Tugas Bahasa Indonesia | Contoh Laporan/Jurnal Perjalanan



Jalur Trem Kota Melbourne
Karya : Sulthan Salsabil Neza

Mataku mulai membuka ketika berusaha untuk mematikan alarm yang bersumber dari sebuah handphone, yang terletak diatas meja yang terbuat dari kayu mahoni. KLIK! Alarm yang berbunyi berisik itu akhirnya berhasil kumatikan. Kemudian aku melihat kearah jendela, kulihat pemandangan kota Melbourne yang sedang dilanda musim gugur dari ketinggian 8 lantai, saking takjubnya karena ini adalah musim gugur perdanaku, tak segan sepertinya wajah ini untuk menempel erat di kaca jendela. Sesuai dengan pesan ayahku sesaat kami baru sampai di Melbourne tadi malam, bahwa ia akan menghadiri pertemuan pagi ini, sehingga terpaksa meninggalkanku sendirian disini, dan jika aku bosan di hotel, aku boleh berjalan-jalan keliling kota dengan syarat jangan sampai karena terlalu bersemangat, arah jalan pulang pun jadi terlupa.
Bosan berlama-lama hanya melihat dari atas, aku langsung melesat ke kamar mandi untuk bersiap-siap sebelum pergi berkeliling di kota yang beru pertama kali aku singgahi ini.
Jam menunjukkan pukul 08.00 PM waktu Australian Eastern Standard Time ketika aku mulai menutup pintu hotel untuk memulai mengelilingi kota Melbourne. Sesaat sesudah aku keluar dari hotel, udara dingin langsung menyambutku, alih-alih sebelumnya di hotel merasa gerah karena pemanas yang suhunya terlalu hangat, kini aku langsung mengenakan jaket bulu berwarna hitam yang sebelumnya sangat jarang kukenakan saat berada di Indonesia. Aku mulai berjalan kembali, dan ketika sampai di Collins Street semerbak aroma kopi mulai menikam indra penciumanku. Kulihat di sepanjang jalan banyak sekali kafe ataupun kedai kopi, dan semuanya sangat ramai akan pengunjung. Menurutku, penduduk disini sepertinya suka sekali akan kopi. Perut yang belum diisi sedari pagi akhirnya membuat kaki melangkah ke sebuah cafe yang bernama Hungry Jack. Bau khas roti yang baru dipanggang dan percakapan dari keramaian yang tak terdengar begitu jelas adalah kesan pertamaku ketika memasuki cafe ini. Kemudian aku duduk di sebuah kursi pada meja bar dan mulai melihat menu yang tertera di dinding cafe sebelum akhirnya seorang pelayan dengan rambut coklat menghampiriku dan berkata.
“Good morning sir, can i take your order?”
Aku pun menjawab dengan bahasa inggrisku yang saat itu tidak terlalu bagus. “Sure, i want a medium vanilla frappucino and two chocholate croissant. Please”
 Pelayan itu mencatat semua pesananku, menyuruhku menunggu sekitar 10 menit dan menawarkan salad gratis yang terdapat pada salad bar yang berada diujung ruangan sebelum akhirnya ia pergi. Kemudian aku mengambil peta kota yang terdapat pada rak koran yang terdapat disebelahku. Aku melihat bahwa kota ini jalan nya sangat mudah sekali untuk dihafal karena kota ini berbentuk blok-blok yang jalan-jalan utamanya terdapat jalur trem yang melingkari kota ini, aku kemudian menarik kesimpulan bahwa jika aku mengikuti jalur trem untuk berjalan-jalan, maka aku tidak akan tersesat karena jalur trem pasti akan kembali ke jalur yang sama. 10 menit tidak terasa tatkala aku merencanakan jalur trem mana yang akan aku tempuh. Pelayan yang tadi datang dengan breakfast yang aku pesan tadi.
Aku menyeruput Frappucino ku ketika mulai melangkah mengikuti jalur trem yang sudah aku putuskan akan kujejaki, yaitu jalur trem Spencer Station-Melbourne Museum. Jalur ini dimulai dari Stasiun Kereta Spencer dan berakhir di Museum Nasional Melbourne, begitupun sebaliknya.
Sepanjang perjalanan, aku melihat bahwa kota ini sangat indah, bangunan-bangunan tertata rapi, kendaraan umum seperti trem dan bus lebih banyak ditemukan ketimbang kendaraan pribadi. Toko-toko ataupun kedai makanan berjejer di sepanjang pusat kota, diatasnya terdapat apartemen dimana sebagian penduduk kota ini tinggal. Sungai nya juga sangat bersih dari polutan ataupun limbah, sangat mengetjukanku ketika mengingat bahwa Melbourne dengan 4,1 Juta penduduknya adalah kota yang besar, yang setidaknya menghasilkan banyak sekali limbah. Kemudian pada jalan-jalan tertentu, terutama jalan yang tidak dilalui trem dan bus, jalur pejalan kaki lebih besar daripada jalan kendaraan, dan lampu merahnya terdapat sebuah tombol yang jika ditekan maka waktu nya akan cepat sehingga pejalan kaki yang terburu-buru bisa mempercepat lampu yang sedang berwarna. Dua hal ini adalah hal yang membuatku benar-benar takjub dengan Kota Melbourne yang ternyata sangat mengutamakan pejalan kaki.
Budaya yang juga sangat terlihat di kota ini adalah masyarakatnya sangat sopan, orang-orang disini ketika melihat turis sepertiku akan langsung mengajak ngobrol dan merekomendasikan tempat-tempat menarik di kota ini. Selain itu, orang-orang disini juga ketika secara tak sengaja menyenggol orang lain akan langsung berkata “Sorry” atau dalam Bahasa Indonesia artinya maaf. Ya, orang-orang disini selalu meminta maaf bahkan akan hal yang sepertinya tak perlu dipermasalahkan sama sekali.
Matahari tepat berdiri diatas kepalaku ketika aku sampai didepan restauran ala Indonesia. Karena ini jam nya makan siang, dan karena penasaran bagaimana masakan Indonesia di luar negeri akhirnya aku memutuskan untuk makan disini, di restaurant yang bernama Nelayan Restaurant Indonesia.
Pelayan nya disini orang Indonesia semua, jadi aku tak perlu menggunakan bahasa inggris untuk berkomunikasi, tetapi yang paling mengejutkan adalah bahwa harga masakan Indonesia sangat mahal dibandingkan masakan barat, bahkan harganya bisa mencapai 5 kali lipat. Ibaratkan nya jika di Indonesia nasi berlauk ayam dan sayur kangkung dan kentang seharga 18 ribu rupiah, maka di Australia dihargai dengan  8 Dolar Australia atau setara dengan 72 ribu rupiah, padahal makan barat sejenis burger disini hanya seharga 1,5 Dolar Australia atau sekitar 12 Ribu Rupiah. Sempat aku bertanya kepada pelayan restauran mengapa harga nasi lebih mahal dari harga daging disini, dan mereka menjawab adalah karena sulitnya mendapatkan beras ketimbang daging di negara ini, sebab disini nasi adalah barang yang diimpor dari negara lain seperti Indonesia, Thailand ataupun Vietnam. Latar belakang hal tersebut adalah kondisi tanah di negara ini sangat sulit untuk menumbuhkan tanaman seperti padi.
Selesai makan, aku kembali melanjutkan perjalanan “Jalur Trem” ku. Kini aku sudah sampai di Exhibition Street. Di ujung jalan besar ini, terdapat sebuah gedung dengan arsitektur klasik abad rennaisance yang dikelilingi taman bernama Royal Exhibition Building . Gedung ini dikenal sebagai tempat pertemuan acara-acara penting yang sudah digunakan sejak zaman kolonial dulu.
Dibelakang gedung tersebut terdapat Melbourne Museum. Bagiku, Melbourne Museum adalah museum terlengkap dan terbagus yang pernah kukunjungi seumur hidup. Museum itu memuat segalanya, dari zaman batu hingga zaman tekhnologi, dari hal kecil hingga hal-hal besar. Yang palik unik adalah adanya hutan hujan tropis mini didalam museum tersebut, lengkap dengan flora-flora yang sangat langka didalamnya. Kemudian ada juga fosil-fosil dinosaurus, bahkan replika Dinosaurus itu ada, yaitu sebuah robot Dinosaurus yang bertingkah layaknya sebuah kenyataan. Masih banyak sekali hal yang terdapat di museum ini. Yang tak dapat kujelaskan satu persatu, yang tak dapat kujelaskan secara ilmiah ataupun yang tak dapat kujabarkan secara rinci.
Selesai berkeliling didalam museum hingga memakan waktu 4 Jam, ternyata matahari sudah terbenam ketika aku keluar dari museum, padahal jam masih menunjukkan akar dari 25. Baru kusadari bahwa memang jika musim gugur matahari lebih cepat terbenam dari biasanya.
Malas berjalan untuk kembali ke hotel, aku memutuskan untuk menaiki Trem. Kubaca petunjuk yang tertera di halte trem di Pertigaan La Trobe-Exhibiton Street. Untuk menaiki sebuah trem ataupun bus di Kota Melbourne ternyata haruslah membeli tiket elektronik nya dulu yang dapat diperoleh di setiap halte. Aku kemudian melihat sebuah vending machine electronic ticket yang berada disebelahku. Kubaca perlahan petunjuknya agar tidak salah, untuk sekali perjalanan dengan trem membutuhkan biaya sebanyak 30 Sen untuk satu jalur lintas, sementara untuk sebuah bus 25 Sen, jika pindah jalur maka perjalanan dihitung 2 kali dan seterusnya. Karena tak ingin bolak-balik membeli tiket, maka aku mengambil paket 10 tiket perjalanan trem dan 5 tiket perjalanan bus yang dihargai seharga 5 Dolar Australia. Aku memasukkan uang 5 Dolar kesebuah lubang tipis bertuliskan diatasnya Insert Money Here. Uang ku yang lenyap memasuki lubang itu secara otomatis mengeluarkan sebuah kartu tiket elektronik di lubang yang berada dibawah, ku ambil kartu itu dan mulai menunggu trem.
Tak lama kemudian, trem datang dan berhenti di halte tempatku berdiri. Aku memasuki trem untuk pertama kalinya, kulihat ada sebuah kotak scanner yang berada di dekat pintu trem yang diketahui berguna untuk memindai kredit perjalanan yang ada di kartu tiket elektronik.  Aku memindai kartuku dan mulai mencari tempat duduk. Keadaan trem sore itu tidak terlalu ramai ataupun terlalu sepi.
Aku melihat kearah pelat besi pembatas kursi yang bergambar jalur-jalur trem Kota Melbourne. Aku melihat masih ada 7 perhentian sebelum kembali ke Collins Street. Kemudian aku melihat kearah jendela, dimana aku masih sangat takjub dengan sistem Planologi kota ini. Di perhentian ke-4, sampailah trem di Flinders Station, stasiun tertua di Melbourne. Berbeda dengan Spencer Station yang melayani kereta antar kota, Flinders Station hanya melayani kereta listrik atau Commuter Line yang berbasis di provinsi Victoria saja. Orang berlalu lalang di stasiun itu, ada yang sepertinya baru pulang dari kantor, yang berkencan dengan pasangannya, yang membawa keluarga ataupun anak-anak sekolah yang sepertinya baru pulang dari Hangout.
Trem mulai bergerak kembali, musik klasik yang dilantunkan pada speaker Trem juga mulai terdengar di telingaku. Udara dingin, percakapan penumpang trem yang tidak terdengar begitu jelas, sorotan lampu-lampu malam yang hilang timbul ataupun bunyi gesekan antara roda besi trem dengan rel adalah hal yang membuat suasana begitu damai saat itu.
Ingin waktu berhenti untuk menikmati suasana damai ini, apa daya ternyata trem telah sampai di tujuan, di Collins Street. Aku turun tepat di halte yang didepan nya terdapat supermarket bernama Cole’s. Kemudian aku mampir untuk membeli soda dan sedikit cemilan untu malam nanti. Hal yang membuatku bingung ketika berbelanja disini adalah tidak adanya kasir. Yang ada hanyalah mesin pembayar, jadi aku hanya harus memindai kode batang dari produk yang kubeli sendiri, memasukkan uang kertas ataupun koin ke sebuah kotak, menunggu mesin itu menghitungnya kemudian mengembalikan sisa uang nya kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti hingga menanyakan caranya dengan pegawai yang ada di bagian informasi. Sungguh canggih supermarket disini sehingga aku bahkan harus memplastikkan barang-barangnya sendiri.
Selesai berbelanja, aku berjalan kembali pulang ke hotel. Kulihat ke langit, bulan sabit ditemani beberapa bintang langit selatang menerangi kota ini. Hari ini rasanya singkat sekali, perjalananku mengikuti jalur trem benar-benar menyenangkan, banyak yang dapat kulihat dan pelajari disini. Sekembalinya di hotel, sambil  menggosok gigi, kulihat sekali lagi pemandangan kota Melbourne yang gemerlap akan cahaya-cahaya lampu berwarna-warni. Tidak sabar untuk menunggu hari selanjutnya, menemukan sesuatu yang baru lagi, dan kali ini aku tidak sendiri, karena besok aku akan ditemani oleh ayahku dan beberapa teman nya. Yah, walaupun omongan orang dewasa terkadang memang membosankan, setidaknya teman-teman ayah pasti tahu akan hal-hal menarik di kota ini, yang belum aku lihat ataupun aku ketahui. Mengingat hal itu, hatiku semakin merasa tak sabar untuk menjumpai matahari terbit kembali di esok hari.

*FIN*

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »