3 tahun untuk selamanya [Part 8]

Chika Meninggal

Chika masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya sejak ia divonis dokter terkena penyakit jantung seperti Papanya. Ia harus masuk ICU. Keadaanya sangat kritis. Dirga dan Mamanya sangat khawatir dengan keadaan Chika sekarang. Lama dokter di dalam ruang ICU. Segala macam alat bantu medis dipasangkan pada tubuh mungil Chika. Kini Chika tengah berada di antara hidup dan mati.
Lama menunggu, akhirnya dokter keluar juga dari ruang ICU. Dirga dan Bu Sinta segera menghampiri dokter tersebut.

“Bagaimana keadaan adik saya?”                                                   
“Alhamdulillah. Ia berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang ia bisa dipindahkan ke ruang rawat.” ucap dokter kepercayaan keluarga Dirga yang sudah biasa menangani Chika.
“Lakukan yang terbaik untuk anak saya! Kalau perlu impor saja alat medisnya.”
“Untuk saat ini peralatan yang ada disini sudah cukup membuat keadaan Chika lebih baik.”
“Boleh kami lihat Chika sekarang?” tanya Dirga.
“Tentu saja. Tapi harap tenang. Chika sudah kami beri obat penenang. Jadi untuk malam ini dia akan tidur dengan nyenyak.”
“Baik, Dok!”
“Saya permisi dahulu! Masih banyak pasien yang harus saya tangani.”
“Terima kasih banyak, Dok!”
“Sudah kewajiban seorang dokter.”
Semalaman Dirga tak tidur menunggui Chika. Mamanya sendiri tak mampu melepas rasa penat. Ia tertidur lelap di atas sofa yang tak jauh dari tempat tidur Chika. Paginya Bu Sinta bangun dengan keadaan lebih baik. Sementara ia melihat anak sulungnya, Dirga terlihat sangat kurang istirahat. Karna semalam begadang menunggui Chika. Matanya berkantung dan merah.
“Semalaman kamu enggak tidur?” tanya Bu Sinta.
“Kalo aku tidur, kasian Chika enggak ada yang nungguin.”
“Tapi kamu juga butuh istirahat. Hari ini biar Mama aja yang nungguin Chika. Kamu istirahat aja di rumah. Enggak usah sekolah,” saran Mamanya. “Tolong! Untuk kali ini aja kamu turuti Mama. Kalo kamu kurang istirahat, kamu akan sakit dan enggak bisa lagi jagain Chika. Nurut sama Mama, ya?”
Benar juga kata Mamanya.
“Ya udah. Aku pulang! Nanti sore, aku kesini lagi. Mama juga jaga kesehatan, ya? Kabarin aku kalo ada apa-apa sama Chika!”
Sejuk rasanya hati Bu Sinta ketika mendengar bahwa Dirga memperhatikan kesehatannya. Pertama kali seumur hidup ia mendengar Dirga mengucapkan kalimat tersebut. Rasanya kalimat itu akan selalu terngiang dalam telinga Bu Sinta. Ia tak akan melupakan hal itu. Dan ia berharap Dirga akan mengucapkan kata itu kepadanya setiap hari.
“Oh, iya, Sayang!”
Kabar ini pun sampai ke telinga Kartika. Ia amat terkejut mendengar kabar ini. Aku harus jenguk Chika. Sepulang sekolah, Kartika segera menuju rumah sakit tempat dimana Chika dirawat. Tak lupa, di jalan ia membeli makanan untuk Chika.
“Selamat siang, adik Kakak yang manis!” sapa Kartika ketika memasuki ruang inap Chika.
“Kak Kartika? Kakak kok baru kesini? Chika kangen banget sama Kakak.”
“Kakak juga kangen banget sama kamu. Ini ada buah buat kamu! Kakak tahu gimana enggak enaknya makanan di rumah sakit.”
“Makasih ya, Kak. Jadi ngerepotin.”
“Enggak apa-apa, kok. Hari ini kamu enggak ada yang jagain?”
“Ada, kok. Hari ini Mama yang seharian jagain Chika. Tapi sekarang lagi keluar.”
“Kakak kupasin buahnya, ya? Kamu mau apa?”
“Apel aja.”
Tak lama kemudian datanglah Bu Sinta.
“Selamat siang, Bu!”
“Siang! Makasih kamu udah mau jenguk Chika.”
“Sama-sama, Bu! Ibu keliatan kurang istirahat dan agak lemes. Biar Kartika aja yang ganti jagain Chika, ya?”
“Enggak usah. Bentar lagi juga Dirga akan kesini. Saya baru akan pulang setelah Dirga dateng.”
Sekitar tiga puluh menit kemudian datanglah Dirga. Penampilannya terlihat lebih fresh dari tadi pagi.
“Ika, Ngapain lo disini?”
“Mau ujian. Ya, mau nengok Chika, lah.”
“Mama masih disini? Kenapa enggak pulang?”
“Mama nunguin kamu. Sekarang juga Mama mau pulang.”
“Pulang bareng Kartika, ya?” usul Dirga.
“Lo ngusir gue?
“Nengok enggak perlu lama-lama, kan?”
“Chikanya juga enggak mempermasalahkan. Kenapa lo yang sewot?”
“Sekarang waktunya Chika istirahat.”
“Bener apa kata Dirga. Sebaiknya kamu ikut pulang dengan saya. Nanti saya antarkan sampai rumah. Biar kakak kamu enggak khawatir.”
“Baiklah. Kakak pulang dulu, ya! Sampai ketemu besok.”
Walau hati kesal dan masih rindu pada Chika, Kartika memutuskan untuk pulang bersama Bu Sinta. Sesuai janjinya Bu Sinta mengantarkan Kartika pulang sampai ke depan rumahnya. Namun tak mampir dahulu. Rasanya Bu Sinta harus cepat-cepat istirahat. Untuk mengembalikan kebugaran jasmaninya.
Kartika tak lupa akan janjinya. Keesokan hari ia kembali menjenguk Chika. Ia menolak ketika ketiga temannya mengajaknya untuk shopping di mall. Menurutnya, menjenguk orang sakit lebih baik daripada harus menghambur-hamburkan uang dengan percuma di mall. Namun bukan dengan alasan itu ia menolak. Jika alasan menjenguk Chika, ia takut menyakiti perasaan Hima. Ia takut Hima salah paham lagi terhadap dirinya. Mungkin ia takut Hima berpikir bahwa ia bukan bermaksud menjenguk Chika melainkan mencari perhatian Dirga.
“Maaf, ya! Kali ini gue enggak bisa ikut. Kakak gue lagi sakit. Dia mau gue temenin. Enggak apa-apa, kan?”
“Iya. Enggak apa-apa, kok.” jawab Hima.
“Bilangin, kata Winda, cepet sembuh, ya!”
“Kata Milly, jangan lupa minum obat!”
“Iya. Sekali lagi maaf, ya!”
Kartika pun pergi tergesa-gesa meninggalkan ketiga temannya. Maaf. Aku harus bohong sama kalian.
“Bukannya tadi pagi dia dianterin Kakaknya, ya? Kok jadi tiba-tiba sakit?” ucap Winda.
“Apa dia lagi ngumpetin sesuatu dari kita?” tambah Milly.
“Udah. Jangan berburuk sangka sama temen sendiri. Enggak baik.” relai Hima. “Ayo kita cabut! Katanya mau shopping? Gue dengar lagi ada sale besar-besaran.”
“Masak, sih? Kalo gitu gue mau belanja banyak.” ucap Milly.
Ketiganya pun segera masuk ke dalam mobil Milly. Mobilnya pun segera melaju kencang meninggalkan sekolah. Sesampainya di mall yang biasa mereka datangi. Mereka segera menyerbu toko yang tengah promosi itu dengan mengadakan sale besar-besaran.
***
Sesampainya Kartika di rumah sakit. Ia melihat Dirga dengan keadaan cemas mondar-mandir di depan ruang inap Chika. Sementara Mamanya terduduk lemas di kursi panjang di depan ruang inap Chika. Wajahnya pun tak kalah cemasnya dari Dirga. Kartika segera menghampiri keduanya.
“Ada apa ini? Kenapa kalian berdua keliatan cemas gitu?”
“Chika kritis lagi.” jawab Bu Sinta.
“Kritis?” ucap Kartika setengah tak percaya. “Ya udah. Sekarang kita sama-sama berdoa aja biar Chika bisa melewati masa kritisnya.”
 Tak lama kemudian dokter keluar dari ruang inap Chika. Diperhatikan dari wajahnya, sepertinya dokter akan memberi tahu kabar buruk.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Ia ingin bertemu dengan kalian.”
Bu Sinta, Dirga, dan Kartika pun segera masuk ke dalam ruang inap Chika.
Perlahan Chika melepas tabung oksigen yang menyulitkannya berbicara.
“Kenapa dibuka, Sayang? Pake lagi!” ucap Bu Sinta.
“Chika cuma ingin bilang, Mama sama Kak Dirga baikan, ya? Buat Chika. Buat Papa. Chika sayang sama Mama. Chika sayang sama Kak Dirga.”
“Iya, Sayang. Kak Dirga dan Mama akan baikan. Kak Dirga akan turuti semua keinginan kamu. Asal kamu sembuh. Kamu sembuh buat Kakak. Buat kita semua.”
“Kak Dirga juga harus baikan sama Kak Kartika. Jangan berantem lagi.”
“Iya. Kakak janji.”
Puas mendengar jawaban Dirga. Chika pun menutup matanya dan menghembuskan napas terakhirnya. Alat pendeteksi denyut nadinya pun menunjukkan Chika sudah meninggal. Ia sudah kembali ke Sang Pencipta menyusul kepergian Papanya.
“Chika? Chika bangun! Chika bangun! Jangan tinggalin Kakak. Kamu mau liat Kakak baikan sama Mama, kan? Ayo bangun!” ucap Dirga berkali-kali setengah berteriak. “Dokter, kenapa adik saya tidak mau membuka matanya?”
“Ikhlaskan kepergiannya, Mas.”
“Anda ini dokter. Kenapa anda tidak bisa mengembalikan adik saya?”
“Saya hanya seorang manusia biasa. Saya tidak bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal. Nyawa, hanya Tuhanlah yang mengetahuinya.”
“Enggak. Ini semua enggak boleh terjadi. Chika…” teriak Dirga bergema.
Bu Sinta hanya diam terpaku. Ia masih belum mempercayai, anaknya baru saja pergi untuk selama-lamanya. Rasanya kakinya sudah tidak mampu lagi menopangnya untuk berdiri. Ia amat lemas. Kejadian sepuluh tahun yang lalu terjadi kembali. Kini anak bungsunya yang harus pergi meninggalkannya. Hatinya amat terpukul. Ia tak mampu berkata lagi. Ia pun segera pergi keluar ruang inap Chika. Dan menangis tak habisnya di depan ruang inap Chika.
Sementara Kartika hanya diam terpaku di belakang tubuh Dirga. Tak mampu lagi ia berkata. Sama seperti Bu Sinta, ia tak bisa mempercayai gadis yang baru ia kenal kurang dari satu bulan itu meninggal di hadapannya.
Dirga segera menyusul Ibunya. Diikuti oleh Kartika yang ada di belakangnya.
“Puas anda sekarang? Karna anda ayah saya meninggal. Dan sekarang karna anda juga adik saya meninggal. Kenapa anda bunuh semua orang yang sangat saya sayangi? Kenapa anda tidak membunuh saya juga? Saya benci harus dilahirkan oleh ibu macam anda. Kenapa anda harus melahirkan saya? Lebih baik saya tidak terlahir ke dunia ini daripada harus mempunyai ibu seperti anda.”
Hati Bu Sinta semakin teriris. Baru saja ia kehilangan anak keduanya. Dan sekarang ia harus dibentak oleh anak sulungnya. Bibirnya kaku. Tak dapat berkata apa-apa lagi. Dan ia pergi setengah berlari meninggalkan Dirga.
Setelah Bu Sinta pergi, Kartika menampar Dirga. Namun Dirga hanya diam saja.
“Kenapa lo diem aja? Kenapa lo enggak marahin gue? Kenapa lo enggak bentak gue juga seperti yang lo lakukan terhadap nyokap lo? Lo gila, Ga. Dia enggak ngelakuin apa-apa lo bentak sampe segitunya. Dimana hati lo?”
“Tapi dia udah bunuh bokap dan adik gue.”
“Itu semua bukan karna nyokap lo. Ini semua kehendak Tuhan. Enggak ada yang bisa nyalahin apa yang sudah Tuhan kehendaki. nyokap lo juga sangat terpukul. Dia enggak terima Chika meninggal. Dia masih shock dengan semua yang baru aja terjadi. Dan lo tambah lagi sakit hatinya? Lo anak macam apa, Ga? Baru kali ini gue liat ada anak yang berani bentak ibunya. lo enggak tahu gimana sakitnya dia waktu ngelahirin lo?”
“Tapi gue enggak pernah menginginkan dilahirkan dari ibu macam dia.”
“Lo enggak pernah tahu bagaimana sabarnya dia merawat lo sampai sebesar ini?”
“Dan dia enggak pernah ngerawat gue.”
“Tapi apa lo tahu, Ga? Meskipun dia enggak pernah selalu ada di samping lo, dia selalu perhatiin lo. Dia selalu tahu gerak-gerik lo setiap detiknya. Dia tahu apa yang lo lakuan setiap hari. Dia tahu, gue ajak lo ke Pasar Malem. Dia tahu, lo ngajarin gue basket. Dia tahu, semua yang lo lakukan selama ini. 
Dia sangat sayang sama lo. Kalo dia enggak sayang sama lo, mana mau dia kerja banting tulang buat lo selama ini? Mana mau dia melahirkan lo? Mungkin kalo dia enggak sayang sama lo, lo udah jadi gelandangan sekarang ini. Coba lo pikir! Enggak ada ibu yang enggak sayang sama anaknya. Anak adalah sebuah anugerah terindah bagi semua ibu. Cobalah kamu berpikir sampai kesana! Maafin ibu lo, ya? lo masih inget janji lo sama Chika, kan? Minimal dalam benak lo yang lo lakukan itu buat Chika. Buat bokap lo. Buat orang yang lo sayang.”
Dirga menarik tubuh Kartika dan memeluknya erat. “Gue butuh temen sekarang.”
Kartika mengerti akan perasaan Dirga sekarang ini. Ia tahu bahwa untuk saat ini Dirga sangat membutuhkan teman. Ia pun membiarkan Dirga memeluknya. Untuk sedikit membantu meringankan beban berat yang kini tengah Dirga tanggung.
Berita tentang Chika meninggal dunia sudah sampai ke telinga sekolah. Satu sekolah berkabung. Entah karena mereka merasa iba terhadap Chika. Atau mereka hanya memikirkan Dirga. Mereka takut Dirga menjadi stress.
Beberapa karyawan SMA Azka Julian menjadi perwakilan menghadiri upacara pemakaman Chika di Tempat Pemakaman Umum di daerah Jakarta Selatan. Makam Chika sengaja berdampingan bersama makam Ayahnya. Beberapa rekan bisnis Bu Sinta pun ada yang menghadiri upacara pemakaman Chika.
Seusai pemakaman Bu Sinta masih belum mempercayai bahwa kini anaknya tengah digerogoti cacing tanah. Dari semalam ia tidak mampu menahan deras air matanya yang terus-menerus menetes. Ia sangat terpukul dengan meninggalnya anak bungsunya. Juga perkataan Dirga yang tak kalah menyayat hatinya. Sesampainya di kamar, ia segera meraih fotonya bersama Chika. Ditatapinya dengan penuh kesedihan. Semakin deras saja air matanya mengalir.
“Mama…” seru seseorang dengan tergagap.
Bu Sinta pun memutar badannya. Dan berdiri berhadapan dengan orang tersebut. Orang itu segera menghampiri Bu Sinta dan bersujud dikakinya.
Dengan air mata yang terus mengalir di wajahnya, ia berkata, “Mama. Maafin Dirga! Maafkan semua perlakuan yang pernah Dirga tujukan pada Mama. Maafkan semua perkataan Dirga yang pernah menyinggung hati Mama. Dirga sangat menyesal melakukan semua itu sama Mama.”
Bu Sinta semakin tak kuasa menahan deras air matanya. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis kebahagiaan. Untuk pertama kali, anak sulungnya menyebutnya Mama dengan tulus. Dan untuk pertama kalinya Dirga bersujud di kakinya.
Dengan penuh kasih, Bu Sinta membangunkan Dirga. Dan dengan air mata yang terus mengalir ia berkata, “Enggak ada yang perlu dimaafin. Enggak pernah kamu buat hati Mama sakit. Enggak pernah kamu buat salah sama Mama. Mama sayang sama kamu.”
“Mama…” Dirga memeluk ibunya erat. Seperti ingin selamanya memeluk ibunya. Tak ingin melepaskannya. Ingin selalu ada di sampingnya. “Dirga sayang Mama.”
Semula hatinya yang begitu sakit, kini sembuh kembali. Bahkan lebih dari itu. Ia sangat senang. Akhirnya Dirga bisa memaafkannya. Bisa menerimanya sebagai ibu. Bagai mimpi yang baru saja terjadi di kehidupan nyata.
***
Sekolah sudah sepi. Namun Kartika masih ada di sekolah. Ia baru saja selesai remedial ulangan fisika. Dikarenakan pada saat ulangan sebelumnya nilainya kurang dari rata-rata. Dan hanya ia seorang yang tidak lulus dalam ulangan kali itu di kelasnya. Ia tidak putus asa dengan hasilnya yang tidak memuaskan itu. Ia mencari guru yang bersangkutan, dan meminta kepada beliau untuk melakukan ujian ulang. Awalnya Sang Guru menolak. Namun melihat kegigihan Kartika untuk mendapatkan nilai, beliau pun mau memberi kesempatan kedua pada Kartika. Dan Kartika pun dapat mengubah nilai limanya menjadi tujuh. Walau tidak sebesar ketiga temannya yang hampir semua mendapat nilai sepuluh, ia tetap bangga pada dirinya sendiri.
Ketika ia tengah menunggu metromini yang akan mengangkutnya di halte bis dekat sekolah. Seseorang mengagetkannya.
“Gue tunggu dari tadi baru dateng.” ucapnya.
Kartika melirik kiri kanan. Pemilik suara itu tak ditemukan. Dan ternyata orang itu ada di belakangnya. Kagetnya bukan main. “Dirga? Ngagetin aja,” ucap Kartika. “Emangnya ada apa lo nungguin gue?”
“Ikut gue!” ucapnya seraya beranjak dari tempat duduknya.
“Kemana? Enggak, ah!”
“Nyokap ngundang lo makan siang di rumah. Katanya dia udah masak makanan spesial buat lo.”
“Yang bener?”
“Terserah lo mau percaya atau enggak. Yang jelas gue udah nyampein pesan dari nyokap gue.” Dirga pun pergi.
“Awas ya, kalo bohong!” Kartika pun mengikuti langkah Dirga.
Sampailah di rumah Dirga.
Ternyata Dirga tidak membohongi Kartika. Sebuah pesta kecil-kecilan akan diadakan di rumah mewah Dirga. Tamu undangannya pun hanya Kartika seorang. Sang tuan rumah masih sibuk di dapur mempersiapkan hidangan yang akan disajikan di atas meja makan. Walalupun jelas terlihat meja makan sudah sesak dengan berbagai jenis hidangan.
Kartika hanya bisa ternganga melihat meja makan yang penuh dengan hidangan. Sementara Dirga pergi ke kamarnya untuk menyimpan tas dan berganti pakaian. Di saat yang bersamaan Dirga bergerak menuruni anak tangga dan Mamanya ke luar dari arah dapur dengan semangkuk opor ayam di tangannya.
“Sini, Ma! Biar Dirga yang bawain.” ucap Dirga sembari mempercepat langkahnya menuruni anak tangga.
“Kamu ini gimana sih, Ga? Kartika udah dateng bukannya kamu suruh duduk. Ayo duduk, Ka!”
Sontak Kartika sangat terkejut. Ia tak bisa mempercayai apa yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana bisa Dirga bisa seramah itu terhadap Ibunya? Sungguh sangat sulit dipercaya, pikir Kartika.
“Lo kenapa sih, Ika? Mama udah nyuruh lo duduk. Kenapa lo masih terpaku disitu?” ucap Dirga sembari meletakkan semangkuk opor ayam di atas meja makan. Sebelum ia meletakkannya, ia harus menggeser hidangan di sebelahnya.
Kartika tetap diam terpaku. Ia masih tak beranjak dari tempatnya berpijak.
“Ya, gue ngerti. Lo pasti kaget gue bisa baik sama nyokap gue. Ya. Gue udah baikan sama nyokap gue. Mungkin ini semua tak lepas dari bantuan Lo. Makasih ya, Ika.”
Bu Sinta berjalan menghampirinya dan memeluknya erat. “Ika. Tante begitu mengucapkan banyak-banyak terima kasih sama kamu. Kamu banyak membantu Tante untuk dekat dengan Dirga. Dengan semua yang kamu lakukan, akhirnya kamu bisa membuat Dirga kembali menyayangi Tante. Harus dengan apa Tante membayar itu semua?”
“Aku cuma mau kalian tetep akur sampai kapanpun.”
Mereka pun memulai pesta dengan makan siang. Seperti biasa, melihat hidangan yang begitu banyak dan memikat hati, Kartika makan begitu lahap sampai tak ada lagi makanan yang sanggup ia makan lagi. Seusai makan siang, pesta berpindah di pinggir kolam berenang. Ia duduk di tepi kolam ditemani segelas jus jeruk di sampingnya dan memasukkan sebagian kakinya ke dalam air.
Dilihatnya ibu dan anak yang tengah menikmati kebersamaan. Ia ingat kejadian tujuh tahun yang lalu, sebelum kedua orang tuanya meninggal. Ketika ibunya membelai rambutnya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Dan kini tak ada lagi tangan lembut yang membelai rambutnya lagi. Dan tanpa ia sadari, air matanya mulai membasahi sebagian wajahnya.
Ia pun memejamkan matanya. Dirasakannya seseorang tengah membelai rambutnya dengan penuh kelembutan. Perlahan ia kembali membuka matanya. Dilihatnya sesosok wanita berparas cantik dengan senyumnya yang khas tengah membelai rambutnya, tak lain tak bukan wanita itu adalah ibunya. Kini ia bisa bertatapan lagi dengan wanita yang sudah lama meninggalkannya.
“Ika, kenapa kamu nangis?” suara itu membuat ibunya tak lagi di hadapannya. Dan ia baru sadar bahwa ia tengah bermimpi. Mengapa tidak selamanya saja ia bermimpi? Kalau perlu ia tak usah bangun kembali agar ia bisa selalu bersama ibunya.
“Bu Sinta?” Dan ternyata yang ia rasakan ibunyalah yang membelai rambutnya, tapi pada kenyataan itu bukanlah ibunya. Melaikan Mamanya Dirga.
“Kenapa kamu nangis?”
“Aku cuma lagi kangen aja sama Mama. Aku iri sama semua orang yang masih punya ibu. Mereka masih bisa memeluk ibu mereka, menatapnya. Tapi aku enggak bisa.”
“Kalau kamu mau Tante bisa jadi Mama kamu. Kamu boleh panggil Tante ‘Mama’. Siapa tahu nanti kamu benar-benar memanggil Tante ‘Mama’.”
“Aku enggak ngerti maksud Tante.”
“Tante setuju-setuju saja jika kalian pacaran. Atau kalau bisa sampai menikah.”
“Kalian?” Kartika semakin tak mengerti.
“Ya, kalian. Kamu dan Dirga.”
“Ah, Tante ada-ada saja.”
“Iya nih, Mama. Ngomongnya ngarang aja.” Dirga pun ikut dalam percakapan tersebut. “Dirga enggak ada hubungan apa-apa sama Kartika. Lagian mana mau aku punya cewek galak kayak dia.”
“Siapa lagi yang mau punya pacar jutek kayak lo” Kartika tak mau kalah.
“Ya, sekarang sih bilangnya enggak. Siapa tahu besok-besok jadi iya.”
“Enggak.” ucap Kartika dan Dirga serentak.

Kemudian acara dilanjut dengan nonton DVD. Bu Sinta tidak ikut karna ada meeting mendadak di kantornya. Film yan Dirga putar adalah film laga Hollywood. Kalo nonton film horor pasti Kartika enggak mau. Padalah kalo nonton film horor Dirga yang untung, karna bisa dipeluk-peluk. Hehe… otak mesum.
Entah mengapa—mungkin karna Kartika kelelahan—saat film masih berlangsung Kartika pun tertidur di samping Dirga. Kepalanya bersandar pada bahu Dirga.
Dirga baru sadar kalo Kartika sudah tidur setelah film selesai. Diamatinya wajah Kartika dengan seksama. Ternyata Kartika cantik juga. Tangannya mulai membelai wajah Kartika, walau begitu Kartika tidak terbangun.
Sampai Bu Sinta pulang, Dirga pun berhenti membelai wajah Kartika.
“Eh, Kartika malah tidur?” sapa Mamanya. “Ayo bangunin! Udah sore.”
Tanpa dibangunkan Dirga pun Kartika sudah bangun sendiri. Lalu Kartika pun diantar pulang oleh Dirga.
Sesampainya di rumah Kartika. Keadaan rumahnya masih gelap gulita. Kalaupun biasanya jam segini Kak Adnan sudah gelisah menunggui Kartika yang belum kujung pulang, tapi sekarang orang yang biasa melakukan aktivitas tersebut sedang tidak ada di rumah. Sudah sejak empat hari yang lalu Adnan mengikuti wisata ke Bali bersama teman-teman sekantornya dan juga beberapa atasan. Dan biasanya kalau Adnan tidak ada di rumah untuk waktu yang lama pasti Kartika ditemani oleh Arini. Namun sekarang Kartika sudah mulai dewasa, ia harus dilatih mandiri. Walau pada awal keberangkatannya Adnan agak berat hati meninggalkan Kartika sendiri di rumah. Selalu saja hatinya diselimuti rasa khawatir. Dan untuk mengatasi rasa khawatirnya yang overdosis, selalu saja setiap harinya ia menghubungi Kartika hampir lebih dari 20 kali.
“Kakak lo belum pulang?” tanya Dirga setelah Kartika turun dari motor ninjanya.
“Katanya sih, lusa baru mau pulang.”
“Oh. lo hati-hati di rumah, ya! Selamat tidur!”
“Ya. lo juga hati-hati di jalan. Jangan ngebut!”
Dirga pun menyalakan motornya dan pergi dari pekarangan rumah Kartika. Kartika pun mulai bergerak memasuki rumahnya. Namun Dirga memutar arah laju motornya ke pekarangan rumah Kartika kembali.
“Ika” serunya.
“Apa?” Kartika memutar badannya.
“Besok gue tunggu di Café Wiyuka jam 13:00.” Setelah mengucapkan kata tersebut, ia kembali melanjutkan laju motornya.
Kartika kurang jelas mendengar apa yang baru saja Dirga katakan. Setelah otaknya sudah mampu mencerna apa yang baru saja Dirga ucapkan. Ia pun berjalan memasuki rumah sambil tersenyum-senyum sendiri. Dirga mengajaknya jalan—atau dalam bahasa kerennya ‘kencan’.
“Gue pasti dateng.”
Kartika sudah selesai mandi dan mengganti pakaian dengan baju tidur, ia pun segera beranjak menuju tempat tidurnya. Kata-kata Dirga yang mengajaknya kencan masih terngiang di telinganya. Tanpa ia sadari ia pun tersenyum-senyum sendiri lagi.
Ada apa dengan dirinya ini? Ia nampak senang jika selalu berada di samping Dirga. Pertama kali dalam seumur hidupnya ia merasakan hal ini pada seorang laki-laki, dan orang itu hanya Dirga. Apa ini yang dinamakan cinta? Cinta? Apa benar ia jatuh cinta pada Dirga? Tidak. Ia tidak boleh jatuh cinta pada Dirga. Ia begini karna mungkin baru pertama kali ia sedekat ini dengan seorang laki-laki. Atau hanya perasaannya saja. Jika ia benar-benar jatuh cinta pada Dirga, pasti Hima akan marah sekali padanya. Hima akan menganggapnya sebagai pengkhianat. Ia harus buang jauh-jauh perasaan ini. Besok adalah kali terakhirnya ia dekat dengan Dirga. Ia harus segera menjauh dari Dirga, sebelum nanti akhirnya perasaan ini berubah jadi cinta yang sesungguhnya.
Sampai di rumah Dirga langsung menuju kamarnya. Sama halnya dengan Kartika, ketika Dirga menaiki anak tangga. Ia bersenandung germbira. Sesekali berputar-putar layaknya orang yang tengah menari salsa. Dari wajahnya tersirat sinar kebahagiaan.
“Yang mau kencan, girang amat keliatannya.” ujar Bu Sinta tiba-tiba.
“Mama?” balas Dirga setengah terkejut. “Siapa yang mau kencan? Ada-ada aja.”
“Mama tahu, kok. Besok siang jam 13:00 di Café Lucky, kamu mau ketemuan sama Kartika.”
“Darimana Mama tahu semua itu?” Dirga menghampiri Mamanya yang tengah duduk santai di depan televisi dengan secangkir coklat panas.
“Kenapa enggak sekalian kamu ‘tembak’ aja?”
“Dirga enggak ngerti maksud Mama.”
“Dari tatapan kamu sama Kartika, Mama bisa liat kalo kalian saling suka. Juga ketika tadi siang Mama bilang ‘setuju jika kalian pacaran’ sama Kartika, mukanya langsung merah. Apa itu bukan namanya tanda-tanda jatuh cinta?”
“Mama ngawur aja kalo ngomong. Siapa yang cinta sama gadis galak itu?”
“Oh, gitu. Menurut Mama Kartika cantik, kok. Jadi kalo kamu enggak ‘nembak’ dia, masih banyak laki-laki yang mengantri untuk jadi pacarnya.”
“Masak sih, Ma?” ujar Dirga agak terkejut.
“Denger Kartika banyak yang naksir aja langsung kaget. Buruan tembak. Keduluan sama orang lain aja, nanti nyesel, lho.”
“Ah, Mama.” Dirga segera bergegas menuju kamarnya setengah berlari. Walau pikirannya masih dihantui oleh ucapan Mamanya. Kartika banyak yang naksir? Bagaimana dengannya?



Bersambung :v


Kopi dan Kue

Belajar dari buaian hingga ke liang lahat---

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama