Cerpen - Setitik Embun pada sebuah Ikrar

Oleh : Sulthan Salsabil Neza

Matahari sepertinya mulai ingin menyembunyikan dirinya, langit yang semula berwarna biru cerah pun perlahan mulai berubah menjadi jingga. Aku berdiri di sebuah stasiun kereta api, diterpa oleh angin senja yang bersemilir manja . Sudah sangat lama aku tidak ketempat ini. Walau begitu, tidak banyak yang berubah dari tempat ini. Perlahan satu-persatu ingatanku terungkit kembali, memaksaku untuk kembali pada ruang waktu yang sangat menyedihkan itu. Seketika aku berlari menuju suatu tempat, sebuah tempat dimana titik balik kehidupanku terjadi.
 Aku kemudian sampai disebuah gang yang tidak terlalu besar.  Dimana aroma kue-kue buatan rumahan tercium olehku.  Ternyata tempat ini benar-benar tidak berubah, di kedua sisi  gang masih banyak orang-orang yang berjualan makanan  ataupun kerajinan khas daerah ini. Aku terus menyusuri gang  ini, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku, sementara  perasaanku terus bergejolak. Tak lama kemudian, aku melihat  sebuah pagar kayu berwarna coklat yang di permukaan nya  terdapat banyak sekali coretan, salah satu dari coretan tersebut  bergambarkan anak perempuan yang sedang memakai seragam  sekolah, dibawah nya bertuliskan sebuah tulisan, “Embun ingin  sekolah” .
 Aku tercekat, lidahku kelu, hatiku perih. Aku pun terdiam  sejenak, dan kemudian mengizinkan ingatanku mengingat  kembali akan hari-hari itu.
Tatkala itu, sambil menahan rasa lapar yang terus menyerang dan dingin yang membuatku mengerang, aku duduk bersandar di sebuah pagar kayu. Saat itu aku berumur 7 tahun, dan mengapa aku terduduk kelaparan disana adalah tak lain tak bukan karena aku yang kabur dari rumah setelah dimarahi oleh orangtua ku, yang disebabkan karena aku selalu berkelahi di sekolah tanpa pernah mau belajar.
Saat itu, aku melihat seorang wanita menjatuhkan dompetnya tepat didepan mataku, tanpa pikir panjang aku langsung membuka dompet itu, aku pun melihat banyak sekali uang berwarna merah dan biru. Bahagia adalah satu-satunya kata yang tepat pada saat itu, karena dengan uang-uang tersebut aku akhirnya bisa membeli makanan.
Tetapi, saat aku membalikkan badan dan hendak berlari, seorang anak perempuan mengambil dompet tersebut dari genggaman ku. Kemudian ia berlari menyusul wanita yang menjatuhkannya. Aku pun mencoba mengejar anak perempuan tersebut, tetapi untuk ukuran anak perempuan, larinya cukup cepat sehingga tidak terkejar olehku. Kemudian aku melihat dia mengembalikan dompet itu tanpa diberi imbalan sedikitpun, dia pun berjalan kearahku sambil tersenyum. Aku pun marah kepadanya saat itu.
“Hei! Kenapa kamu tersenyum? Kamu baru saja kehilangan uang yang sangat banyak, uang itu bisa membeli sosis, permen, coklat dan sebagainya, kamu benar-benar bodoh” Aku benar-benar marah saat itu. Tetapi, raut wajahnya tak berubah sedikitpun, dan sambil tersenyum dia membalas amarahku.
“Mencuri itu tidak boleh, itu tidak baik” ia pun berlari kembali meninggalkan aku yang masih tak mengerti ucapan nya. Berlari dan terus berlari, akhirnya aku sampai dirumah anak perempuan itu.
Ternyata dia tinggal di sebuah gubuk berdinding kayu yang lebih mirip garasi bagiku. Dari kejauhan aku melihat ia sedang memapah seorang nenek yang kaki sebelah kirinya diamputasi, tiba-tiba perasaanku merasa sangat bersalah saat itu. Anak perempuan itu, kalau dia ingin, dia bisa saja mengambil semua uang yang ada didompet tadi. Tapi dia tak melakukan nya, padahal apa yang kulihat barusan, ia tampak sangat miskin. Aku benar-benar merasa terpukul saat itu, mengapa aku yang masih memiliki orang tua dan dari keluarga yang berkecukupan mau mencuri uang milik orang lain.
 Anak perempuan itu tampak kesulitan memapah nenek  tersebut. Aku pun berlari kearah  mereka dan membantu  memapah nenek itu. Anak perempuan itu tersenyum padaku.  Saat itu ketika melihat senyumnya, entah mengapa aku begitu  merasa tenang.
 Setelah lelah memapah nenek tersebut, akhirnya kami sampai  disebuah kios. Ternyata nenek itu bekerja sebagai penjual  buah-buahan. Dari penglihatanku saat itu, tak banyak  keuntungan yang didapat oleh nenek itu, karena ia hanya  menjual kembali buah-buahan yang dibelinya dari orang lain.
 Saat itu, sepertinya nenek itu tau bahwa aku sedang kelaparan,  ia pun memberiku sebuah apel.
 “Ini untukmu anak tampan, terimakasih ya sudah membantu  kami” Ucap nenek itu. Aku pun tersenyum gembira sembari  langsung menggigit buah apel itu.
Kemudian aku melihat anak perempuan tadi sedang menulis. Aku pun menghampirinya dan ternyata ia sedang belajar berhitung. Melihat aku yang memperhatikannya terus menerus ia pun mengajakku untuk belajar bersama. Aku pun yang saat itu begitu malas belajar, entah mengapa begitu semangat ketika anak itu menanyaiku terus menerus tentang hitung-hitungan.
“Kenalin ya, namaku embun” anak perempuan itu mengenalkan dirinya setelah dari tadi hanya melemparkan pertanyaan secara terus menerus. Aku pun mengenalkan diriku juga kepadanya.
“Aku Ikrar. Salam kenal ya. Namamu bagus, Embun” Untuk pertama kalinya aku memuji orang lain saat itu.
Embun ternyata tidak bersekolah, ia tidak mempunyai biaya untuk itu. Padahal ia sangat ingin sekali bersekolah. Ia bercerita, bahwa ia ingin sekali menjadi orang yang pintar, kemudian ia mengajar anak-anak yang tak mempunyai biaya seperti dirinya. Aku pun merasa malu saat itu, aku mempunyai kesempatan bersekolah tanpa hambatan apapun, tetapi aku menyia-nyiakannya.
Sejak itu aku sangat dekat dengan Embun, Sejak itu pula aku sangat rajin bersekolah. Hampir setiap hari setelah pulang dari sekolah, aku pergi ke tempat Embun. Aku mengajarkan hal-hal yang diajarkan padaku disekolah kepadanya. Terkadang kami main bersama, Mengambil buah-buahan untuk dijual  ataupun berlari-lari di gang-gang sempit itu dengan bahagia.
Hingga suatu hari aku dan Embun duduk bersama bersandar di pinggir sebuah pagar kayu. Disebelah kami, ada kaleng cat bekas yang sepertinya masih bisa digunakan. Embun yang melihat itu pun langsung mengambil kaleng cat itu, mencelupkan kuasnya dan mulai mencorat-coret pagar tadi. Sambil mencoret, ia pun berbicara padaku dengan suara yang begitu pelan, yang membuatku benar-benar pilu saat itu.
“Hei Ikrar. Aku ingin sekali bersekolah. Aku ingin sekali belajar hal-hal baru. Aku ingin sekali mempunyai banyak teman. Aku ingin sekali berguna bagi orang banyak. Aku ingin sekali memakai seragam sekolah. Aku... Aku... ingin sekali menjadi seperti dirimu” Embun mulai menitikkan air matanya.
Aku pun begitu sedih saat itu. Akhirnya aku mempunyai ide yang membuat Embun menangis bahagia saat itu.
“Embun. Aku mungkin tak bisa apa-apa, tapi aku akan coba mengabulkan keinginanmu. Aku akan coba meminta orangtuaku untuk menyekolahkanmu juga”
“Benarkah? Tidakkah aku hanya akan merepotkan orangtua mu Ikrar? Aku merasa tak pantas, aku hanyalah seorang anak miskin yang tak mempunyai apa-apa”
“Tidak Embun, kamu pantas. Kamu adalah orang yang hebat, kamu memiliki cita-cita mulia. Kamu baik pada semua orang. Dan kamu benar, kamu selalu benar akan kata-kata yang selalu kamu ucapkan padaku. Semua anak berhak sekolah, dan bagiku itu termasuk kamu Embun”
Embun tak dapat menahan tangisnya saat itu, ia langsung memelukku. Aku pun merasakan sebuah kehangatan di tengah cuaca mendung, yang menghembuskan angin-angin yang dingin nya menusuk kulit. “Tak ada kata lagi yang bisa ku ungkap, terima kasih Ikrar, terima kasih”
“Tidak apa Embun, aku lah yang seharusnya berterimakasih kepadamu. Kamu membuatku mempunyai semangat untuk bersekolah. Mempunyai semangat untuk masa depan, mempunya semangat untuk semuanya”.
 Malamnya, ketika pulang kerumah, aku langsung  membicarakan hal itu kepada orangtuaku. Mereka pun setuju  untuk menyekolahkan Embun setelah mendengar ceritaku.  Keesokan nya sebelum pergi kesekolah, aku dan ayahku  mampir kerumah Embun. Setelah turun dari mobil, aku  langsung berlari kerumahnya dan memanggil namanya.  Embun pun membuka pintu dan begitu terkejut melihatku.
 “Ikrar. Mengapa kamu disini sepagi ini?”
 “Tak perlu dipikirkan Embun. Cucilah mukamu, dan ikutah  denganku. Ayahku akan mendaftarkanmu kesekolah dan  membelikan seragam sekolah untukmu!”
 “Benarkah itu Ikrar?” Embun begitu bahagia. Kembali  perasaan hangat menerpa diriku ketika senyum mulai  tersungging kembali di bibirnya yang merah.
“Iya, tentu saja. Cepat ganti pakaianmu! Karena jika tidak, kita akan segera terlambat!”
“Baiklah, tunggu sebentar ya” Embun berlari masuk kedalam rumahnya dan setelah beberapa menit datang kembali.
“Baiklah, Ikrar. Ayo kita pergi!” Embun pun menarik tanganku dan kemudian berlari.
Seminggu kemudian, seragam sekolah Embun selesai. Sore itu, aku pun langsung menuju rumah Embun untuk mengantar seragam itu. Tapi apa yang kulihat saat sampai disana, benar-benar membuatku sedih. Platik baju embun pun langsung jatuh dari tanganku. Aku melihat Embun sedang terbaring lemah di sebuah kasur yang sudah begitu lapuk.
“Embun, kamu kenapa? Astaga, badanmu panas sekali. Aku harus membawamu kedokter!” Aku pun langsung menggendongnya.
“Tidak usah Ikrar. Aku baik-baik saja kok, aku hanya demam sedikit. Kata nenek kalau minum obat juga akan sembuh”
“Tidak Embun! Kamu harus segera ke dokter! Nenek, biarkan aku membawa nya! ” Tanpa basa-basi aku langsung menggendong nya. Ternyata diluar hujan deras beserta petir sedang terjadi. Setelah berjalan lama, aku menemukan sebuah klinik, aku memohon agar mereka mau mengobati Embun. Tetapi mereka tak mau, mereka bilang, harus punya uang jika ingin berobat disini. Aku memohon-mohon kepada petugas itu, berkata bahwa tenang saja, orangtuaku akan membayar semuanya. Tetapi ia tidak percaya, dan malah mengusir kami. Aku pun berlari kembali, dan menemukan klinik lain nya, tetapi hal yang sama terjadi kembali. Mereka tak mau menerima kami.
Aku pun memutuskan untuk membawa Embun kerumahku dulu, dan menyuruh orangtuaku untuk membawa Embun. Ditengah perjalanan, Embun batuk terus menerus, batuknya mengeluarkan darah. Nafas nya semakin lama semakin cepat. Aku yang begitu khawatir mencoba mempercepat lariku. Tapi ternyata, hujan yang begitu deras sedari tadi membuatku tergelincir karena jalanan yang begitu licin. Aku dan Embun terjatuh, kami tergelatak di jalan sambil disirami air hujan yang begitu deras. Aku melihat Embun mengeluarkan sebatang pensil dari kantungnya, dan kemudian dia berteriak hingga batuk darahnya menjadi semakin parah. Ia menangis, ia begitu menangis saat itu.
“Aku ingin sekali bersekolah. Dan besok adalah hari pertamaku bersekolah. Tapi, sepertinya aku tak bisa menghadiri hari pertama sekolahku, bukan hanya pertama bahkan mungkin untuk seterusnya”
Aku pun langsung tercekat ketika Embun berkata seperti itu. Hatiku sakit, perasaanku pilu. Dan akhirnya aku pun juga menangis, dan berusaha menenangkan Embun.
“Tidak Embun! Kamu harus hadir, ayo kita kerumahku, orangtuaku akan membawamu kerumah sakit, ayo Embun, aku akan menggendongmu lagi! Kamu harus meraih cita-citamu, kamu harus bisa, ayo Embun semangat!” Aku pun berusaha meraih tangan nya. Embun hanya tersenyum simpul, ia menolak raihan tanganku.
“Terimakasih Ikrar. Terimakasih atas segalanya, terimakasih sudah menjadi temanku. Aku benar-benar tidak tau harus membalasmu dengan apa. Tapi ketahuilah Ikrar, aku bahagia bisa menjadi temanmu, aku bahagia ketika kamu mengajarkanku hal-hal baru, aku bahagia bisa bermain bersamamu dan aku sangat bahagia bahwa kamu bahkan ingin menyekolahkanku. Tapi, sepertinya hanya sampai disini. Sebelum aku pergi ketempat yang lebih baik, berikrarlah kepadaku sesuai dengan namamu Ikrar”
 Aku yang tau sepertinya Embun tak akan lama lagi, benar-  benar menangis sejadi-jadinya. Embun melanjutkan  ucapannya.
 “Kamu haru berikrar, bahwa kamu akan rajin belajar, rajin  kesekolah. Kamu harus bercita-cita tinggi, jadilah orang yang  berguna bagi kedua orangtuamu, bagi orang banyak dan bagi  orang-orang sepertiku. Percayalah, setiap langkah yang kamu  pilih, maka itu adalah langkahku juga, dan setiap jalan yang  kamu pilih, maka aku akan selalu ada bersamamu”
 “Ba...baiklah Embun, aku akan berikrar sesuai dengan  keinginanmu. Embun, terimakasih atas segalnya Embun,  terimakasih” Aku menangis sejadi-jadinya ketika Embun  tersenyum bahagia seperti biasa sampai tatkala nafasnya mulai  terhenti. Hujan semakin deras, begitu pula airmataku, aku pun  berteriak keras di tengah gemuruh yang datang silih berganti. Aku mengendong Embun dengan pelan, kulihat wajahnya terakhir kali dengan hati yang sakit. Kulit dan bibirnya begitu pucat, sekitaran mulutnya terdapat banyak bercak darah, matanya sembab dan sepanjang pipinya penuh dengan  bekas air mata.
Aku membawanya kerumahku, orangtua ku begitu terkejut melihatnya. Mereka pun membawa Embun ke neneknya. Sementara aku mengurung diri di kamar dan menangis sepanjang malam.
Kembali ke masa sekarang, aku sedang berdiri melihat coretan Embun di pagar sembari menitikkan air mata karena mengingat kenangan itu. Sejak hari itu hingga kini, aku tak akan pernah melupakan Embun. Embun selalu menjadi motivasi diriku.
Tiba-tiba, sinar matahari senja menyilaukan mataku. Aku pun melihat keujung gang dimana sinar matahari itu berasal. Seperti fatamorgana yang menjadi nyata, aku melihat Embun berdiri disana dengan seragam sekolah yang belum pernah sempat ia pakai. Ia pun berteriak kepadaku “Heii Ikrar!! Kamu sudah besar yaa, kamu juga semakin tampan. Dan lihatlah! Kamu sudah menjadi dokter sekarang! Aku harap kamu menjadi dokter yang baik, menyembuhkan siapa saja tanpa pandang buluh, aku harap kamu bisa menyelamatkan banyak nyawa, terutama orang-orang yang sepertiku, yang bahkan untuk makan sehari saja susah”
Fatamorgana ini terasa begitu nyata, dan perkataan Embun barusan membuatku menangis kembali setelah 17 tahun berlalu.
“Hei Ikrar! Mengapa kamu menangis? Apa karena kamu masih tak bisa mengejarku? Dasar lemah kamu! Hahaha. Hmm, hei Ikrar, aku senang sekali bisa memakai seragam ini. Andai aku bisa memakai setiap hari seperti kamu, pastilah menyenangkan. Hei Ikrar, jawab perkataanku, kenapa kamu diam saja. Ayo kejar aku!” Embun menjulurkan lidahnya keluar, tapi walaupun jauh, aku tau dia juga menangis. Aku berjalan menuju Embun, tetapi fatamorgana tak akan pernah menjadi nyata. Embun hilang ketika kusampai disana. Kulihat, matahari terbenam dengan indah disini, dan langit punbegitu cerah. Perlahan aku mendengar Embun seperti membisikkan sesuatu kepadaku. “Aku bahagia ketika kamu bahagia, terimakasih atas segalanya Ikrar” . Aku tersenyum dan berkata dalam diriku. Bahwa aku, akan selalu berusaha untuk Embun.

Selesai





Source of Pict : Deviantart