Tugas Bahasa Indonesia | Contoh Laporan/Jurnal Perjalanan



Jalur Trem Kota Melbourne
Karya : Sulthan Salsabil Neza

Mataku mulai membuka ketika berusaha untuk mematikan alarm yang bersumber dari sebuah handphone, yang terletak diatas meja yang terbuat dari kayu mahoni. KLIK! Alarm yang berbunyi berisik itu akhirnya berhasil kumatikan. Kemudian aku melihat kearah jendela, kulihat pemandangan kota Melbourne yang sedang dilanda musim gugur dari ketinggian 8 lantai, saking takjubnya karena ini adalah musim gugur perdanaku, tak segan sepertinya wajah ini untuk menempel erat di kaca jendela. Sesuai dengan pesan ayahku sesaat kami baru sampai di Melbourne tadi malam, bahwa ia akan menghadiri pertemuan pagi ini, sehingga terpaksa meninggalkanku sendirian disini, dan jika aku bosan di hotel, aku boleh berjalan-jalan keliling kota dengan syarat jangan sampai karena terlalu bersemangat, arah jalan pulang pun jadi terlupa.
Bosan berlama-lama hanya melihat dari atas, aku langsung melesat ke kamar mandi untuk bersiap-siap sebelum pergi berkeliling di kota yang beru pertama kali aku singgahi ini.
Jam menunjukkan pukul 08.00 PM waktu Australian Eastern Standard Time ketika aku mulai menutup pintu hotel untuk memulai mengelilingi kota Melbourne. Sesaat sesudah aku keluar dari hotel, udara dingin langsung menyambutku, alih-alih sebelumnya di hotel merasa gerah karena pemanas yang suhunya terlalu hangat, kini aku langsung mengenakan jaket bulu berwarna hitam yang sebelumnya sangat jarang kukenakan saat berada di Indonesia. Aku mulai berjalan kembali, dan ketika sampai di Collins Street semerbak aroma kopi mulai menikam indra penciumanku. Kulihat di sepanjang jalan banyak sekali kafe ataupun kedai kopi, dan semuanya sangat ramai akan pengunjung. Menurutku, penduduk disini sepertinya suka sekali akan kopi. Perut yang belum diisi sedari pagi akhirnya membuat kaki melangkah ke sebuah cafe yang bernama Hungry Jack. Bau khas roti yang baru dipanggang dan percakapan dari keramaian yang tak terdengar begitu jelas adalah kesan pertamaku ketika memasuki cafe ini. Kemudian aku duduk di sebuah kursi pada meja bar dan mulai melihat menu yang tertera di dinding cafe sebelum akhirnya seorang pelayan dengan rambut coklat menghampiriku dan berkata.
“Good morning sir, can i take your order?”
Aku pun menjawab dengan bahasa inggrisku yang saat itu tidak terlalu bagus. “Sure, i want a medium vanilla frappucino and two chocholate croissant. Please”
 Pelayan itu mencatat semua pesananku, menyuruhku menunggu sekitar 10 menit dan menawarkan salad gratis yang terdapat pada salad bar yang berada diujung ruangan sebelum akhirnya ia pergi. Kemudian aku mengambil peta kota yang terdapat pada rak koran yang terdapat disebelahku. Aku melihat bahwa kota ini jalan nya sangat mudah sekali untuk dihafal karena kota ini berbentuk blok-blok yang jalan-jalan utamanya terdapat jalur trem yang melingkari kota ini, aku kemudian menarik kesimpulan bahwa jika aku mengikuti jalur trem untuk berjalan-jalan, maka aku tidak akan tersesat karena jalur trem pasti akan kembali ke jalur yang sama. 10 menit tidak terasa tatkala aku merencanakan jalur trem mana yang akan aku tempuh. Pelayan yang tadi datang dengan breakfast yang aku pesan tadi.
Aku menyeruput Frappucino ku ketika mulai melangkah mengikuti jalur trem yang sudah aku putuskan akan kujejaki, yaitu jalur trem Spencer Station-Melbourne Museum. Jalur ini dimulai dari Stasiun Kereta Spencer dan berakhir di Museum Nasional Melbourne, begitupun sebaliknya.
Sepanjang perjalanan, aku melihat bahwa kota ini sangat indah, bangunan-bangunan tertata rapi, kendaraan umum seperti trem dan bus lebih banyak ditemukan ketimbang kendaraan pribadi. Toko-toko ataupun kedai makanan berjejer di sepanjang pusat kota, diatasnya terdapat apartemen dimana sebagian penduduk kota ini tinggal. Sungai nya juga sangat bersih dari polutan ataupun limbah, sangat mengetjukanku ketika mengingat bahwa Melbourne dengan 4,1 Juta penduduknya adalah kota yang besar, yang setidaknya menghasilkan banyak sekali limbah. Kemudian pada jalan-jalan tertentu, terutama jalan yang tidak dilalui trem dan bus, jalur pejalan kaki lebih besar daripada jalan kendaraan, dan lampu merahnya terdapat sebuah tombol yang jika ditekan maka waktu nya akan cepat sehingga pejalan kaki yang terburu-buru bisa mempercepat lampu yang sedang berwarna. Dua hal ini adalah hal yang membuatku benar-benar takjub dengan Kota Melbourne yang ternyata sangat mengutamakan pejalan kaki.
Budaya yang juga sangat terlihat di kota ini adalah masyarakatnya sangat sopan, orang-orang disini ketika melihat turis sepertiku akan langsung mengajak ngobrol dan merekomendasikan tempat-tempat menarik di kota ini. Selain itu, orang-orang disini juga ketika secara tak sengaja menyenggol orang lain akan langsung berkata “Sorry” atau dalam Bahasa Indonesia artinya maaf. Ya, orang-orang disini selalu meminta maaf bahkan akan hal yang sepertinya tak perlu dipermasalahkan sama sekali.
Matahari tepat berdiri diatas kepalaku ketika aku sampai didepan restauran ala Indonesia. Karena ini jam nya makan siang, dan karena penasaran bagaimana masakan Indonesia di luar negeri akhirnya aku memutuskan untuk makan disini, di restaurant yang bernama Nelayan Restaurant Indonesia.
Pelayan nya disini orang Indonesia semua, jadi aku tak perlu menggunakan bahasa inggris untuk berkomunikasi, tetapi yang paling mengejutkan adalah bahwa harga masakan Indonesia sangat mahal dibandingkan masakan barat, bahkan harganya bisa mencapai 5 kali lipat. Ibaratkan nya jika di Indonesia nasi berlauk ayam dan sayur kangkung dan kentang seharga 18 ribu rupiah, maka di Australia dihargai dengan  8 Dolar Australia atau setara dengan 72 ribu rupiah, padahal makan barat sejenis burger disini hanya seharga 1,5 Dolar Australia atau sekitar 12 Ribu Rupiah. Sempat aku bertanya kepada pelayan restauran mengapa harga nasi lebih mahal dari harga daging disini, dan mereka menjawab adalah karena sulitnya mendapatkan beras ketimbang daging di negara ini, sebab disini nasi adalah barang yang diimpor dari negara lain seperti Indonesia, Thailand ataupun Vietnam. Latar belakang hal tersebut adalah kondisi tanah di negara ini sangat sulit untuk menumbuhkan tanaman seperti padi.
Selesai makan, aku kembali melanjutkan perjalanan “Jalur Trem” ku. Kini aku sudah sampai di Exhibition Street. Di ujung jalan besar ini, terdapat sebuah gedung dengan arsitektur klasik abad rennaisance yang dikelilingi taman bernama Royal Exhibition Building . Gedung ini dikenal sebagai tempat pertemuan acara-acara penting yang sudah digunakan sejak zaman kolonial dulu.
Dibelakang gedung tersebut terdapat Melbourne Museum. Bagiku, Melbourne Museum adalah museum terlengkap dan terbagus yang pernah kukunjungi seumur hidup. Museum itu memuat segalanya, dari zaman batu hingga zaman tekhnologi, dari hal kecil hingga hal-hal besar. Yang palik unik adalah adanya hutan hujan tropis mini didalam museum tersebut, lengkap dengan flora-flora yang sangat langka didalamnya. Kemudian ada juga fosil-fosil dinosaurus, bahkan replika Dinosaurus itu ada, yaitu sebuah robot Dinosaurus yang bertingkah layaknya sebuah kenyataan. Masih banyak sekali hal yang terdapat di museum ini. Yang tak dapat kujelaskan satu persatu, yang tak dapat kujelaskan secara ilmiah ataupun yang tak dapat kujabarkan secara rinci.
Selesai berkeliling didalam museum hingga memakan waktu 4 Jam, ternyata matahari sudah terbenam ketika aku keluar dari museum, padahal jam masih menunjukkan akar dari 25. Baru kusadari bahwa memang jika musim gugur matahari lebih cepat terbenam dari biasanya.
Malas berjalan untuk kembali ke hotel, aku memutuskan untuk menaiki Trem. Kubaca petunjuk yang tertera di halte trem di Pertigaan La Trobe-Exhibiton Street. Untuk menaiki sebuah trem ataupun bus di Kota Melbourne ternyata haruslah membeli tiket elektronik nya dulu yang dapat diperoleh di setiap halte. Aku kemudian melihat sebuah vending machine electronic ticket yang berada disebelahku. Kubaca perlahan petunjuknya agar tidak salah, untuk sekali perjalanan dengan trem membutuhkan biaya sebanyak 30 Sen untuk satu jalur lintas, sementara untuk sebuah bus 25 Sen, jika pindah jalur maka perjalanan dihitung 2 kali dan seterusnya. Karena tak ingin bolak-balik membeli tiket, maka aku mengambil paket 10 tiket perjalanan trem dan 5 tiket perjalanan bus yang dihargai seharga 5 Dolar Australia. Aku memasukkan uang 5 Dolar kesebuah lubang tipis bertuliskan diatasnya Insert Money Here. Uang ku yang lenyap memasuki lubang itu secara otomatis mengeluarkan sebuah kartu tiket elektronik di lubang yang berada dibawah, ku ambil kartu itu dan mulai menunggu trem.
Tak lama kemudian, trem datang dan berhenti di halte tempatku berdiri. Aku memasuki trem untuk pertama kalinya, kulihat ada sebuah kotak scanner yang berada di dekat pintu trem yang diketahui berguna untuk memindai kredit perjalanan yang ada di kartu tiket elektronik.  Aku memindai kartuku dan mulai mencari tempat duduk. Keadaan trem sore itu tidak terlalu ramai ataupun terlalu sepi.
Aku melihat kearah pelat besi pembatas kursi yang bergambar jalur-jalur trem Kota Melbourne. Aku melihat masih ada 7 perhentian sebelum kembali ke Collins Street. Kemudian aku melihat kearah jendela, dimana aku masih sangat takjub dengan sistem Planologi kota ini. Di perhentian ke-4, sampailah trem di Flinders Station, stasiun tertua di Melbourne. Berbeda dengan Spencer Station yang melayani kereta antar kota, Flinders Station hanya melayani kereta listrik atau Commuter Line yang berbasis di provinsi Victoria saja. Orang berlalu lalang di stasiun itu, ada yang sepertinya baru pulang dari kantor, yang berkencan dengan pasangannya, yang membawa keluarga ataupun anak-anak sekolah yang sepertinya baru pulang dari Hangout.
Trem mulai bergerak kembali, musik klasik yang dilantunkan pada speaker Trem juga mulai terdengar di telingaku. Udara dingin, percakapan penumpang trem yang tidak terdengar begitu jelas, sorotan lampu-lampu malam yang hilang timbul ataupun bunyi gesekan antara roda besi trem dengan rel adalah hal yang membuat suasana begitu damai saat itu.
Ingin waktu berhenti untuk menikmati suasana damai ini, apa daya ternyata trem telah sampai di tujuan, di Collins Street. Aku turun tepat di halte yang didepan nya terdapat supermarket bernama Cole’s. Kemudian aku mampir untuk membeli soda dan sedikit cemilan untu malam nanti. Hal yang membuatku bingung ketika berbelanja disini adalah tidak adanya kasir. Yang ada hanyalah mesin pembayar, jadi aku hanya harus memindai kode batang dari produk yang kubeli sendiri, memasukkan uang kertas ataupun koin ke sebuah kotak, menunggu mesin itu menghitungnya kemudian mengembalikan sisa uang nya kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti hingga menanyakan caranya dengan pegawai yang ada di bagian informasi. Sungguh canggih supermarket disini sehingga aku bahkan harus memplastikkan barang-barangnya sendiri.
Selesai berbelanja, aku berjalan kembali pulang ke hotel. Kulihat ke langit, bulan sabit ditemani beberapa bintang langit selatang menerangi kota ini. Hari ini rasanya singkat sekali, perjalananku mengikuti jalur trem benar-benar menyenangkan, banyak yang dapat kulihat dan pelajari disini. Sekembalinya di hotel, sambil  menggosok gigi, kulihat sekali lagi pemandangan kota Melbourne yang gemerlap akan cahaya-cahaya lampu berwarna-warni. Tidak sabar untuk menunggu hari selanjutnya, menemukan sesuatu yang baru lagi, dan kali ini aku tidak sendiri, karena besok aku akan ditemani oleh ayahku dan beberapa teman nya. Yah, walaupun omongan orang dewasa terkadang memang membosankan, setidaknya teman-teman ayah pasti tahu akan hal-hal menarik di kota ini, yang belum aku lihat ataupun aku ketahui. Mengingat hal itu, hatiku semakin merasa tak sabar untuk menjumpai matahari terbit kembali di esok hari.

*FIN*

Tugas Bahasa Indonesia | Contoh Puisi [Tema:Perpisahan Kelas XII]

Ratusan Arah
Oleh : Sulthan Salsabil Neza

Tak akan pernah bisa diukur
Jalan setapak yang telah kami lewati
Yang menelurkan bait demi bait memori
Di setiap bekas jejaknya
Tak akan bisa ditarikh berapa lama kami dijalan setapak ini
Tarikh hanyalah sebuah bilangan bertanda memori baru
Memori yang hanya akan terlupa ketika matahari bersinar dimalam hari
Ataupun ketika hujan tak lagi barupa sebuah air
Tatkala akhir perjalanan seperti di pelipis mata
Hanya persimpanganlah yang didapat
Persimpangan yang memiliki ratusan arah
ratusan jalan, ratusan takdir
Sejenak berhenti mengambil nafas
Berpikir, arah mana kah yang akan dipilih?
Sejenak berpikir organ manusia
Mengapa sudah sampai disini? Kami belum siap memilih jalan
Kami masih ingin bersama, tak bisakah kami semua memilih jalan yang sama?
Tak  bisa adalah kata yang sangat menggambarkan pertanyaan seorang manusia
Hati sama punya, jantung sama berdegup
Tetapi pilihan tak akan pernah sama
Satu persatu mulai memilih jalan nya, meninggalkan yang bimbang dibelakang
Tak dapat dipungkiri
Kini semua sudah terpisah ratusan arah
Tak bersama seperti sedia kala
persimpangan ini membuat perjalanan selanjutnya seperti menjadi seorang bujang
Sepi, sendiri sebelum menemukan manusia lainnya
Tetapi, apapun yang terjadi
Mereka tau bahwa kita pernah bersama melewati jalan setapak sebelumnya
Dengan canda tawa yang tak akan pernah lepas dari air mata
Dengan gejolak amarah yang tak akan pernah meninggalkan senyum bahagia
Aku percaya bahwasanya Tuhan maha penyayang
Ia mengumpulkan kita bersama dalam sebuah titik perjalanan kehidupan ini
Agar kebajikan sebuah memori akan selalu lekat dihati kita walau jalan sudah berbeda

Kelak diantara kita akan ada yang bertanya
Bisakah aku kembali? Bisakah aku kembali ke jalan yang tadi hanya untuk bersama mereka walau sebentar saja?
Bagai pungguk merindukan rembulan
Diantara kita hanya bisa maju tanpa mundur selangkah pun seperti pion pada catur
Tetapi masing-masing hati kita tau
Bahwa ikan selalu berada di air, bahwa langit selalu berwarna biru
Seperti memori bersama kalian yang selalu kekal berada di jiwa
Ratusan arah tak akan pernah berarti ketika mengingat sebuah waktu tatkala bersama kalian
Walau tak akan pernah terulang
Syukur adalah ilustrasi ketika pintu-pintu memori kenangan tengah dibuka
Maka berkatalah, sungguh bahagia aku pernah bersama kalian
Jiwa dan raga tak akan pernah bisa melupa

*FIN*



Cerpen - Setitik Embun pada sebuah Ikrar

Oleh : Sulthan Salsabil Neza

Matahari sepertinya mulai ingin menyembunyikan dirinya, langit yang semula berwarna biru cerah pun perlahan mulai berubah menjadi jingga. Aku berdiri di sebuah stasiun kereta api, diterpa oleh angin senja yang bersemilir manja . Sudah sangat lama aku tidak ketempat ini. Walau begitu, tidak banyak yang berubah dari tempat ini. Perlahan satu-persatu ingatanku terungkit kembali, memaksaku untuk kembali pada ruang waktu yang sangat menyedihkan itu. Seketika aku berlari menuju suatu tempat, sebuah tempat dimana titik balik kehidupanku terjadi.
 Aku kemudian sampai disebuah gang yang tidak terlalu besar.  Dimana aroma kue-kue buatan rumahan tercium olehku.  Ternyata tempat ini benar-benar tidak berubah, di kedua sisi  gang masih banyak orang-orang yang berjualan makanan  ataupun kerajinan khas daerah ini. Aku terus menyusuri gang  ini, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku, sementara  perasaanku terus bergejolak. Tak lama kemudian, aku melihat  sebuah pagar kayu berwarna coklat yang di permukaan nya  terdapat banyak sekali coretan, salah satu dari coretan tersebut  bergambarkan anak perempuan yang sedang memakai seragam  sekolah, dibawah nya bertuliskan sebuah tulisan, “Embun ingin  sekolah” .
 Aku tercekat, lidahku kelu, hatiku perih. Aku pun terdiam  sejenak, dan kemudian mengizinkan ingatanku mengingat  kembali akan hari-hari itu.
Tatkala itu, sambil menahan rasa lapar yang terus menyerang dan dingin yang membuatku mengerang, aku duduk bersandar di sebuah pagar kayu. Saat itu aku berumur 7 tahun, dan mengapa aku terduduk kelaparan disana adalah tak lain tak bukan karena aku yang kabur dari rumah setelah dimarahi oleh orangtua ku, yang disebabkan karena aku selalu berkelahi di sekolah tanpa pernah mau belajar.
Saat itu, aku melihat seorang wanita menjatuhkan dompetnya tepat didepan mataku, tanpa pikir panjang aku langsung membuka dompet itu, aku pun melihat banyak sekali uang berwarna merah dan biru. Bahagia adalah satu-satunya kata yang tepat pada saat itu, karena dengan uang-uang tersebut aku akhirnya bisa membeli makanan.
Tetapi, saat aku membalikkan badan dan hendak berlari, seorang anak perempuan mengambil dompet tersebut dari genggaman ku. Kemudian ia berlari menyusul wanita yang menjatuhkannya. Aku pun mencoba mengejar anak perempuan tersebut, tetapi untuk ukuran anak perempuan, larinya cukup cepat sehingga tidak terkejar olehku. Kemudian aku melihat dia mengembalikan dompet itu tanpa diberi imbalan sedikitpun, dia pun berjalan kearahku sambil tersenyum. Aku pun marah kepadanya saat itu.
“Hei! Kenapa kamu tersenyum? Kamu baru saja kehilangan uang yang sangat banyak, uang itu bisa membeli sosis, permen, coklat dan sebagainya, kamu benar-benar bodoh” Aku benar-benar marah saat itu. Tetapi, raut wajahnya tak berubah sedikitpun, dan sambil tersenyum dia membalas amarahku.
“Mencuri itu tidak boleh, itu tidak baik” ia pun berlari kembali meninggalkan aku yang masih tak mengerti ucapan nya. Berlari dan terus berlari, akhirnya aku sampai dirumah anak perempuan itu.
Ternyata dia tinggal di sebuah gubuk berdinding kayu yang lebih mirip garasi bagiku. Dari kejauhan aku melihat ia sedang memapah seorang nenek yang kaki sebelah kirinya diamputasi, tiba-tiba perasaanku merasa sangat bersalah saat itu. Anak perempuan itu, kalau dia ingin, dia bisa saja mengambil semua uang yang ada didompet tadi. Tapi dia tak melakukan nya, padahal apa yang kulihat barusan, ia tampak sangat miskin. Aku benar-benar merasa terpukul saat itu, mengapa aku yang masih memiliki orang tua dan dari keluarga yang berkecukupan mau mencuri uang milik orang lain.
 Anak perempuan itu tampak kesulitan memapah nenek  tersebut. Aku pun berlari kearah  mereka dan membantu  memapah nenek itu. Anak perempuan itu tersenyum padaku.  Saat itu ketika melihat senyumnya, entah mengapa aku begitu  merasa tenang.
 Setelah lelah memapah nenek tersebut, akhirnya kami sampai  disebuah kios. Ternyata nenek itu bekerja sebagai penjual  buah-buahan. Dari penglihatanku saat itu, tak banyak  keuntungan yang didapat oleh nenek itu, karena ia hanya  menjual kembali buah-buahan yang dibelinya dari orang lain.
 Saat itu, sepertinya nenek itu tau bahwa aku sedang kelaparan,  ia pun memberiku sebuah apel.
 “Ini untukmu anak tampan, terimakasih ya sudah membantu  kami” Ucap nenek itu. Aku pun tersenyum gembira sembari  langsung menggigit buah apel itu.
Kemudian aku melihat anak perempuan tadi sedang menulis. Aku pun menghampirinya dan ternyata ia sedang belajar berhitung. Melihat aku yang memperhatikannya terus menerus ia pun mengajakku untuk belajar bersama. Aku pun yang saat itu begitu malas belajar, entah mengapa begitu semangat ketika anak itu menanyaiku terus menerus tentang hitung-hitungan.
“Kenalin ya, namaku embun” anak perempuan itu mengenalkan dirinya setelah dari tadi hanya melemparkan pertanyaan secara terus menerus. Aku pun mengenalkan diriku juga kepadanya.
“Aku Ikrar. Salam kenal ya. Namamu bagus, Embun” Untuk pertama kalinya aku memuji orang lain saat itu.
Embun ternyata tidak bersekolah, ia tidak mempunyai biaya untuk itu. Padahal ia sangat ingin sekali bersekolah. Ia bercerita, bahwa ia ingin sekali menjadi orang yang pintar, kemudian ia mengajar anak-anak yang tak mempunyai biaya seperti dirinya. Aku pun merasa malu saat itu, aku mempunyai kesempatan bersekolah tanpa hambatan apapun, tetapi aku menyia-nyiakannya.
Sejak itu aku sangat dekat dengan Embun, Sejak itu pula aku sangat rajin bersekolah. Hampir setiap hari setelah pulang dari sekolah, aku pergi ke tempat Embun. Aku mengajarkan hal-hal yang diajarkan padaku disekolah kepadanya. Terkadang kami main bersama, Mengambil buah-buahan untuk dijual  ataupun berlari-lari di gang-gang sempit itu dengan bahagia.
Hingga suatu hari aku dan Embun duduk bersama bersandar di pinggir sebuah pagar kayu. Disebelah kami, ada kaleng cat bekas yang sepertinya masih bisa digunakan. Embun yang melihat itu pun langsung mengambil kaleng cat itu, mencelupkan kuasnya dan mulai mencorat-coret pagar tadi. Sambil mencoret, ia pun berbicara padaku dengan suara yang begitu pelan, yang membuatku benar-benar pilu saat itu.
“Hei Ikrar. Aku ingin sekali bersekolah. Aku ingin sekali belajar hal-hal baru. Aku ingin sekali mempunyai banyak teman. Aku ingin sekali berguna bagi orang banyak. Aku ingin sekali memakai seragam sekolah. Aku... Aku... ingin sekali menjadi seperti dirimu” Embun mulai menitikkan air matanya.
Aku pun begitu sedih saat itu. Akhirnya aku mempunyai ide yang membuat Embun menangis bahagia saat itu.
“Embun. Aku mungkin tak bisa apa-apa, tapi aku akan coba mengabulkan keinginanmu. Aku akan coba meminta orangtuaku untuk menyekolahkanmu juga”
“Benarkah? Tidakkah aku hanya akan merepotkan orangtua mu Ikrar? Aku merasa tak pantas, aku hanyalah seorang anak miskin yang tak mempunyai apa-apa”
“Tidak Embun, kamu pantas. Kamu adalah orang yang hebat, kamu memiliki cita-cita mulia. Kamu baik pada semua orang. Dan kamu benar, kamu selalu benar akan kata-kata yang selalu kamu ucapkan padaku. Semua anak berhak sekolah, dan bagiku itu termasuk kamu Embun”
Embun tak dapat menahan tangisnya saat itu, ia langsung memelukku. Aku pun merasakan sebuah kehangatan di tengah cuaca mendung, yang menghembuskan angin-angin yang dingin nya menusuk kulit. “Tak ada kata lagi yang bisa ku ungkap, terima kasih Ikrar, terima kasih”
“Tidak apa Embun, aku lah yang seharusnya berterimakasih kepadamu. Kamu membuatku mempunyai semangat untuk bersekolah. Mempunyai semangat untuk masa depan, mempunya semangat untuk semuanya”.
 Malamnya, ketika pulang kerumah, aku langsung  membicarakan hal itu kepada orangtuaku. Mereka pun setuju  untuk menyekolahkan Embun setelah mendengar ceritaku.  Keesokan nya sebelum pergi kesekolah, aku dan ayahku  mampir kerumah Embun. Setelah turun dari mobil, aku  langsung berlari kerumahnya dan memanggil namanya.  Embun pun membuka pintu dan begitu terkejut melihatku.
 “Ikrar. Mengapa kamu disini sepagi ini?”
 “Tak perlu dipikirkan Embun. Cucilah mukamu, dan ikutah  denganku. Ayahku akan mendaftarkanmu kesekolah dan  membelikan seragam sekolah untukmu!”
 “Benarkah itu Ikrar?” Embun begitu bahagia. Kembali  perasaan hangat menerpa diriku ketika senyum mulai  tersungging kembali di bibirnya yang merah.
“Iya, tentu saja. Cepat ganti pakaianmu! Karena jika tidak, kita akan segera terlambat!”
“Baiklah, tunggu sebentar ya” Embun berlari masuk kedalam rumahnya dan setelah beberapa menit datang kembali.
“Baiklah, Ikrar. Ayo kita pergi!” Embun pun menarik tanganku dan kemudian berlari.
Seminggu kemudian, seragam sekolah Embun selesai. Sore itu, aku pun langsung menuju rumah Embun untuk mengantar seragam itu. Tapi apa yang kulihat saat sampai disana, benar-benar membuatku sedih. Platik baju embun pun langsung jatuh dari tanganku. Aku melihat Embun sedang terbaring lemah di sebuah kasur yang sudah begitu lapuk.
“Embun, kamu kenapa? Astaga, badanmu panas sekali. Aku harus membawamu kedokter!” Aku pun langsung menggendongnya.
“Tidak usah Ikrar. Aku baik-baik saja kok, aku hanya demam sedikit. Kata nenek kalau minum obat juga akan sembuh”
“Tidak Embun! Kamu harus segera ke dokter! Nenek, biarkan aku membawa nya! ” Tanpa basa-basi aku langsung menggendong nya. Ternyata diluar hujan deras beserta petir sedang terjadi. Setelah berjalan lama, aku menemukan sebuah klinik, aku memohon agar mereka mau mengobati Embun. Tetapi mereka tak mau, mereka bilang, harus punya uang jika ingin berobat disini. Aku memohon-mohon kepada petugas itu, berkata bahwa tenang saja, orangtuaku akan membayar semuanya. Tetapi ia tidak percaya, dan malah mengusir kami. Aku pun berlari kembali, dan menemukan klinik lain nya, tetapi hal yang sama terjadi kembali. Mereka tak mau menerima kami.
Aku pun memutuskan untuk membawa Embun kerumahku dulu, dan menyuruh orangtuaku untuk membawa Embun. Ditengah perjalanan, Embun batuk terus menerus, batuknya mengeluarkan darah. Nafas nya semakin lama semakin cepat. Aku yang begitu khawatir mencoba mempercepat lariku. Tapi ternyata, hujan yang begitu deras sedari tadi membuatku tergelincir karena jalanan yang begitu licin. Aku dan Embun terjatuh, kami tergelatak di jalan sambil disirami air hujan yang begitu deras. Aku melihat Embun mengeluarkan sebatang pensil dari kantungnya, dan kemudian dia berteriak hingga batuk darahnya menjadi semakin parah. Ia menangis, ia begitu menangis saat itu.
“Aku ingin sekali bersekolah. Dan besok adalah hari pertamaku bersekolah. Tapi, sepertinya aku tak bisa menghadiri hari pertama sekolahku, bukan hanya pertama bahkan mungkin untuk seterusnya”
Aku pun langsung tercekat ketika Embun berkata seperti itu. Hatiku sakit, perasaanku pilu. Dan akhirnya aku pun juga menangis, dan berusaha menenangkan Embun.
“Tidak Embun! Kamu harus hadir, ayo kita kerumahku, orangtuaku akan membawamu kerumah sakit, ayo Embun, aku akan menggendongmu lagi! Kamu harus meraih cita-citamu, kamu harus bisa, ayo Embun semangat!” Aku pun berusaha meraih tangan nya. Embun hanya tersenyum simpul, ia menolak raihan tanganku.
“Terimakasih Ikrar. Terimakasih atas segalanya, terimakasih sudah menjadi temanku. Aku benar-benar tidak tau harus membalasmu dengan apa. Tapi ketahuilah Ikrar, aku bahagia bisa menjadi temanmu, aku bahagia ketika kamu mengajarkanku hal-hal baru, aku bahagia bisa bermain bersamamu dan aku sangat bahagia bahwa kamu bahkan ingin menyekolahkanku. Tapi, sepertinya hanya sampai disini. Sebelum aku pergi ketempat yang lebih baik, berikrarlah kepadaku sesuai dengan namamu Ikrar”
 Aku yang tau sepertinya Embun tak akan lama lagi, benar-  benar menangis sejadi-jadinya. Embun melanjutkan  ucapannya.
 “Kamu haru berikrar, bahwa kamu akan rajin belajar, rajin  kesekolah. Kamu harus bercita-cita tinggi, jadilah orang yang  berguna bagi kedua orangtuamu, bagi orang banyak dan bagi  orang-orang sepertiku. Percayalah, setiap langkah yang kamu  pilih, maka itu adalah langkahku juga, dan setiap jalan yang  kamu pilih, maka aku akan selalu ada bersamamu”
 “Ba...baiklah Embun, aku akan berikrar sesuai dengan  keinginanmu. Embun, terimakasih atas segalnya Embun,  terimakasih” Aku menangis sejadi-jadinya ketika Embun  tersenyum bahagia seperti biasa sampai tatkala nafasnya mulai  terhenti. Hujan semakin deras, begitu pula airmataku, aku pun  berteriak keras di tengah gemuruh yang datang silih berganti. Aku mengendong Embun dengan pelan, kulihat wajahnya terakhir kali dengan hati yang sakit. Kulit dan bibirnya begitu pucat, sekitaran mulutnya terdapat banyak bercak darah, matanya sembab dan sepanjang pipinya penuh dengan  bekas air mata.
Aku membawanya kerumahku, orangtua ku begitu terkejut melihatnya. Mereka pun membawa Embun ke neneknya. Sementara aku mengurung diri di kamar dan menangis sepanjang malam.
Kembali ke masa sekarang, aku sedang berdiri melihat coretan Embun di pagar sembari menitikkan air mata karena mengingat kenangan itu. Sejak hari itu hingga kini, aku tak akan pernah melupakan Embun. Embun selalu menjadi motivasi diriku.
Tiba-tiba, sinar matahari senja menyilaukan mataku. Aku pun melihat keujung gang dimana sinar matahari itu berasal. Seperti fatamorgana yang menjadi nyata, aku melihat Embun berdiri disana dengan seragam sekolah yang belum pernah sempat ia pakai. Ia pun berteriak kepadaku “Heii Ikrar!! Kamu sudah besar yaa, kamu juga semakin tampan. Dan lihatlah! Kamu sudah menjadi dokter sekarang! Aku harap kamu menjadi dokter yang baik, menyembuhkan siapa saja tanpa pandang buluh, aku harap kamu bisa menyelamatkan banyak nyawa, terutama orang-orang yang sepertiku, yang bahkan untuk makan sehari saja susah”
Fatamorgana ini terasa begitu nyata, dan perkataan Embun barusan membuatku menangis kembali setelah 17 tahun berlalu.
“Hei Ikrar! Mengapa kamu menangis? Apa karena kamu masih tak bisa mengejarku? Dasar lemah kamu! Hahaha. Hmm, hei Ikrar, aku senang sekali bisa memakai seragam ini. Andai aku bisa memakai setiap hari seperti kamu, pastilah menyenangkan. Hei Ikrar, jawab perkataanku, kenapa kamu diam saja. Ayo kejar aku!” Embun menjulurkan lidahnya keluar, tapi walaupun jauh, aku tau dia juga menangis. Aku berjalan menuju Embun, tetapi fatamorgana tak akan pernah menjadi nyata. Embun hilang ketika kusampai disana. Kulihat, matahari terbenam dengan indah disini, dan langit punbegitu cerah. Perlahan aku mendengar Embun seperti membisikkan sesuatu kepadaku. “Aku bahagia ketika kamu bahagia, terimakasih atas segalanya Ikrar” . Aku tersenyum dan berkata dalam diriku. Bahwa aku, akan selalu berusaha untuk Embun.

Selesai





Source of Pict : Deviantart


3 tahun untuk selamanya [Part 10]

Kartika Diculik

Seperti biasa pada jam istirahat, Kartika dan teman-temannya bergegas menuju kantin. Kali ini mereka tidak bersama Hima, karna Hima sudah lebih dulu berada di kantin.
Sampai di kantin, ia sangat terkejut karena ia melihat ada Dirga yang duduk di samping Hima. Ia ingin pergi dari kantin. Namun kedua temannya menahannya.
“Lo mau kemana, Ka?” tanya Winda.
“Gue enggak jadi makan.”
“Kenapa? Bukannya lo belum sarapan.”
“Atau lo cemburu liat Kak Dirga sama Hima?” pancing Milly.
“Cemburu? Gue enggak cemburu, kok.” Kenapa ia harus sedih melihat Dirga dan Hima bersama? Harusnya ia senang karena Dirga mau membuka hatinya untuk Hima. Ia tak boleh seperti ini.
“Ya udah. Ayo kita gabung sama Hima!” Kartika hanya mengangguk. Mereka pun segera menghampiri Dirga dan Hima.
“Eh, ada Kak Dirga juga.” ucap Milly.
“Iya, nih. Gue lagi ada urusan sama Hima.”
“Oh,” lanjut Milly. “Boleh kita gabung?”
“Boleh, kok.”
Mereka berlima pun memanggil pelayan kantin dan memesan makanan. Setelah makanan yang mereka pesan sudah tersedia mereka pun melanjutkan perbincangan.
“Kakak memang ada urusan apa sama Hima?” tanya Winda.
“Gue lagi ada tugas jurnal untuk wawancara seputar ekskul basket. Maka dari itu gue tanya-tanya aja sama Kak Dirga.”
“Oh. Sejak kapan lo mulainya?” tanya Milly. “Kok gue baru tahu.”
“Belum lama, kok.”
“Oh, jadi untuk beberapa hari ke depan kalian akan deket, dong?” ucap Winda, kemudian ia memandang ke arah Kartika. Nampak raut sedih di wajah Kartika.
“Ka, kok lo diem aja, sih? lo sakit?”
“Enggak. Gue baik-baik aja, kok.”
“Ngobrol, dong!”
“Gue ke kamar mandi sebentar, ya!” ucap Dirga.
“Oh, iya.”
“Lo suka sama Kak Dirga?” tanya Hima setelah beberapa meter Dirga pergi.
“Ngaco aja lo, Ma. Gue enggak punya perasaan apa-apa sama Dirga.”
“Terus kenapa lo dari tadi diem aja?”
“Gue enggak apa-apa, kok.”
“Jujur aja, Ka! Lo enggak perlu bohong lagi. Gue enggak akan marah mau suka sama Kak Dirga. Lo keliatan sedih dengar gue deket sama Kak Dirga.”
“Gue enggak sedih lo deket sama Dirga. Justru gue seneng lo biasa deket sama Dirga. Mudah-mudahan hubungan kalian bisa berlanjut.” lanjut Kartika. “Gue udah kenyang. Gue ke kelas duluan, ya!” Kartika pun pergi.
Setelah Kartika pergi, Hima nampak lemas. Dan menundukkan kepalanya. Ia pun mulai meneteskan air mata. “Ini semua salah gue”
“Ini enggak sepenuhnya salah lo, kok.” Winda mencoba meghibur sahabatnya. “Jatuh cinta itu enggak pernah salah.”
“Lagipula lo kan lagi berusaha untuk mendekatkan mereka lagi.”
“Kalo kamu enggak sanggup, lo enggak usah lanjutin.”
“Kartika aja bisa menahan perasaanya demi gue, kenapa gue enggak bisa?”
“Tapi lo masih sayang kan sama Kak Dirga?”
“Itu semua udah enggak penting,”

***

Siang itu seperti biasa, Kartika menunggu metromini yang akan mengangkutnya pulang ke rumah di halte depan sekolah. Tiba-tiba ada sebuah mobil jeep hitam besar parkir di hadapannya. Dua orang berpakaian serba hitam turun dari mobil tersebut. Salah satu dari mereka mendekap mulut Kartika. Kartika ingin sekali berteriak, namun saputangan yang telah diberi obat bius itu membuat Kartika tak sadarkan diri dalam hitungan detik. Dan kedua orang misterius itupun dapat dengan leluasa memboyong Kartika masuk ke dalam mobil jeep tersebut. Dan tanpa diketahui orang, Kartika berhasil mereka culik.
Saat Kartika sadarkan diri, tangan dan kakinya sudah dalam keadaan terikat. Ia sendiri tak mengenal tempatnya berada sekarang. Tempatnya berpijak sekarang sangat gelap dan tak ada penerang apapun. Di sekelilingnya banyak barang-barang bekas yang tak ditata rapi. Juga atapnya penuh dengan sarang laba-laba. Tempat ini sangat menakutkan. Dan nampaknya tempat ini jauh dari peradaban.
“Tolong…” teriak Kartika sekuat tenaga.
Teriakan Kartika membuat kedua orang misterius itu kembali menghampirinya dan menyalakan lampu.
“Siapa kalian?” tanya Kartika dengan penuh ketakutan.
Jawaban atas pertanyaan Kartika, mereka tuangkan dalam tawa yang memekakan telinga.
“Mau apa kalian? Apa salah gue sama kalian? Lepasin gue!”
“Kita enggak mau ngapa-ngapain kamu kok, cantik. Kita cuma butuh kamu sebaga umpan.”
“Apa maksud kalian?”
“Lo tentu kenal dengan orang yang namanya Dirga.  Gue kasih tahu sama lo ya, kita berdua punya dendam sama cowok culas yang namanya Dirga. Dia udah merebut cewek-cewek kita. Kita akan balas dengan yang lebih sakit dari yang kita rasakan.”
“Apa yang akan kalian lakukan pada Dirga?”
“Kita cuma mau sedikit bermain-main aja sama Dirga.”
“Jangan pernah sentuh Dirga!”
“Oh… ceweknya ngambek, coy!”
“Awas aja kalo sampe kalian buat Dirga kenapa-napa.”
“Kita tunggu aja apa yang akan terjadi. Mungkin sebentar lagi Dirga datang.”
Sesuai perkiraan orang misterius tersebut, Dirga pun datang. Dirga datang dengan wajah bersumbat amarah. Semua barang yang ia lewati, ia tendang sesukanya.
“Mau apa kalian?” teriak Dirga. “Lepasin Kartika! Dia enggak ada hubungannya sama masalah ini. Kalo kalian punya masalah sama gue. Kita selesaikan sekarang juga.”
“Santai, Brother!” ucap salah satu dari mereka. “Kita juga enggak akan ngapa-ngapain cewek polos kayak dia.”
“Oh, iya!” tambah yang satunya lagi. “Kalo lo ada pesan-pesan terakhir, gue kasih kesempatan buat kalian lima menit. Mulai dari sekarang!”
Dirga menghampiri Kartika dengan tergesa-gesa. “Lo enggak apa-apa, kan?”
“Gue enggak apa-apa.” Mata Kartika berkaca-kaca. “Ngapain lo harus kesini? Mereka cuma mau jebak lo”
“Soalnya mereka nyulik lo. Mereka akan ngapa-ngapain lo kalo gue enggak dateng.”
“Kenapa lo harus pikirin gue?” Kartika mulai menangis.
Dirga menghapus air mata Kartika. “Karna gue enggak mau lo kenapa-napa.”
“Tanpa lo kesini juga, gue akan berusaha kabur.”
“Lo tenang aja. Gue janji akan bawa lo keluar dari tempat ini.”
“Dirga lo mau ngapain?”
“Waktu habis!” ucap salah satu orang tak berperikemanusiaan itu. Dan kemudian ia pun menendang punggung Dirga sampai Dirga terpental jauh.
“Dirga…” teriak Kartika.
Perkelahian pun dimulai. Sesekali Dirga tersungkur mencium bumi. Namun ia belum menyerah, ia terus berusaha melawan dua orang yang telah menculik Kartika.
Kartika tak kuasa melihat Dirga dipukuli sampai babak belur seperti itu. Ia berteriak dan menagis sejadi-jadinya. Tapi air matanya tak akan membantu Dirga. Ia pun berusaha melepaskan tali yang membelenggunya sejak tadi.
Dua lawan satu. Tentu saja yang menjadi pemenangnya adalah kubu yang memiliki kekuatan dua kali lipat. Untuk kesekian kalinya, Dirga kembali tersungkur jatuh. Dan sekarang dirinya sudah tak kuasa lagi menopang berat tubuhnya. Ia tak bisa bangun lagi untuk melawan dua orang yang tak beridentitas itu.


“Dirga…” teriak Kartika memekakan telinga. Dan sekarang tali yang mengekang gerak tubuhnya sudah dapat terlepas dari tangan dan kakinya. Dan ia pun segera menghampiri Dirga. Sebelum itu, Kartika menyempatkan diri untuk memukul kedua penjahat itu dengan sebilah kayu usang yang tergeletak di sudut ruangan.
“Dirga,” rintih Kartika. “Lo kenapa harus ngelakuin ini semua? Gue enggak mau liat lo kayak gini. Lebih baik gue yang babak belur daripada harus liat lo terluka.”
“Karna gue sayang sama kamu,”
Dan untuk babak terakhir dari drama ini, Si Penculik mengeluarkan sebilah pisau. Dirga melihat gerak-gerik Penculik tersebut. Dan ia segera memeluk erat Kartika. Sebilah pisau pun menancap pada punggung Dirga. Dan Penculik itu pun segera meninggalkan Kartika dan Dirga yang mulai bersimbah darah.
“Aaaa…” teriak Kartika memecah keheningan malam.
Pelukannya pada Kartika mulai melonggar. Dan dalam hitungan detik Dirga sudah tak sadarkan diri. Matanya tertutup dan tangannya dibiarkan tergeletak lemas di atas lantai.
“Dirga bangun!” Kartika mulai menangis.
“Kenapa lo lakuin ini? Kenapa lo enggak biarin gue yang mati. Gue enggak minta lo lakuin hal bodoh ini. Dirga bangun! Lo jangan tinggalin gue. Gue enggak mau kehilangan lo. Gue sayang sama lo. Kemaren gue bohong. Gue bohong gue enggak cinta sama lo. Gue nyesel udah lakuin itu sama lo. Gue mohon buka mata lo! Bangun dan dengerin gue bilang cinta sama lo.”
Dan tiba-tiba mata Dirga kembali terbuka. “Serius lo?”
Sontak Kartika terkejut karna Dirga bisa bangun dan berucap kembali.
“Cut! Cut!” ucap seseorang yang tengah memegang sebuah handy cam.
“Drama yang sungguh menarik.” tambah seseorang lagi sambil bertepuk tangan yang diiringi dengah tawa ringan.
“Ini ada apa, sih?” tanya Kartika heran sambil menghapus air matanya
“Acting kamu bagus loh, Ka” ucap Milly yang memegang handy cam.
“Sungguh drama yang bagus. Gue sampe nangis liatnya.” tambah Winda yang berada di sebelah Milly.
“Kalian sekongkol untuk bohongin gue?” ujar Kartika geram.
“Kalo barusan itu kisah nyata, so sweet banget tahu enggak.” tambah Evan. “Tapi sumpah! Sakit banget pas lo pukul tadi.”
“Siapa suruh ngerjain gue?"
“Kartika. Kalo kita enggak lakuin ini semua, kita enggak akan pernah buat lo bilang cinta sama Dirga.” ujar Fathan sembari melepas topeng yang menghalangi ketampanan wajahnya.
“Kapan gue bilang cinta sama Dirga?” ucap Kartika dengan tampang yang tidak terjadi apa-apa.
“Lo mau liat rekaman videonya?”
“Direkam juga? Kalian dibayar berapa sih sama Dirga? Kalian jahat banget sama gue.”
Semua hanya tertawa. Di tempat itu juga terdapat Hima yang sedari tadi sama sekali belum mengeluarkan suaranya.
“Lo juga jahat sama gue.” ucap Kartika seraya memukul-mukul Dirga.
“Aw… Ampun! Ampun!” rintih Dirga.
“Lagilagi gue dikerjain. Gue enggak suka lo lakuin itu lagi. Gue udah khawatir berat. Tapi ternyata ini cuma rekayasa. Percuma gue khawatirin lo.”
“Jadi kalo semua ini beneran, lo khawatir sama gue?”
“Enggak juga, sih! Siapapun orangnya kalo dia dipukulin di hadapan gue, pasti gue khawatir, lah.” ucap Kartika dengan wajah memerah.
“Lo juga akan bilang cinta sama orang itu?”
“Maksud lo apa, sih?” Kartika pun kembali memukul-mukul Dirga.
“Sakit. Ampun! Ampun!”
Semua yang berada di ruangan itu hanya tertawa melihat kepolosan Kartika. Hima hanya tersenyum. Sekarang ia sudah memenuhi janjinya. Janjinya yang akan mengembalikan tawa Kartika. Dan ia pun pergi dari ruangan tersebut tanpa pamit.
“Hima tunggu!” seru Kartika. Ia pun segera menghampiri Hima. Diikuti Dirga di belakangnya.
“Ada apa, Ka?”
“Ka. Gue minta maaf. Gue udah berusaha untuk tidak terus dihantui bayang-bayang Dirga. Tapi semakin keras gue berusaha, justru malah semakin gue sayang sama Dirga. Kalo lo mau marah, mau tampar gue. Gue terima, kok!” Kartika menyodorkan pipinya.
“Kenapa gue harus marah? Kenapa juga lo merasa bersalah jatuh cinta sama Kak Dirga. Gue memang suka sama Kak Dirga. Tapi suka itu hanya sebatas seorang penggemar terhadap idolanya. Gue malah seneng karna idola gue dapetin cewek sebaik lo”
“Hima…”
Hima meraih tangan Kartika dan Dirga dan menyatukan keduanya. “Jagain Kartika, ya! Kalo kamu sampe macem-macem, aku sendiri yang akan langsung turun tangan.”
Dirga hanya tersenyum.
Hima pun pergi. Mata Kartika dan Dirga bertemu dan mereka pun berpelukan.
Dirga mengajak Kartika ke sebuah tempat yang sudah ia dekorasi dengan berbagai pernak-pernik yang mengambarkan suasana romantis. Takjub Kartika melihat sekelilingnya. Penuh dengan lampu yang berkelap-kelip. Cahaya bintang pun kalah dengan cahaya lampu yang didekorasi Dirga. Dan ratusan lilin yang menyala-nyala di sekitarnya. Dirga mempersilahkannya duduk di bangku panjang.
“Biasa aja kali terkesimanya.”
“Ini semua lo yang bikin?”
“Emang menurut lo siapa?”
“Baru kali ini gue diajak cowok ke tempat kayak gini. Kak Adnan aja enggak pernah kasih kejutan sama gue sampe segininya.”
“Lo suka?”
“Suka banget. Lo buat ini khusus untuk gue?”
“Ya, iyalah. Siapa lagi?”
“Makasih, ya!” Kartika masih melihat sekelilingnya. Sungguh tempat yang sangat indah. Mungkin baginya ini adalah surga dunia. “Gue boleh tanya sesuatu?”
“Tanya aja.”
“Gue heran sama lo, kenapa lo bisa jatuh cinta sama gue? Padahal puluhan cewek yang suka sama lo jauh lebih cantik dari gue.”
“Karna lo satu-satunya cewek yang paling beda dari puluhan cewek yang naksir sama gue. Lo yang paling enggak cantik dan enggak pinter.”
“Bener ya, gue enggak pernah ada bagus-bagusnya di mata lo.”
“Tapi lo suka kan sama gue?”
“Siapa bilang gue suka sama lo?”
“Enggak usah bohong lagi deh, Ka. Mau lo berusaha sekeras apapun untuk berbohong, tapi mata lo akan menyebutkan yang sebaliknya.”
Kartika pun menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.
“Ka…”
“Apa?”
“Gue mau minta sesuatu dari lo.”
“Lo mau apa?” Kartika mendekap dadanya dan memandang curiga pada Dirga.
“Lo pikir gue cowok apaan?”
“Terus kamu minta apa dari gue?”
“Gue mau lo bilang ‘Kak Dirga, aku cinta sama kamu’.”
“Kenapa harus?”
“Karna gue mau.”
“Kak Dirga…” ucap Kartika tergagap. “Aku… aku… cinta sama kamu.”
Dirga pun hanya tersenyum. Ia senang mendengar apa yang baru saja terucap dari mulut Kartika. “Ka…”
“Apa lagi?”
“Aku sayang sama kamu. Kamu mau jadi pacar aku?”
Wajah Kartika memerah seketika, ia jadi salting, tapi akhirnya ia mengangguk sambil berkata, “Ya. Aku mau.”
“Mau apa?”
“Aku mau jadi pacar kamu.”
Setelah mendengar jawaban Kartika, Dirga mulai mendekatkan tubuhnya pada Kartika. Dan sebuah kecupan manis membekas pada pipi Kartika. Membuat pipi Kartika semakin memerah. Ia pun kemudian memeluk Kartika.
“Oh, iya. Aku punya sesuatu buat kamu.” Dirga mengeluarkan sesuatu dari jaketnya. Benda itu masih ada dalam genggamannya. Dirga pun menyuruh Kartika menutup mata. Tanpa berkomentar, Kartika mengikuti mau Dirga.
Genggamannya ia buka, dan sebuah kalung indah berliontinkan bintang pun tergantung pada salah satu jemarinya. “Buka mata kamu!”
Kartika tak sanggup berkata-kata lagi. Keromantisan Dirga membuatnya diam seribu bahasa. Ia mengambil kalung tersebut, dan diamatinya dengan seksama.
“Kamu suka?”
Kartika hanya mengangguk. “Kenapa harus bintang?”
“Karena kamu adalah penerang dalam hidup aku yang semula gelap tanpa bulan. Kamu adalah bintang terindah dan yang paling terang yang memberi cahaya dalam hidup aku.” Kartika hanya tersenyum pada Dirga.
“Sini aku pakein!” Kartika mengangkat rambutnya. Dan kalung indah itupun menggatung indah pada leher Kartika. “Kamu cantik.”

***

Pada jam istirahat, pandangan Donny tak bisa lepas dari Hima. Dan diam-diam Kartika, Milly, dan juga Winda memperhatikan gerak-gerik Donny.
Ketika Hima pergi mengambil makanan yang dipesan olehnya dan ketiga temannya, Kartika, Milly, dan Winda pun segera menghampiri Donny dan mengagetkannya.
“Aduh, yang lagi perhatiin Hima, asyik banget, nih!” ucap Kartika.
“Kalian ngagetin gue aja.”
“Lo suka sama Hima?” tanya Milly kemudian.
Donny hanya terdiam.
“Ngaku aja lagi. Tatapan lo itu enggak bisa bohong.” tambah Winda.
“Kalo lo mau lebih deket sama Hima, nanti sore kita tunggu di café Miracle.”
“Kalian serius?”
“Temui kita jam 16:00.”
Kartika, Milly dan Winda kembali ke tempatnya semula.
“Kalian darimana aja, sih?” tanya Hima. “Pergi enggak bilang-bilang.”
“Kita cuma abis dari kamar mandi.” jawab Kartika.
Esok paginya, Donny datang ke sekolah dengan gaya penampilannya yang berubah 180  dari sebelumnya. Penampilannya jauh dari Donny yang dulu. Sekarang ia sudah seperti siswa-siswa lain yang berpenampilan keren. Gaya berjalannya pun sekarang sudah berubah. Semua mata tertuju padanya karna perubahannya itu. Ia pun segera menghampiri Hima yang tengah duduk sendiri di bangku taman sekolah.
“Pagi, Hima!” sapanya.
“Lo Donny?”
“Ya, gue Donny. Boleh gue duduk?”
“Oh, boleh.”
“Ma, boleh kan gue jadi temen lo?”
“Bukannya kita memang udah temenan. Semua yang ada di sekolah ini adalah temen gue.”
“Ya, gue hanya ingin lebih deket sama lo.”
“Kalo mau lebih deket sama gue, tetaplah jadi diri lo yang apa adanya. Enggak usah berubah kayak gini buat deket sama gue. Gue lebih suka lo yang dulu.” Hima pun pergi.
Donny menjadi tersenyum-senyum sendiri. Kemudian ia beranjak dari tempat duduknya. Dan melompat-lompat kegirangan. Setiap orang yang berlalu-lalang dihadapannya, selalu saja ia jabat tangan orang-orang tersebut. Jelas orang-orang itu merasa keheranan. Apa yang terjadi pada Donny? Donny sedang merasakan indahnya jatuh cinta. Justru aneh jika Donny tidak melakukan hal-hal gila. Tapi orang-orang itu tak tahu. Dan mereka menganggap Donny gila.
Di balik pintu kelas diam-diam Kartika, Milly, dan Winda memperhatikannya. Mereka juga ikut merasakan kegembiraan yang menyelimuti hati Donny. Ternyata tanpa mengubah penampilan Donny, Hima mau lebih dekat dengan Donny.

***

Bersambung :v chapter selanjutnya part terakhir XD