basket. Dia
tahu, semua yang lo lakukan selama ini.
Dia sangat sayang sama lo.
Kalo dia enggak sayang sama lo, mana mau dia kerja banting tulang buat lo
selama ini? Mana mau dia melahirkan lo? Mungkin kalo dia enggak sayang sama lo,
lo udah jadi gelandangan sekarang ini. Coba lo pikir! Enggak ada ibu yang
enggak sayang sama anaknya. Anak adalah sebuah anugerah terindah bagi semua
ibu. Cobalah kamu berpikir sampai kesana! Maafin ibu lo, ya? lo masih inget
janji lo sama Chika, kan? Minimal dalam benak lo yang lo lakukan itu buat Chika.
Buat bokap lo. Buat orang yang lo sayang.”
Dirga menarik tubuh Kartika
dan memeluknya erat. “Gue butuh temen sekarang.”
Kartika mengerti akan perasaan
Dirga sekarang ini. Ia tahu bahwa untuk saat ini Dirga sangat membutuhkan
teman. Ia pun membiarkan Dirga memeluknya. Untuk sedikit membantu meringankan
beban berat yang kini tengah Dirga tanggung.
Berita tentang Chika meninggal
dunia sudah sampai ke telinga sekolah. Satu sekolah berkabung. Entah karena
mereka merasa iba terhadap Chika. Atau mereka hanya memikirkan Dirga. Mereka
takut Dirga menjadi stress.
Beberapa karyawan SMA Azka
Julian menjadi perwakilan menghadiri upacara pemakaman Chika di Tempat
Pemakaman Umum di daerah Jakarta Selatan. Makam Chika sengaja berdampingan
bersama makam Ayahnya. Beberapa rekan bisnis Bu Sinta pun ada yang menghadiri
upacara pemakaman Chika.
Seusai pemakaman Bu Sinta
masih belum mempercayai bahwa kini anaknya tengah digerogoti cacing tanah. Dari
semalam ia tidak mampu menahan deras air matanya yang terus-menerus menetes. Ia
sangat terpukul dengan meninggalnya anak bungsunya. Juga perkataan Dirga yang
tak kalah menyayat hatinya. Sesampainya di kamar, ia segera meraih fotonya
bersama Chika. Ditatapinya dengan penuh kesedihan. Semakin deras saja air
matanya mengalir.
“Mama…” seru seseorang dengan
tergagap.
Bu Sinta pun memutar badannya.
Dan berdiri berhadapan dengan orang tersebut. Orang itu segera menghampiri Bu
Sinta dan bersujud dikakinya.
Dengan air mata yang terus
mengalir di wajahnya, ia berkata, “Mama. Maafin Dirga! Maafkan semua perlakuan
yang pernah Dirga tujukan pada Mama. Maafkan semua perkataan Dirga yang pernah
menyinggung hati Mama. Dirga sangat menyesal melakukan semua itu sama Mama.”
Bu Sinta semakin tak kuasa
menahan deras air matanya. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis
kebahagiaan. Untuk pertama kali, anak sulungnya menyebutnya Mama dengan tulus.
Dan untuk pertama kalinya Dirga bersujud di kakinya.
Dengan penuh kasih, Bu Sinta
membangunkan Dirga. Dan dengan air mata yang terus mengalir ia berkata, “Enggak
ada yang perlu dimaafin. Enggak pernah kamu buat hati Mama sakit. Enggak pernah
kamu buat salah sama Mama. Mama sayang sama kamu.”
“Mama…” Dirga memeluk ibunya
erat. Seperti ingin selamanya memeluk ibunya. Tak ingin melepaskannya. Ingin
selalu ada di sampingnya. “Dirga sayang Mama.”
Semula hatinya yang begitu
sakit, kini sembuh kembali. Bahkan lebih dari itu. Ia sangat senang. Akhirnya
Dirga bisa memaafkannya. Bisa menerimanya sebagai ibu. Bagai mimpi yang baru
saja terjadi di kehidupan nyata.
***
Sekolah sudah sepi. Namun
Kartika masih ada di sekolah. Ia baru saja selesai remedial ulangan fisika.
Dikarenakan pada saat ulangan sebelumnya nilainya kurang dari rata-rata. Dan
hanya ia seorang yang tidak lulus dalam ulangan kali itu di kelasnya. Ia tidak
putus asa dengan hasilnya yang tidak memuaskan itu. Ia mencari guru yang
bersangkutan, dan meminta kepada beliau untuk melakukan ujian ulang. Awalnya
Sang Guru menolak. Namun melihat kegigihan Kartika untuk mendapatkan nilai,
beliau pun mau memberi kesempatan kedua pada Kartika. Dan Kartika pun dapat
mengubah nilai limanya menjadi tujuh. Walau tidak sebesar ketiga temannya yang
hampir semua mendapat nilai sepuluh, ia tetap bangga pada dirinya sendiri.
Ketika ia tengah menunggu
metromini yang akan mengangkutnya di halte bis dekat sekolah. Seseorang
mengagetkannya.
“Gue tunggu dari tadi baru
dateng.” ucapnya.
Kartika melirik kiri kanan.
Pemilik suara itu tak ditemukan. Dan ternyata orang itu ada di belakangnya.
Kagetnya bukan main. “Dirga? Ngagetin aja,” ucap Kartika. “Emangnya ada apa lo
nungguin gue?”
“Ikut gue!” ucapnya seraya
beranjak dari tempat duduknya.
“Kemana? Enggak, ah!”
“Nyokap ngundang lo makan
siang di rumah. Katanya dia udah masak makanan spesial buat lo.”
“Yang bener?”
“Terserah lo mau percaya atau
enggak. Yang jelas gue udah nyampein pesan dari nyokap gue.” Dirga pun pergi.
“Awas ya, kalo bohong!”
Kartika pun mengikuti langkah Dirga.
Sampailah di rumah Dirga.
Ternyata Dirga tidak
membohongi Kartika. Sebuah pesta kecil-kecilan akan diadakan di rumah mewah
Dirga. Tamu undangannya pun hanya Kartika seorang. Sang tuan rumah masih sibuk
di dapur mempersiapkan hidangan yang akan disajikan di atas meja makan.
Walalupun jelas terlihat meja makan sudah sesak dengan berbagai jenis hidangan.
Kartika hanya bisa ternganga
melihat meja makan yang penuh dengan hidangan. Sementara Dirga pergi ke
kamarnya untuk menyimpan tas dan berganti pakaian. Di saat yang bersamaan Dirga
bergerak menuruni anak tangga dan Mamanya ke luar dari arah dapur dengan
semangkuk opor ayam di tangannya.
“Sini, Ma! Biar Dirga yang
bawain.” ucap Dirga sembari mempercepat langkahnya menuruni anak tangga.
“Kamu ini gimana sih, Ga?
Kartika udah dateng bukannya kamu suruh duduk. Ayo duduk, Ka!”
Sontak Kartika sangat
terkejut. Ia tak bisa mempercayai apa yang baru saja ia lihat dengan mata
kepalanya sendiri. Bagaimana bisa Dirga bisa seramah itu terhadap Ibunya?
Sungguh sangat sulit dipercaya, pikir Kartika.
“Lo kenapa sih, Ika? Mama udah
nyuruh lo duduk. Kenapa lo masih terpaku disitu?” ucap Dirga sembari meletakkan
semangkuk opor ayam di atas meja makan. Sebelum ia meletakkannya, ia harus
menggeser hidangan di sebelahnya.
Kartika tetap diam terpaku. Ia
masih tak beranjak dari tempatnya berpijak.
“Ya, gue ngerti. Lo pasti
kaget gue bisa baik sama nyokap gue. Ya. Gue udah baikan sama nyokap gue.
Mungkin ini semua tak lepas dari bantuan Lo. Makasih ya, Ika.”
Bu Sinta berjalan
menghampirinya dan memeluknya erat. “Ika. Tante begitu mengucapkan
banyak-banyak terima kasih sama kamu. Kamu banyak membantu Tante untuk dekat
dengan Dirga. Dengan semua yang kamu lakukan, akhirnya kamu bisa membuat Dirga
kembali menyayangi Tante. Harus dengan apa Tante membayar itu semua?”
“Aku cuma mau kalian tetep
akur sampai kapanpun.”
Mereka pun memulai pesta
dengan makan siang. Seperti biasa, melihat hidangan yang begitu banyak dan
memikat hati, Kartika makan begitu lahap sampai tak ada lagi makanan yang
sanggup ia makan lagi. Seusai makan siang, pesta berpindah di pinggir kolam
berenang. Ia duduk di tepi kolam ditemani segelas jus jeruk di sampingnya dan
memasukkan sebagian kakinya ke dalam air.
Dilihatnya ibu dan anak yang
tengah menikmati kebersamaan. Ia ingat kejadian tujuh tahun yang lalu, sebelum
kedua orang tuanya meninggal. Ketika ibunya membelai rambutnya dengan penuh
perhatian dan kasih sayang. Dan kini tak ada lagi tangan lembut yang membelai
rambutnya lagi. Dan tanpa ia sadari, air matanya mulai membasahi sebagian
wajahnya.
Ia pun memejamkan matanya.
Dirasakannya seseorang tengah membelai rambutnya dengan penuh kelembutan.
Perlahan ia kembali membuka matanya. Dilihatnya sesosok wanita berparas cantik
dengan senyumnya yang khas tengah membelai rambutnya, tak lain tak bukan wanita
itu adalah ibunya. Kini ia bisa bertatapan lagi dengan wanita yang sudah lama
meninggalkannya.
“Ika, kenapa kamu nangis?”
suara itu membuat ibunya tak lagi di hadapannya. Dan ia baru sadar bahwa ia
tengah bermimpi. Mengapa tidak selamanya saja ia bermimpi? Kalau perlu ia tak
usah bangun kembali agar ia bisa selalu bersama ibunya.
“Bu Sinta?” Dan ternyata yang
ia rasakan ibunyalah yang membelai rambutnya, tapi pada kenyataan itu bukanlah
ibunya. Melaikan Mamanya Dirga.
“Kenapa kamu nangis?”
“Aku cuma lagi kangen aja sama
Mama. Aku iri sama semua orang yang masih punya ibu. Mereka masih bisa memeluk
ibu mereka, menatapnya. Tapi aku enggak bisa.”
“Kalau kamu mau Tante bisa
jadi Mama kamu. Kamu boleh panggil Tante ‘Mama’. Siapa tahu nanti kamu
benar-benar memanggil Tante ‘Mama’.”
“Aku enggak ngerti maksud
Tante.”
“Tante setuju-setuju saja jika
kalian pacaran. Atau kalau bisa sampai menikah.”
“Kalian?” Kartika semakin tak
mengerti.
“Ya, kalian. Kamu dan Dirga.”
“Ah, Tante ada-ada saja.”
“Iya nih, Mama. Ngomongnya
ngarang aja.” Dirga pun ikut dalam percakapan tersebut. “Dirga enggak ada
hubungan apa-apa sama Kartika. Lagian mana mau aku punya cewek galak kayak
dia.”
“Siapa lagi yang mau punya
pacar jutek kayak lo” Kartika tak mau kalah.
“Ya, sekarang sih bilangnya
enggak. Siapa tahu besok-besok jadi iya.”
“Enggak.” ucap Kartika dan
Dirga serentak.
Kemudian acara dilanjut dengan
nonton DVD. Bu Sinta tidak ikut karna ada meeting mendadak di kantornya. Film
yan Dirga putar adalah film laga Hollywood. Kalo nonton film horor pasti
Kartika enggak mau. Padalah kalo nonton film horor Dirga yang untung, karna
bisa dipeluk-peluk. Hehe… otak mesum.
Entah mengapa—mungkin karna
Kartika kelelahan—saat film masih berlangsung Kartika pun tertidur di samping
Dirga. Kepalanya bersandar pada bahu Dirga.
Dirga baru sadar kalo Kartika
sudah tidur setelah film selesai. Diamatinya wajah Kartika dengan seksama.
Ternyata Kartika cantik juga. Tangannya mulai membelai wajah Kartika, walau
begitu Kartika tidak terbangun.
Sampai Bu Sinta pulang, Dirga
pun berhenti membelai wajah Kartika.
“Eh, Kartika malah tidur?”
sapa Mamanya. “Ayo bangunin! Udah sore.”
Tanpa dibangunkan Dirga pun
Kartika sudah bangun sendiri. Lalu Kartika pun diantar pulang oleh Dirga.
Sesampainya di rumah Kartika.
Keadaan rumahnya masih gelap gulita. Kalaupun biasanya jam segini Kak Adnan
sudah gelisah menunggui Kartika yang belum kujung pulang, tapi sekarang orang
yang biasa melakukan aktivitas tersebut sedang tidak ada di rumah. Sudah sejak
empat hari yang lalu Adnan mengikuti wisata ke Bali bersama teman-teman
sekantornya dan juga beberapa atasan. Dan biasanya kalau Adnan tidak ada di
rumah untuk waktu yang lama pasti Kartika ditemani oleh Arini. Namun sekarang
Kartika sudah mulai dewasa, ia harus dilatih mandiri. Walau pada awal
keberangkatannya Adnan agak berat hati meninggalkan Kartika sendiri di rumah.
Selalu saja hatinya diselimuti rasa khawatir. Dan untuk mengatasi rasa
khawatirnya yang overdosis, selalu saja setiap harinya ia menghubungi Kartika
hampir lebih dari 20 kali.
“Kakak lo belum pulang?” tanya
Dirga setelah Kartika turun dari motor ninjanya.
“Katanya sih, lusa baru mau
pulang.”
“Oh. lo hati-hati di rumah,
ya! Selamat tidur!”
“Ya. lo juga hati-hati di
jalan. Jangan ngebut!”
Dirga pun menyalakan motornya
dan pergi dari pekarangan rumah Kartika. Kartika pun mulai bergerak memasuki
rumahnya. Namun Dirga memutar arah laju motornya ke pekarangan rumah Kartika
kembali.
“Ika” serunya.
“Apa?” Kartika memutar
badannya.
“Besok gue tunggu di Café
Wiyuka jam 13:00.” Setelah mengucapkan kata tersebut, ia kembali melanjutkan
laju motornya.
Kartika kurang jelas mendengar
apa yang baru saja Dirga katakan. Setelah otaknya sudah mampu mencerna apa yang
baru saja Dirga ucapkan. Ia pun berjalan memasuki rumah sambil tersenyum-senyum
sendiri. Dirga mengajaknya jalan—atau dalam bahasa kerennya ‘kencan’.
“Gue pasti dateng.”
Kartika sudah selesai mandi
dan mengganti pakaian dengan baju tidur, ia pun segera beranjak menuju tempat
tidurnya. Kata-kata Dirga yang mengajaknya kencan masih terngiang di
telinganya. Tanpa ia sadari ia pun tersenyum-senyum sendiri lagi.
Ada apa dengan dirinya ini? Ia
nampak senang jika selalu berada di samping Dirga. Pertama kali dalam seumur
hidupnya ia merasakan hal ini pada seorang laki-laki, dan orang itu hanya
Dirga. Apa ini yang dinamakan cinta? Cinta? Apa benar ia jatuh cinta pada
Dirga? Tidak. Ia tidak boleh jatuh cinta pada Dirga. Ia begini karna mungkin
baru pertama kali ia sedekat ini dengan seorang laki-laki. Atau hanya
perasaannya saja. Jika ia benar-benar jatuh cinta pada Dirga, pasti Hima akan
marah sekali padanya. Hima akan menganggapnya sebagai pengkhianat. Ia harus
buang jauh-jauh perasaan ini. Besok adalah kali terakhirnya ia dekat dengan
Dirga. Ia harus segera menjauh dari Dirga, sebelum nanti akhirnya perasaan ini
berubah jadi cinta yang sesungguhnya.
Sampai di rumah Dirga langsung
menuju kamarnya. Sama halnya dengan Kartika, ketika Dirga menaiki anak tangga.
Ia bersenandung germbira. Sesekali berputar-putar layaknya orang yang tengah
menari salsa. Dari wajahnya tersirat sinar kebahagiaan.
“Yang mau kencan, girang amat
keliatannya.” ujar Bu Sinta tiba-tiba.
“Mama?” balas Dirga setengah
terkejut. “Siapa yang mau kencan? Ada-ada aja.”
“Mama tahu, kok. Besok siang
jam 13:00 di Café Lucky, kamu mau ketemuan sama Kartika.”
“Darimana Mama tahu semua
itu?” Dirga menghampiri Mamanya yang tengah duduk santai di depan televisi
dengan secangkir coklat panas.
“Kenapa enggak sekalian kamu
‘tembak’ aja?”
“Dirga enggak ngerti maksud
Mama.”
“Dari tatapan kamu sama
Kartika, Mama bisa liat kalo kalian saling suka. Juga ketika tadi siang Mama
bilang ‘setuju jika kalian pacaran’ sama Kartika, mukanya langsung merah. Apa
itu bukan namanya tanda-tanda jatuh cinta?”
“Mama ngawur aja kalo ngomong.
Siapa yang cinta sama gadis galak itu?”
“Oh, gitu. Menurut Mama
Kartika cantik, kok. Jadi kalo kamu enggak ‘nembak’ dia, masih banyak laki-laki
yang mengantri untuk jadi pacarnya.”
“Masak sih, Ma?” ujar Dirga
agak terkejut.
“Denger Kartika banyak yang
naksir aja langsung kaget. Buruan tembak. Keduluan sama orang lain aja, nanti
nyesel, lho.”
“Ah, Mama.” Dirga segera
bergegas menuju kamarnya setengah berlari. Walau pikirannya masih dihantui oleh
ucapan Mamanya. Kartika banyak yang naksir? Bagaimana dengannya?
Bersambung :v
Tags:
Kisah